Penulis : Dina Karina | Editor : Purwanto
JAKARTA, KOMPAS.TV- Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merevisi kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dari 0,8 persen menjadi 5,1 persen. Hal itu dilakukan, setelah Anies menemui para buruh yang berunjuk rasa memprotes kenaikan UMP 0,8 persen, pada 29 November 2021 lalu.
Anies kemudian menyurati Kementerian Ketenagakerjaan, yang intinya meminta Kemenaker kembali mengkaji kenaikan UMP dengan mempertimbangkan tingkat inflasi dan kenaikan rata-rata UMP per tahun.
"Kenaikan yang hanya sebesar Rp38.000 ini dirasa amat jauh dari layak dan tidak memenuhi asas keadilan, mengingat peningkatan kebutuhan hidup pekerja/buruh terlihat dari inflasi di DKI Jakarta yaitu sebesar 1,14 persen," kata Anies dalam surat tersebut, dikutip Selasa (22/12/2021).
Menurut Anies, tidak semua sektor usaha terdampak pandemi. Ada sejumlah sektor usaha yang tetap untung meski dilanda badai Covid-19.
Lantas mengapa sebelumnya Anies menetapkan UMP 0,8 persen?
Baca Juga: Anies Revisi UMP, Ketua Apindo: Pelanggaran Jadi Catatan, Apalagi Kalau Mau Nyapres
Pedomannya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021, yang merupakan aturan turunan UU Cipta Kerja. Aturan itu juga digunakan oleh pemerintah pusat dan semua pemerintah daerah dalam menentukan kenaikan UMP.
Berdasarkan aturan itu, penghitungan kenaikan UMP berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Sehingga jika dihitung berdasarkan formula tersebut UMP DKI Jakarta tahun 2022 sebesar Rp4.453.935, naik Rp 37.749 atau sekitar 0,8 persen saja dibandingkan 2021.
Setelah direvisi Anies, maka nilai UMP DKI 2022 naik Rp225.667 menjadi Rp4.641.854.
"Dengan kenaikan Rp 225.000 per bulan, maka para pekerja dapat menggunakannya sebagai tambahan keperluan sehari-hari," tutur Anies dalam keterangan tertulisnya kepada media, Sabtu (18/12/2021).
Sumber :