Kompas TV kolom opini

Percakapan di Ruang UGD

Kompas.tv - 24 April 2022, 09:18 WIB
percakapan-di-ruang-ugd
Ruang UGD di sebuah rumah sakit. (Sumber: Istimewa)

Oleh Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas

Satu

Hari Minggu, 17 April 2024. Sambil melangkah agak sempoyongan masuk ke ruang UGD RS Puri Cinere, kulihat sekilas jam dinding warna putih berbentuk bulat yang digantung di ruangan itu. Pukul 23.45.

Untuk kedua kalinya dalam tempo 10 hari, saya harus dibawa ke UGD.

“Boleh saya langsung tiduran di bed, tidak perlu duduk untuk ditanya-tanya? Saya merasa lemah dan pusing,” kata saya pada seorang lelaki tenaga medis.

“Oh, boleh Pak. Silakan. Di bed nomor tiga ini saja,” jawabnya sambil menunjuk bed nomor tiga.

Sepuluh hari lalu, saya di bed nomor dua, yang malam itu ada pasiennya.

Sambil terbaring, saya bertanya pada diri sendiri: ada apa dengan badan ini? Mengapa harus ke rumah sakit, bukan ke hotel atau rumah makan atau mal, atau tempat-tempat yang menyenangkan lainnnya.

Beberapa hari lalu, lewat WhatsApp beberapa kawan kirim pesan dan nasihat dari yang biasa sampai yang luar biasa: semoga segera sembuh, cepat sembuh dan beraktivitas kembali, semoga sempat sembuh dan nulis lagi, tak tunggu tulisannya, sudahlah nggak usah ngaya-ngaya, ingat usia nggak usah ngaya, jaga kondisi alias ingat umur.

Ada lagi yang nulis: Saiki iki semangat kudu nari awak. Yen nuruti pikir ora ana enteke. Wis wayahe akeh tetirah ben awet. Nggih mboten? Enggal dangan. Ndang dolan dolan.

Yang lain nulis, Enggal dangan Pakde, Gusti tansah mberkahi. Ndherek nyenyuwun Mas mugi enggal sehat. Nderek nyenyuwunke mas, kanti istirahat gerah, diparingi Gusti wektu kanggo lelimbang, refleksi, nimba semangat anyar. ( entuk Gusti)….Walah gerah tho… Enggal dangan lan bregas maneh. Tetep Semangat, Bung…

Foto ilustrasi orang sakit maag. (Sumber: Kompasiana.com)

Dua

Banyak teman dan sahabat baik. Memperhatikan. Saya pejamkan mata, berusaha memahami pesan teman-teman, sambil berdoa, terima kasih Tuhan, saya masih punya teman yang peduli.

“Kenapa, Pak?”  Saya dengar suara bariton menyapa. Buru-buru saya buka mata. Saya lihat seorang dokter berbadan besar, berkulit coklat, rambut agak sedikit gondrong melihat saya dengan pandangan ramah.

Belum sempat saya jawab, dokter itu mengatakan, “Menurut perawat, tensi ok, gula darah juga ok, saturasi ok, saya baca hasil lab seminggu lalu ok meski ada catatan kecil, ….”

“Lalu, kenapa ya Dok, saya pusing, lemas, perut perih sekali, mual-mual?” tanya saya.

“Muntah-muntah? Berapa kali? Apa sama dengan waktu beberapa waktu lalu datang ke sini?” tanya dokter.

“Iya, muntah-muntah tapi cuma dua kali,” jawab saya.

“Sampeyan mikir apa, Pak?” Pertanyaan dokter membuat dahi saya berkerut?  Lalu bertanya,

“Memangnya kenapa, Dok?”

“Sudah, Pak, semeleh saja. Disyukuri saja…kalau bisa muntah-muntah ya alhamdulillah asam lambung keluar, kalau nggak muntah-muntah ya alhamdulillah asam lambung cair, kalau bersendawa terus ya bagus gas lambung keluar…Nggak usah mikir negara, negara sudah ada yang mikir, macam-macam. Ada yang mikir bagaimana cara mbangun. Ada yang mikir bagaimana caranya ngrusak, bagaimana caranya korupsi, caranya nipu, dan banyak lagi,” kata dokter.

“Lho, ini ceritanya gimana, Dok?” tanya saya karena nggak paham.

“Ini menurut saya, asam lambung naik. Itu yang bikin perut perih, mual-mual, sesak napas, juga rasa perih sampai tenggorokan, dan suara sampeyan serak….asam naik itu bisa karena pikiran berat dan…”

“Maaf, Dok…dokter namanya siapa?” kata saya memotong penjelasan dia.

“Oh, nama saya? Nama saya Bedjo. Kok berkerut jidatnya, pasti nggak percaya kalau nama saya Bedjo. Lha, saya ini wong ndeso. Saya dari Batang, tapi ndeso. Ya, oleh orang tua saya diberi nama ndeso, Bedjo. Lengkapnya Bedjo Soebakti,” jelasnya.

Mendengar nama lengkapnya, saya langsung ingat kawan SMA saya dari Magelang entah sekarang di mana yang namanya hampir-hampir mirip: Bedjo Subekti.

Kawan itu juga pinter, suka menceritakan banyak hal. Pengetahuannya luas. Bacaannya banyak dalam berbagai bidang, ya budaya, filsafat, humanisme, politik, pendidikan, dan tentu agama yang sekarang ini menjadi komoditas yang sangat popular.

“Jadi, Pak,” kata dokter Bedjo “naiknya asam lambung ke tenggorokan yang biasa disebut GERD atau Gastroesophageal reflux disease–nggak usah diingat-ingat, Pak, sekadar pernah dengar saja dari dokter Bedjo (lalu tertawa)–adalah suatu keadaan ketika cairan di lambung berbalik naik ke kerongkongan. Cairan tersebut dapat memicu peradangan dan mengiritasi lapisan dalam kerongkongan.”

“Lalu gejalanya apa, Dokter?”

“Ya, seperti yang sampeyan katakan dan alami itu. Gejala utamanya adalah nyeri pada ulu hati yang terus-menerus dan naiknya asam lambung ke kerongkongan. Tapi ada pula orang yang mengalami GERD tanpa merasakan nyeri di ulu hati; mereka mungkin merasakan sakit di dada, suara serak di pagi hari, atau kesulitan menelan,” jelas dokter Bedjo sambil berdiri di sisi kanan bed saya.

“Apa ada gejala lain, Dok?”



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x