Mubah Bisa Menjadi Haram - Nasarudin Umar
Beranda islami | 27 April 2020, 03:01 WIBKOMPASTV - Dalam bulan suci Ramadan yang penuh banyak tantangan ini, semakin banyak sebuah tantangan yang kita hadapi dalam melaksanakan perintah Allah, Insya Allah akan bernilai tinggi di mata Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Jadi manusia itu selain harus tunduk kepada hukum alam, juga harus tunduk kepada hukum-hukum syar'i apa yang tadinya dibolehkan pada kesempatan yang berbeda atau sebaliknya. Apa yang merupakan hanya kebolehan biasa (mubah) tetapi pada satu kesempatan yang berbeda itu menjadi wajib.
Perkara Mubah yang Berubah Menjadi Makruh atau Haram
Misalnya, hukum asal makan minum adalah mubah, selama yang dimakan adalah perkara halal dan thayyib. Akan tetapi, jika seseorang makan dan minum secara berlebihan sampai di luar batas kewajaran, maka hal ini bisa berubah menjadi makruh, atau bahkan haram. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)
Dari sahabat Miqdam bin Ma’di Karib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
.
“Manusia tidak memenuhi wadah yang buruk melebihi perut. Cukup bagi manusia beberapa suapan yang menegakkan tulang punggungnya, bila tidak bisa maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Tirmizi no. 2380, Ibnu Majah 3349, dan Ahmad no. 16735, dinilai shahih oleh Al-Albani).
Perkara Mubah yang Berubah Menjadi Sunnah atau Wajib
Hukum asal tidur adalah perkara mubah. Namun jika hal itu bisa membantu ketakwaan di jalan Allah, seperti untuk mencari rizki yang halal, atau memperbanyak ibadah di malam hari (dengan tidur siang), maka bisa berubah menjadi sunnah dan berpahala.
Dari sahabat Sa’id bin Abu Burdah, dari ayahnya, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kakeknya, alias Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman dan beliau berpesan,
“Hendaklah kalian mempermudah, jangan mempersulit, berilah kabar gembira, jangan kalian jadikan manusia lari (dari agama), dan bersatu padulah.”
Lantas Abu Musa bertanya, “Wahai Nabi Allah, wilayah kami di sana ada minuman dari tepung yang sering diistilahkan dengan al-mizru dan ada minuman dari kurma yang sering diistilahkan dengan al-bit’u?
Lantas beliau bersabda,
“Setiap yang memabukkan adalah haram.”
Keduanya pun berangkat. lalu Mu’adz berkata kepada Abu Musa, “Bagaimana Engkau membaca Al-Qur’an?”
Abu Musa menjawab, “Baik dalam keadaan berdiri, duduk, atau saat aku di atas hewan tungganganku, namun terkadang aku masih menambah.”
Sedangkan Mu’adz mengatakan,
“Jika aku, kadang aku tidur dan shalat malam. Aku berharap pahala dari tidurku, sebagaimana aku berharap pahala dari shalat malamku.” (HR. Bukhari no. 4345 dan Muslim no. 1732)
Perhatikanlah bagaimana jawaban Mu’adz. Di malam hari beliau tidur, namun beliau niatkan agar bisa bangun dan segar untuk shalat malam. Sehingga beliau pun berharap pahala dari tidurnya, sebagaimana beliau berharap pahala dari ibadah shalat malam yang beliau kerjakan.
Inilah di antara ciri orang yang selalu ingat kepada Allah Ta’ala, selalu ingat tujuan penciptaannya, yaitu untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.
Penulis : Anas-Surya
Sumber : Kompas TV