> >

Mimpi Punya Apartemen Masih Angan-Angan, Konsumen Apartemen Meikarta Merasa Diperlakukan Tidak Adil

Bbc indonesia | 21 Agustus 2022, 07:05 WIB
Waluyo dan Suryadi meninjau lokasi pembangunan apartemen mereka di District 2 Meikarta. (Sumber: Tri Wahyuni/BBC Indonesia)

Waluyo dan Suryadi sudah mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah untuk membeli apartemen pertama mereka. Tapi, upaya yang sudah mereka lakukan selama kurang lebih lima tahun untuk mewujudkan mimpi itu masih jauh dari kata terwujud.

Setiap kali Waluyo melintas di kawasan Cikarang Selatan, Bekasi, Jawa Barat, dia selalu diselimuti rasa sedih dan kecewa. Seharusnya di lokasi yang pernah digadang-gadang sebagai calon ‘Jakarta Baru’ itu Waluyo sudah memiliki dua unit apartemen yang dia beli sejak 2017, meski dengan cara menyicil.

Namun sampai Agustus 2022, Waluyo belum mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya. Padahal dalam perjanjian awal, serah terima unit apartemen dijadwalkan pada 2019.

“Saya sudah berangan-angan, nanti tahun sekian sudah saya nikmati (hasil berinvestasi apartemen). Anak saya pas lulus kuliah, pas ini, pas ini, makanya berani ambil. Kalau tahu bakal kayak gini, mana berani ambil keputusan seperti ini,” kata Waluyo kepada BBC News Indonesia.

Lima tahun lalu, Waluyo mengaku “terbuai iklan”, yang memang pada kala itu juga menarik perhatian banyak orang. Warga Cikarang itu langsung membeli dua unit apartemen tipe studio di District 2, Meikarta.

“Harganya hampir sama dengan rumah tapak dengan fasilitas yang oke. Bagaimana nggak tertarik? Orang pasti akan punya mimpi yang lebih bagus kan, cari kehidupan yang lebih bagus, lingkungan yang bagus,” ujar Waluyo.

Baca juga:

Suryadi juga berminat membeli hunian di mega proyek ‘kota baru’ itu karena alasan yang sama. Ditambah lagi proyek itu berada di bawah naungan salah “satu pengembang terbesar” di Indonesia, PT Lippo Cikarang Tbk, dan pembelinya pun “sudah banyak”.

Tanpa keraguan, dia akhirnya membeli satu unit apartemen Meikarta di District 2 dengan cara menyicil melalui bank. Di bayangannya, dia bisa menyewakan apartemen itu dan hasilnya bisa dia gunakan untuk menambah biaya kuliah anaknya, yang baru saja masuk ke universitas tahun ini.

“Tapi kenyataannya sama sekali nggak ada, tidak sesuai dengan kenyataan. Kalau bisa uang konsumen harus dibalikin, jangan sampai konsumen ditelantarkan begini, hanya diberi janji-janji saja,” kata Suryadi.

Diminta relokasi

Sudah dibuat kecewa dengan apartemen yang tak kunjung berdiri, Waluyo dan Suryadi juga dipusingkan dengan tawaran relokasi dari pihak Meikarta dan beberapa perusahaan pengembang lainnya yang berada di bawah payung grup Lippo.

Tawaran relokasi itu selalu mereka dapatkan ketika menanyakan nasib apartemen mereka ke PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pemegang proyek Meikarta.

Tawaran relokasi tidak hanya disampaikan satu atau dua kali. Waluyo dan Suryadi mengaku sering ditawarkan untuk pindah ke unit baru di District 1, tapi dengan tambahan harga karena menyesuaikan harga saat ini.

District 1 adalah satu-satunya distrik yang sudah dibangun di Meikarta, meski belum rampung 100%. Menurut rencana awal, Meikarta akan memiliki tiga distrik.

Tak berhenti di situ, kedua warga Cikarang itu juga kerap dihubungi nomor tak dikenal yang ternyata menawarkan properti baru. Mereka menjelaskan, Waluyo maupun Suryadi hanya tinggal melanjutkan cicilan yang sudah mereka bayarkan untuk unit mereka di District 2 Meikarta.

“Semua yang belum terima unit, pasti dikasih solusi relokasi, tapi diminta penambahan dana karena unit baru dengan harga saat ini, sementara yang punya kami dianggap unit lama, kan perbedaannya (harga) sangat jauh,” kata Waluyo.

Suryadi mengajak BBC News Indonesia untuk menemui salah satu tim penjualan dan menyaksikan tawaran relokasi yang diberikan kepadanya.

Ditemani Waluyo, kami menemui tim penjualan di kawasan District 1 Meikarta. Mereka menawarkan Suryadi untuk relokasi ke Karawang, ke sebuah hunian yang harganya sekitar Rp700 juta, sementara apartemen yang dia cicil harganya sekitar Rp150 juta.

“Tinggal lanjutkan saja cicilannya, pak,” kata salah satu orang dari tim penjualan pengembang hunian tersebut.

“Duit dari mana?” keluh Suryadi, yang kemudian mempertanyakan nasib apartemennya di Meikarta. Pertanyaan itu tentunya tidak bisa dijawab oleh tim penjualan yang kami temui, meski perusahaan mereka masih merupakan grup Lippo.

Mendengar penjelasan tim penjualan terkait cicilan, Suryadi dan Waluyo lantas bingung, kalau uangnya bisa dipindahkan ke pengembang lain, mengapa tidak digunakan saja untuk membangun apartemen atau bahkan dikembalikan.

Baca juga:

Usai bertemu dengan tim penjualan, Waluyo dan Suryadi membawa saya mengunjungi lokasi apartemen mereka. Rasa khawatir, takut, kecewa, dan sedih yang mereka rasakan, terpancar dari wajah mereka.

Bagaimana tidak, bertahun-tahun menyicil uang ratusan juta rupiah ke bank demi mendapatkan apartemen impian, tapi yang di depan mata hanya ada beberapa bangunan terbengkalai, semuanya dipagari seng.

“Tower bapak di mana seharusnya?” tanya saya kepada mereka.

“Di sini, mbak,” kata Suryadi menunjuk ke arah kanan kami.

“Kalau saya di belakang sana,” kata Waluyo menunjuk ke bangunan yang kerangka gedungnya sudah berdiri.

Keduanya mengaku berada di gedung yang sama. Tapi, keterangan dari pihak manajemen berbeda-beda.

“Kalaupun (proyek) ini dilanjutkan, coba bayangkan, beberapa tahun lagi bangunan ini bagaimana? Kena panas, kena hujan. Apa tidak bahaya? Sekarang saja nggak ada pembangunan apa-apa lagi,” ujar Waluyo sambil bangunan gedung yang belum selesai.

Mogok cicilan, meminta pertanggungjawaban

Melihat banyak hal yang tidak bisa diterima dengan akal sehatnya, Waluyo memutuskan untuk berhenti menyicil kredit pembiayaan apartemen (KPA), yang seharusnya dia lakukan selama 15 tahun. Mogok menyicil itu dia lakukan sejak April 2021 lalu.

Pemilik warung makan di Cikarang itu mengatakan bukan hanya dia yang mogok menyicil apartemen. Dia mengikuti puluhan konsumen lainnya yang juga mengalami nasib yang sama.

“Sudah ada peringatan dari pihak bank, tapi saya jawab, intinya saya mau bayar asal ada unitnya. Unit enggak ada, saya stoplah. Saya mau cicil, cicil untuk apa?” kata Waluyo.

Sebelum berhenti menyicil, laki-laki berusia 56 tahun itu mengaku sudah bolak-balik mempertanyakan nasib pembangunan apartemennya, tapi sampai saat ini tidak kunjung mendapat kejelasan.

Berbeda dengan Waluyo dan puluhan orang lainnya, Suryadi masih tetap menyicil. Dua tahun lagi cicilannya lunas.

“Kalau misalnya saya tidak nyicil, itu nanti di-blacklist, ditakut-takuti oleh bank, nanti ada BI Checking, katanya. Jadi makanya, untuk sementara ini tiap bulan saya terus nyicil,” ujar Suryadi.

Penulis : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : BBC


TERBARU