> >

Jaminan Hari Tua BPJS Ketenagakerjaan Kembali ke Aturan Lama, Boleh Diambil sebelum Umur 56 Tahun

Bbc indonesia | 2 Maret 2022, 21:08 WIB
Ilustrasi BPJS Ketenagakerjaan. (Sumber: Dok. BPJS Ketenagakerjaan)

Pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) dikembalikan ke Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Artinya, JHT bisa cair tanpa menunggu usia 56 tahun.

Pekerja yang ter-PHK maupun mengundurkan diri tetap dapat klaim JHT sebelum usia pensiun.

Ida mengatakan sedang memproses revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Keputusan ini muncul setelah Ida menerima instruksi dari Presiden Jokowi untuk mengubah Permenaker baru itu setelah mengundang gelombang penolakan dan protes dari kalangan pekerja.

"Kami terus melakukan serap aspirasi bersama Serikat Pekerja/Serikat Buruh, serta secara intens berkomunikasi dengan Kementerian/Lembaga" tegas Ida seperti dikutip Detik.com.

Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 menyebutkan bahwa manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan baru bisa diambil saat pekerja memasuki pensiun atau di usia 56 tahun. Ini yang mengundang penolakan kalangan pekerja.

Permenaker 2/2022 itu baru akan diberlakukan bulan Mei. Maka pekerja yang ingin melakukan klaim JHT dapat menggunakan acuan aturan lama, Permenaker 19/2015, termasuk bagi yang terkena-PHK atau mengundurkan diri.

Baca juga:

Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 dipandang 'otoriter' dan 'seharusnya diubah'

Tak hanya ditolak kalangan pekerja, sebelumnya kalangan pengamat menilai Permenaker Nomor 2 itu sebagai "kebijakan yang otoriter" dan "seharusnya diubah".

"Menurut perspektif saya dan dari kajian hukum perburuhan, ini adalah kebijakan yang otoriter. Karena [JHT] ini terkait dengan kepentingan pekerja dan tidak terkait langsung dengan pemerintah. Tapi kemudian pemerintah melakukan kebijakan tersebut," kata Hadi Subhan, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga kepada BBC News Indonesia (13/2).

"Itu kan uangnya para pekerja sendiri. Memang ada uang perusahaan, tetapi kan tidak ada uang pemerintah sama sekali. Kenapa kemudian harus ditahan lebih lama? Ada kepentingan apa?" lanjutnya.

Pada aturan sebelumnya, JHT bisa dicairkan peserta dengan masa tunggu 1 bulan sejak mengundurkan diri dari tempat pekerjaannya.

Subhan lalu menyarankan sebaiknya Permenaker Nomor 2 tahun 2022 itu diubah.

"Jadi yang perlu diubah adalah ketika dia belum berusia 56 tahun tetapi dia terkena PHK bukan karena meninggal dunia atau karena cacat maka JHT sebaiknya tetap harus bisa diambil oleh pekerja," ujar Hadi.

Pengubahan aturan itu, menurutnya tidak akan merugikan pemerintah.

"Kalau tidak ada hidden agenda atau vested interest, tentu tidak ada masalah sama sekali kalau peraturan ini diubah. Tidak ada kerugian sama sekali dari pemerintah, tidak ada beban sama sekali dari pemerintah ketika permenaker ini diubah seperti permenaker sebelumnya,"

Hadi mengingatkan bahwa JHT ini pada hakikatnya tabungan milik pekerja. Ini sangat berguna bagi pekerja yang selama ini menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan saat belum berusia 56 tahun tetapi terkena PHK, baik karena perusahaan tutup atau karena pekerja itu melakukan kesalahan.

"Kan bisa jadi orang mengundurkan diri dari pekerjaannya sebelum usia 56 tahun tapi beralih menjadi wirausaha. Bagaimana mungkin JHT-nya tidak bisa dicairkan? Saya kira ini kebijakan yang otoriter," ujarnya.

Masih harus menunggu lama untuk cairkan JHT

Usulan pengubahan aturan itu pun didukung oleh Herry M (50) seorang pekerja di suatu pabrik di Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat. Menurutnya, aturan itu harus dicabut karena dipandang merugikan.

Herry mengaku sudah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan selama 21 tahun dan enam tahun lagi memasuki masa pensiun.

Namun dia mengaku khawatir dengan kebijakan bahwa JHT di BPJS Ketenagakerjaan baru bisa dicairkan seluruhnya saat usia pensiun. Apalagi di tengah kondisi tidak menentu selama pandemi ini.

"Kalau saya bekerja sampai full umur 56 tahun, no problem bisa saya langsung cairkan. Yang jadi masalah, kalau tiba-tiba di tengah jalan kita kena rasionalisasi, entah pensiun dini atau PHK atau pensiun dini. Kalau itu terjadi, berarti saya harus menunggu selama enam tahun."

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Kemenaker, Indah Anggoro Putri, sebelumnya menyatakan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2022, manfaat JHT akan dibayarkan pada saat peserta mencapai usia 56 tahun.

Manfaat JHT tetap dapat dinikmati peserta yang kena PHK, asalkan masa iurannya sudah mencapai 10 tahun. Adapun manfaat yang diberikan mencakup 30% dari JHT untuk kepemilikan rumah atau 10% untuk keperluan lain dalam bentuk tunai. Sisa manfaatnya diambil pada usia 56 tahun.

"Skema ini memberikan perlindungan agar hari tua nanti pekerja masih mempunyai dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalau diambil semuanya kan, maka tujuan dari perlindungan JHT itu tidak tercapai, karena sebenarnya ini untuk hari tua pekerja atau buruh," ujar Indah dalam pernyataan berupa rekaman video.

Herry awalnya sempat berangan-angan bisa menarik semua dana JHT-nya untuk modal beternak di kampung halaman kalau dirinya terkena skema pensiun dini. Namun peraturan baru Menaker itu membuat dia kini hanya berharap bisa bekerja sampai pensiun.

"Enam tahun itu jarak yang lama menurut saya, kan butuh modal besar [untuk beternak]," ujar Herry.

Kekhawatiran juga dilontarkan Dewi (45), seorang pekerja kantor suatu perusahaan swasta di Jakarta Pusat.

"JHT ini manfaatnya kalau ada untuk keadaan mendesak. Jadi kalau kita kehilangan pekerjaan, itu sebenarnya kita bisa pakai. Tidak harus menunggu usia 56 tahun kita baru cairkan. Karena ini kan tabungan masa depan juga sebenarnya.

Tidak semua orang kalau kehilangan pekerjaan itu punya tabungan yang cukup. Apalagi kita tahu dengan situasi pandemi begini kan kita tidak tahu ya apakah pekerjaan kita akan masih stabil atau tidak," ujarnya.

Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) disiapkan, tapi belum ada sosialisasi

Indah Anggoro Putri, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Kemenaker, juga menyatakan bahwa pemerintah menyiapkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan kepada pekerja yang mengalami PHK berupa manfaat uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.

"Manfaat JKP ini dapat diperoleh oleh mereka yang terkena PHK selama enam bulan dan peserta juga mendapatkan peluang selama usia produktifnya untuk mendapat kesempatan klaim manfaat JKP sebanyak tiga kali," ujarnya.

Namun, baik Herry maupun Dewi sebagai pekerja mengaku masih belum mengetahui apapun mengenai JKP ini.

"JKP itu pelaksanaannya seperti apa dulu. Kita tidak pernah dapat sosialisasi ada JKP seperti ini, atau seperti itu. Nanti kalau kita kehilangan pekerjaan mengurusnya seperti apa," ujar Dewi.

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan, mengritik program JKP ini. Menurutnya JKP yang diberikan pemerintah tentu sangat terbatas sekali.

"Jadi kalau ada buruh di-PHK itu hanya ditanggung (dicover) enam bulan ke depan. Yang ditanggung pun tidak penuh upah yang biasa diterima. Bisa kurang dari separuh, malah ketentuannya maksimal 40 persen. Jadi betapa minimnya JKP tersebut."

Menurutnya JKP, yang diregulasikan satu tahun yang lalu setelah UU Cipta Kerja diberlakukan, lebih dilihat semacam pengaman sosial ketika waktu itu pemerintah mengeluarkan kebijakan mengurangi jumlah pesangon. "Tapi sekarang dikaitkan dengan JHT. Itu sangat tidak tepat," ujar Hadi.

Akumulasi kekecewaan pekerja

Sementara itu Emelia Yanti Siahaan selaku Sekjen Gabungan Serikat Buruh Indonesia, memahami suara-suara penolakan dari kalangan pekerja dan juga masyarakat.

Dalam pantauan BBC Indonesia dalam dua hari terakhir sudah lebih dari 300.000 warganet yang mendukung petisi online "bersama-sama untuk tolak dan #BatalkanPermenakerNomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua."

"Ini akumulasi dari situasi yang terjadi belakangan ini. Pandemi telah memerosotkan penghidupan kawan-kawan buruh. Lalu dalam dua tahun terakhir juga, untuk kenaikan upah mereka juga merasakan betul bagaimana dampak dari UU Cipta Kerja terhadap nilai kenaikan upah buruh," ujar Emelia.

Bagi dia, sangat wajar kalangan buruh berharap tabungan atau Jaminan Hari Tua yang sudah mereka bayarkan semasa bekerja selama belasan atau puluhan tahun dapat diakses dan dicairkan sewaktu-waktu, baik ketika kena PHK maupun ketika dihadapkan pada kebutuhan mendesak, Sebab, bagaimanapun itu adalah uang mereka.

"Lalu saat muncul Permenaker No.2 Tahun 2002 yang mengubah masa waktu pengambilan JHT, muncul respons dari kawan-kawan buruh: 'mengapa kami dibatasi untuk mengambil uang kami sendiri?'.

"Ini menunjukkan bahwa Permenaker ini atau pemerintah dalam membuat peraturan turunan dari UU Sistem Jaminan Sosial Nasional ini tidak memahami situasi yang dihadapi oleh kawan-kawan buruh," tutupnya.

 

Penulis : Vyara-Lestari

Sumber : BBC


TERBARU