Kompas TV kolom opini

NIZAM AL-MULUK

Kompas.tv - 14 September 2021, 10:44 WIB
nizam-al-muluk
Ilustrasi korupsi (Sumber: Istimewa)

Oleh Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas

I
Kisah Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari (bersama  suaminya,Hasan Aminuddin, seorang anggota DPR-RI) dan Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono yang berurusan dengan KPK, mengingatkan cerita tentang Ni m al-Mulk.

Ni m al-Mulk adalah seorang ahli politik, pemimpin militer yang bijaksana, dan seorang filosof yang alim serta luas ilmu pengetahuannya.

Tokoh ini dilahirkan  pada tahun 408 Hijrah (10 April 1018 M) di desa kecil Radhkan di pedalaman s, Khor s n—kini masuk wilayah Iran—dengan nama Ab Al asan ibn Al ibn Is q al- s .

Sebagai tokoh, ia sangat dikenal  di zaman Dinasti Seljuk. Ia digambarkan sebagai perdana menteri, jiwa kenegarawanannya sangat menonjol.  

Nama Seljuk diambil dari nama seorang pemimpin kabilah Turki Ghuzz yang mendiami wilayah imperium Uygur: Seljuk bin Tuqaq.

Kekaisaran Seljuk Raya merupakan Imperium Islam Sunni abad pertengahan yang wilayah kekuasaanya meluas hingga wilayah  Hindu Kush sampai Anatolia Timur, dari Asia Tengah sampai Teluk Persia.

Dinasti Seljuk mencapai puncak kejayaan ketika menguasai negeri-negeri di kawasan Timur Tengah seperti Persia, Irak, Suriah, serta Kirman.

Karena kemampuannya menaklukan wilayah-wilayah tersebut, Dinasti Seljuk menjadi amat disegani.

Di zaman itulah Ni m al-Mulk, hidup. Ni m diangkat menjadi wazir, perdana menteri Dinasti Seljuk di masa pemerintahan Sultan Alp Arslan (1063-1072) dan Sultan Maliksyah (1072-1092).

Sebagai “seorang yang alim, dermawan, agamawan, penyantun, adil, suka memaafkan orang yang bersalah, majlisnya ramai didatangi oleh para qari, ulama, faqih dan orang-orang yang suka kebaikan dan kebajikan.”

Di zaman itu, lewat bukunya Sey sat-n mah atau The Book of Government (B Herry Priyono, 2018), Ni m sudah berbicara soal korupsi.

Ni m mengartikan korupsi adalah sebagai penyelewengan  jabatan dan perbuatan lain seperti memberi-menerima suap atau pemerasan.

Jauh masa sebelumnya, Kautilya (350-275 SM) penasihat kepala dan Perdana Menteri zaman Maharaja Chandragupta, penguasa pertama Dinasti Maurya, India, sudah berbicara soal korupsi.

Dalam bukunya, Arthashastra, Kautilya membahas korupsi yang dalam bahasa Sanskerta disebut bhrash.

Kata bhrash berarti gagal, menyimpang dari, terpisah dari, tercerabut dari, busuk, hilang, jahat, ganas, dan merusak akhlak (Priti Phohekar: 2014).



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x