> >

Upaya Menjaga Warisan Budaya Bangsa Lewat Program Revitalisasi Bahasa Daerah

Advertorial | 10 Agustus 2023, 13:40 WIB
Aksi bahasa daerah yang ditunjukkan sejumlah pemuda. (Sumber: Dok. ANTARA)

KOMPAS.TV – Sebagai salah satu negara yang kaya akan budaya, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah yang wajib dilindungi. 

Sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia tercatat telah punah pada 2019. Padahal, bahasa daerah merupakan identitas budaya atau ciri kesukuan yang mengandung nilai interaksi adat-istiadat dan filosofi.

Selain itu, banyak bahasa daerah juga mengalami krisis atau terancam punah. Penyebab utamanya adalah minimnya atau hilangnya penutur utama yang menggunakan bahasa daerah serta banyak generasi muda tidak memahami lagi bahasa “Ibu”.

Melihat pentingnya keberagaman bahasa daerah sebagai identitas dan keunikan bangsa, pada 2021 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikburistek) menginisiasi Program Revitalisasi Bahasa Daerah.

Program yang diinisiasi melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikburistek ini menyasar penutur muda, tepatnya para pelajar sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). 

Salah satu upaya program revitalisasi bahasa daerah adalah memasukkan bahasa daerah sebagai muatan lokal di sekolah. Di sisi lain, desain revitalisasi bahasa daerah disesuaikan dengan kriteria status bahasa daerah masing-masing. 

Hingga 2023, pemerintah merevitalisasi 59 bahasa daerah di 22 provinsi. Tak hanya itu, peran dari komunitas bahasa juga dibutuhkan agar cakupan revitalisasi lebih luas.

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikburistek Aminudin Aziz mengatakan, ada sinyalemen (peringatan) dari UNESCO tentang kehilangan bahasa-bahasa daerah di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. 

“Berdasarkan hasil riset selama bertahun-tahun, di Indonesia sendiri tercatat misalnya pada 2019 ada 11 bahasa daerah hilang penuturnya yang artinya tidak digunakan lagi atau punah,” kata Aminudin. 

Ancaman kehilangan bahasa daerah ini semakin hari semakin kuat. Kehilangan bahasa yang berlangsung tidak bisa dipastikan apakah makin cepat atau bisa diperlambat.

Karena itu, diperlukan upaya untuk memperlambat proses kepunahan sebuah bahasa, salah satunya melalui Program Revitalisasi Bahasa Daerah, yang dianggap lebih relevan dengan situasi kebahasaan saat ini. 

Konsep Revitalisasi Bahasa Daerah diperkenalkan di Toba pada 2021, dengan mengusung 5 bahasa daerah di 3 provinsi, yaitu bahasa Jawa, Sunda, Makassar, Bugis, dan Toraja.

Pada 2022, objek revitalisasi meningkat menjadi 55 bahasa daerah yang tersebar di 13 provinsi. Respon dari para penutur bahasa pada tahap awal tersebut tergolong sangat positif. 

Para penutur menyadari, meskipun bahasa mereka masih masuk kategori aman tetapi tetap merasa terancam. Faktanya, jumlah penutur dari masing-masing bahasa terus menurun.

3 Model Revitalisasi Bahasa Daerah

Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra Kemendikbudristek Imam Budi Utomo mengatakan, secara umum, dalam penerapan revitalisasi bahasa daerah perlu dilihat situasi kondisi kebahasaan yang ada di suatu wilayah. Jadi, perlakuan revitalisasi bahasa daerah di Indonesia bisa berbeda-beda.

Misalnya, untuk wilayah Jawa berbahasa Jawa atau bahasa Sunda atau bahasa Bali yang saat ini dikelompokkan sebagai model A. Karakteristik bahasa daerah model A adalah sebagai berikut:

  • Daya hidup bahasa masih aman
  • Jumlah penutur masih banyak
  • Masih digunakan sebagai bahasa dominan dalam masyarakat tuturnya

Pendekatan bahasa daerah model A dilakukan secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah. Pembelajaran dilakukan secara integratif, kontekstual, dan adaptif, baik melalui muatan lokal maupun ekstrakurikuler. 

Sejumlah bahasa daerah yang masuk model B antara lain bahasa Mandar, bahasa Bugis, bahasa Toraja, hingga bahasa Makassar yang digunakan di Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.

Berikut adalah karakteristik bahasa daerah yang masuk model B:

  • Daya hidup bahasa tergolong rentan
  • Jumlah penutur relatif banyak
  • Bahasa digunakan secara bersaing dengan bahasa-bahasa daerah lain

Pendekatan bahasa daerah model B dapat dilakukan secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah jika wilayah tutur bahasa memadai serta pembelajaran berbasis komunitas. 

Sementara itu, bahasa-bahasa di Kalimatan Tengah, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Papua termasuk model C.

Karakteristik bahasa daerah yang masuk model C adalah sebagai berikut:

  • Daya hidup bahasa mengalami kemunduran, terancam punah, atau kritis
  • Jumlah penutur sedikit dengan sebaran terbatas

Pewarisan bahasa daerah model C dapat dilakukan melalui:

  • Pembelajaran berbasis komunitas untuk wilayah tutur bahasa terbatas dan khas
  • Pembelajaran dengan menunjuk dua atau lebih keluarga sebagai model tempat belajar
  • Pembelajaran yang dilakukan di pusat kegiatan masyarakat, seperti tempat ibadah, kantor desa, dan taman bacaan masyarakat
Penggunaan atribut adat topi dan noken sejak dini diupayakan untuk menanamkan rasa cinta tanah air. (Sumber: Dok. ANTARA)

Berkaitan dengan kurangnya guru atau pengajar bahasa daerah tertentu, Kemendikbudristek mempersilakan sastrawan, komunitas sastra, ataupun taman-taman bacaan dari materi pembelajar tersebut untuk berpartisipasi. 

Pihak yang memiliki kapasitas berkaitan dengan materi-materi pembelajaran pewarisan bahasa daerah dapat mengajarkan melalui mendongeng, berpidato, hingga menulis cerita pendek.

Sebanyak 251 guru utama di tiap wilayah dari 12 provinsi sudah diberikan pelatihan. Lalu, dalam rangka ekspansi, 1 guru utama tersebut dapat mengajarkan ilmunya ke 50 orang lain.

Nantinya, mereka akan makin menyebar untuk mengajarkan ke penutur muda atau siswa sekolah. Ada juga guru utama yang turun tangan langsung mengajar di SD dan SMP. 

Dalam kajian vitalitas tersebut, jika sebuah bahasa tidak lagi digunakan oleh anak-anak, remaja, hingga orang dewasa berarti bahasa tersebut akan punah.

Karena itu, pendidikan bahasa yang paling mendasar adalah anak-anak usia SD dan SMP sebagai target sasaran utama Program Revitalisasi Bahasa Daerah.

Jika anak-anak sudah memiliki sikap positif dan kemauan untuk menggunakan bahasa daerahnya, nantinya akan menjadi generasi penerus bahasa daerah tersebut.

Namun, ketika generasi muda sudah tidak menggunakan bahasa daerah, dalam waktu 10 hingga 20 tahun ketika mereka sudah dewasa, bahasa tersebut akan terancam kritis bahkan mengalami kepunahan.

 

Upaya Revitalisasi Bahasa Daerah di Provinsi Kalimantan Timur 

Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) yang memiliki julukan “Benua Etam” ini memiliki ragam budaya dan juga bahasa daerah. Kemendikbudristek pun memasukkan Kaltim menjadi salah satu provinsi prioritas dalam Program Revitalisasi Bahasa Daerah.

Kepala Kantor Bahasa Kalimantan Timur Halimi Hadibrata menuturkan, sasaran revitalisasi bahasa daerah pada 2022 adalah bahasa Paser, Kutai dan Kenyah.

Jumlah gulu utama tahun 2022 sebanyak 277, sementara jumlah guru yang terlibat berjumlah 1160 orang. Selain itu, ada 219 perwakilan komunitas adat dengan jumlah partisipan siswa sebanyak 11.023 orang.

Persoalan utama yang dihadapi adalah berkurangnya jumlah penutur bahasa daerah serta tidak berjalannya pewarisan bahasa daerah terhadap generasi muda atau tunas baru.

Oleh sebab itu, sasaran utama revitalisasi bahasa daerah di Kaltim adalah para penutur muda yang disebut tunas bahasa, yaitu anak-anak usia SD dan SMP atau sederajat.

“Kami telah melakukan sejumlah pelatihan serta peningkatan kompetensi guru khususnya untuk muatan lokal yang berkaitan dengan penguasaan kompetensi pembelajaran bahasa darah,” kata Muhammad Kurniawan selaku Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Timur.

Kurniawan menambahkan, pihaknya juga telah melakukan sejumlah penajaman, kerja sama dengan dinas pendidikan dan kebudayaan serta komunitas sekitar.

Salah satu sekolah yang telah menerapkan pembelajaran daerah sebagai muatan lokal (mulok) di Kalimantan Timur adalah SDN 009 Tenggarong. Sebagai pengajarnya, sekolah menyediakan 3 orang guru bahasa Kutai yang telah menjalani pelatihan dari Kemendikbudristek.

Lena Marlena, guru bahasa Kutai SDN 009 Tenggarong menjelaskan metode belajarnya melalui mendongeng cerita rakyat agar siswa lebih tertarik dan tidak cepat bosan.

Revitalisasi bahasa daerah juga dilakukan dengan mengajak peran serta komunitas dan budayawan, salah satunya Komunitas Desa Budaya Pampang.

“Aktivitas kami selama ini memperkenalkan cerita-cerita daerah kepada anak-anak Desa Budaya Pampang supaya mereka mengenal dulu cerita-cerita yang sudah turun-temurun diceritakan oleh nenek moyang,” kata Koordinator Komunitas Desa Budaya Pampang Yushak Lukas.

Yushak juga berpesan kepada anak-anak agar tetap berbahasa daerah dengan orang tua, sanak saudara di rumah, hingga teman-teman sepermainan. 

Proses digitalisasi naskah kuno yang dilakukan di Padang. (Sumber: Dok. ANTARA)

Penghargaan Pelestarian Bahasa Daerah di Sumatra Utara

Sumatra Utara memiliki dua bahasa daerah utama, yaitu bahasa Batak dan juga bahasa Melayu.

Dalam Program Revitalisasi Bahasa Daerah 2022, Balai Bahasa Provinsi Sumatra Utara menyasar 3 dialek, yaitu Melayu Sorkam, Melayu Panai, dan Batak Dialek Angkola. Terbukti, sebanyak 23.447 di 5 kabupaten kota berhasil dijangkau dalam program ini.

Tahun 2023, terdapat 3 dialek tambahan untuk direvitalisasi Batak Dialek Toba, Melayu Tanjungbalai, dan Melayu Dialek Langkat. 

Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumatra Utara Hidayat Widianto mengatakan, aspek bahasa Melayu dan bahasa Batak yang digunakan masih relatif aman.

Namun, semangat revitalisasi bahasa daerah yang dilakukan memang bukan hanya bahasa daerah yang aman saja. 

Hampir semua bahasa daerah di Indonesia memiliki kecenderungan sama, yaitu keluarga muda saat ini tidak menurunkan atau mentransmisikan bahasa daerahnya sesuai fungsi dan kedudukannya untuk putra putri mereka.

Oleh karena itu, bahasa daerah yang masih tergolong aman sekalipun, seperti bahasa Batak dan bahasa Melayu, juga perlu direvitalisasi. 

Penghargaan atas upaya melestarikan bahasa daerah berhasil didapatkan salah satu wilayah administrasi di Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan.

Tidak hanya pemerintah daerah yang memiliki keinginan tinggi dalam melestarikan bahasa ibu, tetapi tokoh masyarakat, budayawan, komunitas, guru, dan bahkan para generasi muda berkontribusi besar dalam revitalisasi bahasa Batak Dialek Angkola. 

Bupatu Tapanuli Selatan Dolly Pasaribu mengatakan, pemerintah dan masyarakat sangat bangga karena terpilih di antara sekian bahasa yang dibawakan oleh masyarakat nasional.

“Tentu ini merupakan hasil kerja keras dan kerja sama berbagai pihak, pemerintah dan anak-anak yang turut melestarikan bahasa dan budaya Angkola,” kata Dolly.

Kepala Dinas Pendidikan Daerah Tapanuli Selatan Arman Pasaribu memaparkan, demi kelestarian bahasa daerah, anak-anak mulai dari PAUD sudah diajarkan berbahasa daerah.

Tidak hanya di lingkungan sekolah, di rumah masing-masing pun para siswa diminta menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga.

Kemudian, ada juga komunitas dan sanggar tari untuk memperkenalkan budaya daerah, seperti Komunitas Naduma Pargarutan. 

Untuk mengentaskan Program Revitalisasi Bahasa Daerah tentu perlu sinergitas bersama antara pemerintah dan semua elemen masyarakat. Mulai dari ketua adat, komunitas, guru, hingga orang tua sebaiknya terlibat.

Program ini bertujuan meningkatkan rasa cinta generasi muda akan bahasa ibunya sehingga hilangnya bahasa daerah dapat diminimalisasi.

Bersama mari kita wujudkan generasi muda yang mengutamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing.

Penulis : Adv-Team

Sumber : Kompas TV


TERBARU