Kompas TV kolom opini

Pesan dari Puncak Golgota

Kompas.tv - 17 April 2022, 06:10 WIB
pesan-dari-puncak-golgota
Indonesia. (Sumber: Freepik)

Oleh Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas

Satu

Benar, yang dulu selalu dikatakan Pak Jakob Oetama kepada kami para wartawannya. Kata Pak Jakob, “Kompas itu Indonesia mini.”

Maka menjadikan Kompas sebagai “Indonesia mini” adalah semacam mission sacre, tugas suci yang harus diwujudkan, apa pun hambatan dan rintangan yang mengadang. Dengan harapan, terwujudnya “Indonesia mini” yang “sungguh-sungguh Indonesia”, akan menjadi batu pijakan untuk mewujudkan “Indonesia Besar yang sungguh-sungguh Indonesia.”

Namun, kami  menyadari, mewujudkan “Indonesia Besar” yang “sungguh-sungguh Indonesia” tidak mudah, terutama sekarang ini. Yakni ketika negeri ini dikuasai nafsu-nafsu, termasuk nafsu untuk kuasa dengan menggunakan segala cara demi tergenggamnya kekuasaan itu.

Pesan wanti-wanti Pak Jokowi beberapa hari lalu kepada tujuh komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), menegaskan hal itu. Pak Jokowi mewanti-wanti jangan ada lagi masyarakat yang terprovokasi isu politik identitas di dalam pelaksanaan Pemilu 2024.

Pak Jokowi ingin menegaskan bahwa Indonesia yang sungguh Indonesia adalah Indonesia yang plural, yang majemuk dalam segala hal: suku, etnis, agama, bahasa, budaya, golongan, dan lain sebagainya. Bukan Indonesia, kalau tidak plural, kalau tidak majemuk.

Tetapi, tidak cukup berhenti sampai di sini. Pluralitas itu kita akui bersama, kita jaga bersama, kita pelihara bersama, kita hidup-hidupi bersama, dan sama-sama kita hormati. Kemajemukan itu sudah ada sebelum Negara Indonesia ini ada. Pluralitas itu pula yang kemudian diteguhkan dan disatukan dalam Sumpah Pemuda 1928.

Selama 30 tahun menjadi wartawan Kompas, saya merasakan bagaimana “Kompas (yang) Indonesia mini” tersebut terus diusahakan untuk diwujudkan, dijaga, dan dilestarikan oleh semua anggota keluarga Kompas. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah.

Kami tidak pernah bersoal, tidak pernah mempermasalahkan berbagai perbedaan antara lain suku, etnis, dan bahkan agama antar-kami. Hubungan kami, meski beda suku, etnis, maupun agama begitu cair. Tidak ada sekat-sekat. Kami satu keluarga.

Kami bisa saling meledek bahkan menyinggung hal-hal yang dianggap peka itu, tanpa menimbulkan persoalan, tanpa merasa tersakiti. Karena ada trust di antara kami. Ada keterbukaan hati untuk saling menerima apa adanya.

Setiap bulan Puasa, seperti sekarang ini, saban hari kami buka puasa bersama. Kami bergiliran menyediakan dan menyiapkan buka puasa bersama, tak peduli agamanya apa. Inilah ungkapan persaudaraan kami. Saat buka puasa ini, semangat persaudaraan itu benar-benar terasa.

Dua

Sering saya bertanya, mengapa kami yang beda tidak hanya etnis, suku, bahkan agama bisa bersatu bagai saudara; sementara di “Indonesia Besar” masih saja ada yang memersoalkan dan juga menggunakan untuk keuntungan diri? Terutama dalam hal berbeda agama.

Mungkin karena kami memahami seperti yang dikatakan oleh Karen Armstrong (2009) bahwa agama bukanlah sesuatu yang terutama menyangkut pikiran manusia, melainkan lebih pada perbuatan manusia. Kebenarannya diperoleh lewat amalan langsung.

Kami sama-sama meyakini bahwa iman tanpa perbuatan (baik) adalah omong kosong. Iman tanpa perbuatan (baik) adalah mati. Bukankah semakin beriman, berarti semakin bersaudara. Dan, semakin berbela rasa? Meski bukan berarti kami tanpa cela.

Armstrong mengibaratkan, tidak ada gunanya membayangkan dapat menyetir mobil hanya dengan membaca manual atau memelajari peraturan lalu lintas. Baru setelah kita mencoba menyetir, pada saat itulah semuanya terasa tepat pada tempatnya.

Sama halnya, hampir semua orang tahu bahwa tiada satu pun agama yang menganjurkan, yang memerintahkan para penganutnya untuk saling membenci, apalagi membenci yang tidak seagama.  Semua agama mengajarkan cinta kasih kepada sesama manusia, meski dalam rumusan yang berbeda-beda.

Tahu saja tidak cukup, tentu saja. Tetapi harus berani mempraktikkannya, bukan justru melakukan hal yang sebaliknya. Sebab, bukankah agama pada dasarnya mengajarkan hal-hal yang baik saja.

Karena itu, orang beriman bersama dengan semua orang apa pun agamanya yang berkehendak baik: menumbuhkembangkan hati nurani yang baik, bersih, benar, mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan Tuhan dan sesama. Peka dan terbuka terhadap bimbingan Ilahi.

Kata Karen Armstrong (2015) dalam semua tradisi spiritual besar ditegaskan bahwa kepedulian kepada semua orang (tidak hanya kepada yang segolongan atau yang cocok dengan kita) adalah tolok ukur spiritualitas yang sejati.

Dengan itu, yang dicari adalah mencapai suasana batin yang tidak mementingkan diri sendiri, seperti juga yang dicari orang dalam yoga, yang tujuannya melepaskan unsur “kita” dari pikiran dan perilaku kita—obsesi diri yang membatasi kemanusiaan kita dan menghalangi kita menuju transendensi, yang dikenal dengan beragam nama seperti Brahman, Dao  Nirwana, atau Allah.

Ketiga

Pernah saya baca naskah yang disampaikan Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, pada Studium Generale, 19 Agustus 2019, Fakultas Teologi Wedabhakti Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Kardinal mengingatkan arti penting Pancasila bagi kita, bangsa Indonesia yang majemuk ini.

Nilai-nilai kemanusiaan yang luhur seperti yang ada dalam Pancasila itu terdapat juga dalam ajaran Gereja. Andaikata tidak ada Pancasila, nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan sosial, itu juga sudah harus dijunjung tinggi dan diperjuangkan oleh Gereja Katolik.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x