JAKARTA, KOMPAS.TV - Putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat telah menggoncang jagat politik negeri ini.
Majelis hakim, Tengku Oyong, Bakri dan Dominggus Silaban memutuskan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum membayar ganti rugi Rp500 juta.
Serta menghukum tergugat tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu, sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan dan tujuh hari.
Gugatan yang diajukan Partai Prima ini diterima seluruhnya oleh pengadilan.
Putusan PN Jakarta Pusat ini luar biasa.
Selain berada di luar kewenangannya, putusan hakim itu bertentangan dengan konstitusi.
Humas PN Jakarta Pusat mengatakan tidak ada penundaan pemilu dalam diktum putusan.
Akan tetapi, hakim meminta KPU tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu sejak putusan ini diucapkan, putusan itu diucapkan 1 Maret 2023.
Putusan itu bisa saja ditafsirkan sebagai perintah KPU untuk menghentikan tahapan pemilu dan mengulang tahapan dari awal.
Putusan majelis hakim itu tidak masuk akal. Putusan itu tentunya hanya mengikat Partai Prima dan KPU, tapi tidak mengikat partai-patrtai lain.
Putusan hakim itu jelas berbahaya.
Tak ada wewenang pengadilan untuk menghentikan tahapan pemilu.
Entah dari mana majelis hakim bisa memerintahkan KPU menghentikan tahapan pemilu.
Lebih masuk akal, terlepas dari kompetensi pengadilan, PN Jakarta Pusat memerintahkan KPU untuk mengikutkan Partai Prima sebagai partai politik peserta pemilu.
Tetapi tidak menghentikan tahapan pemilu yang sedang berjalan. Putusan hakim itu bisa menjadi tidak konstitusional.
Pertama, pemilu dilaksanakan tiap lima tahun sekali. Itu perintah konstitusi.
Kedua, masa jabatan presiden lima tahun dan akan berakhir 20 Oktober 2024.
Jika pemilu belum terlaksana akan terjadi kekosongan kekuasaan dan itu amat berbahaya, bisa menciptakan kekacauan. Selangkapnya, tonton dalam video di atas.
Video Editor: Agung Ramdani
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.