> >

Diganjar Hukuman Mati, Harta dan Aset Pemerkosa 13 Santriwati Herry Wirawan Juga Dirampas (1)

Bbc indonesia | 6 April 2022, 22:57 WIB
Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati di Bandung. JPU pada kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh Herry Wirawan meminta hakim merampas harta kekayaan terdakwa untuk diberikan pada para korban. (Sumber: Kejati Jabar)

Herry Wirawan mendapat vonis hukuman mati dari hakim Pengadilan Tinggi Bandung, yang mengabulkan banding dari jaksa, atas kasus pemerkosaan 13 santriwati. Herry juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian atau restitusi.

"Menerima permintaan banding dari jaksa/penuntut umum. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati," demikian putusan Hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang dipimpin Herri Swantoro.

Sedangkan biaya restitusi yang harus dibayar Herry senilai Rp 300 juta lebih. Setiap korban yang jumlahnya 13 orang akan mendapatkan restitusi dengan nominal beragam.

Pengadilan Tinggi Bandung juga menetapkan "merampas harta kekayaan/aset terdakwa Herry Wirawan berupa tanah dan bangunan serta hak-hak terdakwa dalam Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda, Pondok Pesantren Tahfidz Madani, Boarding School Yayasan Manarul Huda, serta aset lainnya yang sudah disita maupun yang belum..."

Vonis yang diterima Herry ini lebih berat dari putusan Pengadilan Negeri Bandung yang menghukumnya dengan penjara seumur hidup pada Februari lalu. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum menuntut Herry dengan hukuman mati.

Jaksa lalu mengajukan banding atas vonis hukuman seumur hidup itu ke Pengadilan Tinggi Bandung.

Terkait hukuman pembayaran restitusi untuk korban, majelis hakim PN Bandung sebelumnya membebankan kepada negara. Namun, hakim PT Bandung memutuskan membebankan pembayaran itu kepada terdakwa dengan pertimbangan agar memunculkan efek jera terhadap pelaku kejahatan seksual atas anak-anak.

Baca juga:

Keluarga korban kecewa saat Herry divonis seumur hidup

Sebelumnya, pihak keluarga dari salah satu santriwati korban pemerkosaan yang dilakukan Herry mengaku kecewa atas vonis penjara seumur hidup yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri Bandung pada Selasa (15/2).

Paman korban, Hidmat Dijaya, mengatakan keponakan beserta keluarganya menangis ketika mendengar vonis hakim tidak sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum agar Herry dihukum mati dan diberi hukuman tambahan berupa kebiri kimia.

"Sangat kecewa lah keluarga, sekarang lagi nangis. Kalau seperti ini nanti banyak ustad lagi yang mencabuli, saya jamin kalau hanya seperti ini pembelajarannya, enggak ada jeranya," kata Hidmat kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

"(Harapan kami) ada kebirinya kalau seumur hidup. Lolos dari hukuman mati enggak apa-apa, asal ada (hukuman) kebirinya," lanjut Hidmat.

Dia melanjutkan, korban dan keluarganya telah "merasa sakit, kecewa, dan terluka" atas perbuatan Herry.

Sebelumnya, dalam sidang vonis yang digelar di Bandung, Hakim Ketua Yohanes Purnomo Suryo menyatakan Herry terbukti bersalah telah memperkosa 13 santriwati yang merupakan anak didiknya. Delapan korban di antaranya bahkan sampai melahirkan sembilan orang anak.

Hakim kemudian menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup terhadap Herry karena telah melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3), ayat (5) jo Pasal 76D Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Hakim juga memerintahkan agar sembilan anak dari para korban tersebut dirawat oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan nantinya dikembalikan kepada keluarga apabila korban sudah siap secara mental dan kejiwaan.

Sedangkan biaya restitusi atau ganti rugi terhadap korban sebesar Rp331 juta akan dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPPA) karena Herry telah dijatuhkan vonis seumur hidup.

Vonis tersebut lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum agar Herry dihukum mati, dengan hukuman pidana tambahan berupa pengumuman identitas dan kebiri kimia, hukuman denda Rp500 juta, serta membayar restitusi kepada korban.

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan pidana lainnya tidak bisa dijatuhkan kepada terdakwa yang telah divonis hukuman seumur hidup. Begitu juga dengan pidana tambahan kebiri kimia yang tidak mungkin dilaksanakan apabila vonis yang dijatuhkan berupa penjara seumur hidup.

"Tidak mungkin setelah terpidana mati menjalani eksekusi mati atau menjalani pidana seumur hidup dan terhadap jenazah terpidana dilaksanakan kebiri kimia, lagipula pasal 67 KUHP tidak memungkinkan dilaksanakan pidana lain apabila sudah pidana mati atau seumur hidup," kata hakim.

Sedangkan salah satu pertimbangan hakim sehingga menetapkan vonis seumur hidup adalah kondisi para korban yang trauma setiap kali melihat Herry maupun hanya mendengar suara Herry, sehingga kontak dalam bentuk apa pun dikhawatirkan memicu trauma korban kembali.

Baik Jaksa Penuntut Umum maupun kuasa hukum terdakwa hingga Selasa siang (15/02) belum memutuskan apakah akan menerima putusan hakim tersebut atau mengajukan banding.

Sementara itu, Direktur dan Konselor Women's Crisis Center Pasundan Durebang, Ira Imelda menyatakan hal yang paling penting dilaksanakan saat ini adalah memastikan bahwa pemulihan korban berjalan baik dan ada jaminan perlindungan bahwa kejahatan serupa tidak berulang lagi.

"Kami berharap agar hak korban-korban diperhatikan, seperti restitusi dan pemulihan. Jadi bukan hanya pemidanaan," kata Ira.

Sebelumnya diberitakan, sedikitnya 13 santri perempuan menjadi korban kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan HW, pengampu suatu pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat, sejak 2016 hingga 2021.

Para santri yang menjadi korban kekerasan seksual rata-rata berusia 13-16 tahun, dengan beberapa di antaranya telah melahirkan bayi. Bahkan, salah satu korban telah melahirkan dua anak.

Kasus itu pertama kali dilaporkan kepada kepolisian Mei silam, namun baru diketahui publik ketika sidang ketujuh dengan agenda mendengar keterangan saksi di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa lalu (07/12).

Herry pemilik dan pengurus Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru dituduh telah melakukan pemerkosaan terhadap anak-anak di bawah umur.

Ia dituding melanggar pasal 81 ayat 1 dan 3 UU Perlindungan Anak dan terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Minimnya sorotan publik terhadap kasus kekerasan seksual di pesantren ini memicu pertanyaan tentang pengawasan di lingkup pondok pesantren yang tertutup.

Padahal, merujuk data Komnas Perempuan pada periode 2015 - 2019, kekerasan seksual di lingkungan pesantren di posisi kedua terbanyak setelah universitas.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, menyebut selama ini "belum ada intervensi" pengawasan di pesantren, termasuk terkait kekerasan seksual.

Hal itu diakui oleh kementerian yang mengurusi pesantren, Kementerian Agama, yang menyebut dalam posisi dilematis menyikapi kekerasan seksual di lingkup pesantren yang tertutup dan enggan diintervensi.

'Tak bersosialisasi dengan warga'

Bangunan Rumah Tahfidz Al Ikhlas, yang terletak di kota Bandung, Jawa Barat, tampak kosong dan sepi, Rabu siang (8/12).

Di depan bangunan mewah bertingkat itu terlihat sejumlah papan nama, antara lain Rumah Tahfidz Al Ikhlas, Forum Komunikasi Pendidikan Al Quran, dan Koperasi Syariah Al Ikhlas.

Salah satu warga, Suyatna, menyebut pemilik rumah itu, HW, "tak bersosialisasi" dengan warga sekitar.

Perempuan yang tinggal berdekatan dengan rumah itu mengatakan sejak awal pandemi Covid 19, tidak terlihat ada kegiatan di rumah bercat kuning itu.

Biasanya, beberapa kali terlihat ada murid rumah tahfidz yang berkegiatan di bangunan tersebut. Suyatna menyebut semua murid berjenis kelamin perempuan atau biasa disebut santriwati.

"Ada (santri) sebelum pandemi, setelah pandemi, bubar aja. (Santrinya) pada nginap, cewek semua," kata ujar Suyatna.

"Enggak dengar di sini (ada kasus kekerasan seksual), tahu-tahu si santri sudah pindah semua," kata Azid, warga yang lain.

Tak banyak warga mengetahui bahwa di lokasi itu pernah menjadi saksi bisu pemerkosaan yang dilakukan HW, pemilik dan pengurus rumah mengaji tersebut terhadap belasan santrinya.

Rumah itu adalah salah satu lokasi - yang lain termasuk beberapa lokasi pesantren, hotel dan apartemen - tempat Herry diduga melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah santri perempuan di bawah umur.

 

Wartawan di Bandung, Yulia Saputra berkontribusi untuk artikel ini.

Catatan editorial: Artikel ini diperbarui pada 10 Desember untuk menambahkan pernyataan Wagub Jabar bahwa dia tidak pernah berkunjung ke sekolah atau yayasan milik HW.

 

Penulis : Vyara-Lestari

Sumber : BBC


TERBARU