> >

Bebas Visa dan Karantina saat Muncul Omicron XE, Epidemiolog: Pemerintah Kurang Hati-Hati

Bbc indonesia | 7 April 2022, 22:15 WIB
Ilustrasi. Sejumlah penumpang pesawat tengah membawa barang bawaannya saat berada di Terminal Domestik Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Rabu (9/3/2022). (Sumber: Kompastv/Ant)

Ahli epidemiogi menilai kebijakan penghapusan karantina dan bebas visa kunjungan untuk turis dari 43 negara "kurang hati-hati" dan perlu terus "dikaji secara berkala".

Pemerintah Indonesia mengumumkan penghapusan kebijakan karantina untuk pelaku perjalanan luar negeri dan memberikan bebas visa khusus wisata kepada 43 negara di tengah mulai menyebarnya subvarian Covid Omicron XE.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menilai kebijakan pemerintah ini kurang hati-hati karena dilakukan di tengah mutasi penyebaran virus varian baru.

"Dengan tidak adanya karantina, kemudian dengan membebaskan orang travel tanpa tes antigen, tanpa tes PCR, itu menurut saya kurang hati-hati karena menurut saya mutasi dari virus Covid ini luar biasa," kata Miko kepada BBC News Indonesia, Rabu (6/4).

Sejauh ini, Inggris dan Thailand sudah mengumumkan penemuan subvarian Omicron XE. Di Inggris jumlah infeksinya bahkan sudah mencapai 637 kasus, sejak ditemukan pada awal Januari.

Menurut WHO, varian ini 10% lebih menular dibandingkan vírus Omicron aslinya, yang notabene sudah sangat menular.

Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman berpendapat kebijakan pelonggaran mesti terus dikaji karena berdasarkan survei, masih ada 20% warga Indonesia yang belum memiliki imunitas terhadap Covid-19.

"Berarti 20% kurang lebih yang masih rawan, belum memiliki imunitas artinya rawan sakit, rawan masuk rumah sakit, ataupun mengalami fatalitas atau meninggal. Oleh karena itu pelonggaran yang dilakukan ini harus terukur, tidak bisa digeneralisasi, harus ada review berkala, dan sifatnya dinamis," ujar Dicky.

Pemerintah Indonesia mengatakan varian Omicron XE belum ditemukan di Indonesia. Namun, pemerintah akan terus memantau dan menggunakan data terkini dalam menerapkan penyesuaian kebijakan.

Baca juga:

Ancaman varian gabungan

Juru bicara pemerintah untuk Covid-19, dokter Reisa Broto Asmoro mengumumkan Satgas Penanganan Covid-19 sudah menerbitkan surat edaran mengenai pelonggaran untuk pelaku perjalanan luar negeri sejak 5 April lalu. Pelaku perjalanan luar negeri tidak lagi harus menjalani karantina dan tes PCR dengan beberapa syarat.

"Bagi PPLN yang telah menerima vaksin dosis kedua, atau dosis ketiga, seminimalnya 14 hari sebelum keberangkatan, kemudian ia tidak terdeteksi atau memiliki gejala yang berkaitan dengan Covid-19, memiliki suhu tubuh di bawah 37,5 derajat Celcius, diperkenankan melanjutkan perjalanan tanpa karantina, tanpa pemeriksaan PCR," kata Reisa dalam keterangan pers yang disiarkan secara langsung melalui akun Youtube Sekretariat Presiden, Rabu (06/4).

Kebijakan itu dikeluarkan bersamaan dengan pemberian bebas visa kunjungan untuk beberapa negara. Pemerintah Indonesia memberikan Bebas Visa Kunjungan untuk sembilan negara ASEAN serta Bebas Visa Kunjungan Saat Kedatangan khusus wisata untuk 43 negara, di antaranya Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara di Eropa.

Epidemiolog Tri Yunis Miko Wahyono khawatir pelonggaran yang dilakukan pemerintah saat ini bisa memperburuk kondisi pandemi di Indonesia. Bukan hanya gara-gara Omicron XE, pelonggaran ini membuat Miko takut varian lain yang lebih berbahaya akan masuk atau malah Indonesia menjadi tempat virus-virus bermutasi.

"Yang saya takutkan adalah rekombinan-rekombinan dari gen-gen yang memiliki keparahan seperti varian Delta dan penularan yang cepat seperti Omicron. Itu kalau rekombinan begitu, minta ampun lah, ancaman dari rekombinan itu sangat besar. Sehingga pembebasan pembatasan itu harus hati-hati," ujar Miko.

Beberapa waktu lalu, Miko menyebut WHO pernah menyatakan bahwa pelonggaran pembatasan sosial yang dilakukan di beberapa negara di Eropa dan Inggris sebagai langkah brutal karena menyebabkan peningkatan kasus di beberapa negara, seperti Jerman, Prancis, Italia, dan Inggris.

Peningkatan itu kemungkinan disebabkan varian Omicron BA.2, turunan dari Omicron, yang juga menyebabkan terbentuknya varian XE.

Peningkatan kasus tinggi di Eropa di tengah cakupan vaksinasi yang tinggi. Bagaimana dengan Indonesia?

Peningkatan kasus di Eropa itu terjadi saat cakupan vaksinasi lengkap mencapai 72,4% dan vaksinasi booster 52,5%. Di Inggris sendiri, tempat dideteksinya varian Omicron XE untuk pertama kalinya, cakupan vaksinasi lengkapnya sudah 86,1% dan vaksinasi boosternya mencapai 67,6%.

Sementara di Indonesia, cakupan vaksinasi lengkapnya berada di angka 75,67% dan vaksinasi booster baru 9,52% dari target sasaran.

Reisa mengatakan cakupan vaksinasi itu pun tidak merata di seluruh wilayah Indonesia.

"Sayangnya, data menunjukkan bahwa masih ada lebih dari 20 provinsi yang belum sampai ke batas 70% untuk dosis keduanya. Dan lebih disayangkan, di antara 34 provinsi masih ada sekitar 30 provinsi yang kabupaten/kotanya belum mencapai 70%," kata Reisa.

Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan jumlah cakupan vaksinasi booster naik sekitar 15 kali lipat dalam waktu tiga bulan.

"Pemerintah pusat sendiri terus mendukung percepatan vaksinasi booster di berbagai daerah, khususnya menjelang periode ibadah atau perhelatan acara besar. Terlihat bahwa upaya ini dapat mencegah lonjakan kasus, contohnya di perhelatan MotoGP kemarin, yang tentunya dibarengi juga dengan protokol kesehatan yang ketat," kata Wiku, Selasa (05/04).

Bagaimana kalau Omicron XE masuk ke Indonesia?

Dengan belum meratanya vaksinasi dan masih ada sekitar 20% orang yang belum memiliki imunitas, baik dari infeksi alami maupun vaksinasi, menurut epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman, Indonesia perlu waspada, tapi tidak perlu panik.

"Jumlahnya besar. Indonesia ini penduduknya besar. Dengan hampir 300 juta, 20% itu sudah jutaan, lebih besar daripada penduduk Singapura. Artinya, ini yang harus diwaspadai, dengan cara 3T, 5M, dan vaksinasi, kembali ke situ. Apapun variannya, responsnya sebenarnya sama," kata Dicky.

Dia juga mengingatkan, varian-varian baru yang muncul tidak hanya menginfeksi orang yang belum vaksinasi, tapi yang sudah divaksinasi pun masih bisa terinfeksi.

"Bahayanya akan bergantung pada seberapa bagus lansekap imunitas di daerah itu, di kabupaten/kota itu. Seberapa bagus juga kepatuhan terhadap perilaku atau budaya pencegahan atau 5M-nya. Atau seberapa program deteksi dininya, dengan 3T-nya. Ini yang harus dievaluasi dan harus ditingkatkan.

"Apalagi kita menghadapi masa mau mudik, hampir 80 juta orang bergerak. Ini yang harus dipastikan bahwa mereka punya bekal imunitas, disiplin dalam prokes. Sebetulnya kalau itu diterapkan, kita tidak perlu khawatir dengan varian ini, kalau kita sudah punya modal itu dan konsisten. Tapi tetap kewaspadaan yang harus dibangun," ujar Dicky.

Kondisi sudah aman

Di sisi lain, Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia Masdalina Pane mengatakan pelonggaran pembatasan bisa dilakukan karena kondisi saat ini "lebih aman", asalkan protokol kesehatannya masih diterapkan.

"Menurut pandangan saya saat ini sudah cukup aman bagi kita untuk hidup normal, seperti biasa. Kalau XE datang ke Indonesia, mungkin akan ada peningkatan kasus tetapi itu tidak cukup signifikan untuk mempengaruhi sistem pelayanan kesehatan dan kematian," kata Masdalina.

Kata dia, karena XE masih menjadi bagian dari Omicron dan 99% hasil Whole Genome Sequencing (WGS) di Indonesia merupakan Omicron, "sebenarnya kita secara individu mampu melawan itu kecuali mereka yang komorbid, rentan, dan lansia, itu tetap harus kita perhatikan".

Oleh sebab itu, Masdalina mengatakan pembatasan yang ketat sudah tidak perlu dilakukan. Pembatasan ketat seperti karantina dari perjalanan luar negeri bisa dilakukan kembali ketika ada varian baru atau varian of concern maupun new emerging disease yang baru yang sudah dinyatakan oleh WHO.

Masdalina menjelaskan pembatasan yang terlalu ketat pun tidak akan menyelesaikan masalah pandemi.

"China selalu melakukan pembatasan yang ketat, baik warga negaranya, maupun dari luar. Apakah itu menyelesaikan masalah pandemi di sana? Tidak. Hari ini mereka mengalami peningkatan kasus selama beberapa hari terakhir.

"Sebenarnya ini yang harus kita perhatikan di dalam pengendalian wabah. Kita tidak akan pernah bisa terlepas dari penyakit berpotensi wabah, tapi bagaimana kita menghadapinya dan mengendalikannya itu merupakan hal yang krusial," kata Masdalina menambahkan.

Apa itu varian XE?

Virus Covid-19 varian XE merupakan rekombinan dari Omicron BA.1 dan BA.2, sehingga vírus ini masih termasuk varian Omicron. Para ahli menyebutnya Omicron XE.

Subvarian Omicron ini pertama kali ditemukan di Inggris pada pertengahan Januari 2022 lalu. Hingga saat ini, Inggris mencatat ada 637 kasus Omicron XE di negaranya.

Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UKSHA) menyatakan varian rekombinan terjadi ketika seseorang terinfeksi dengan dua varian atau lebih pada saat yang sama. Saat itulah terjadi pencampuran materi genetik dari dua varian virus itu di dalam tubuh pasien.

"Varian rekombinan bukanlah kejadian yang tidak biasa, terutama ketika ada beberapa varian yang beredar, dan beberapa telah diidentifikasi selama pandemi hingga saat ini. Seperti jenis varian lainnya, sebagian besar akan mati dengan relatif cepat," kata Kepala Penasihat Medis UKSHA, Profesor Susan Hopkins.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Omicron XE 10% lebih menular dibandingkan varian Omicron itu sendiri—yang bahkan sudah sangat menular. Omicron XE dikatakan sebagai virus Covid-19 yang diketahui paling menular.

Penulis : Vyara-Lestari

Sumber : BBC


TERBARU