> >

Kasus Mutilasi di Papua: "Perkara yang Libatkan Aparat Tak Pernah Jelas Penyelesaiannya"

Bbc indonesia | 2 September 2022, 09:19 WIB
Tim SAR gabungan mencari jasad korban mutilasi di Timika, Papua. Korban dibunuh pada Senin (22/8/2022) sekitar pukul 21.50 WIT di kawasan SP 1, Distrik Mimika Baru, yang kemudian jasadnya dibuang di sekitar sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, Timika. (Sumber: ANTARA/HO/Humas SAR Timika)

Menurut keterangan Kombes Faizal Rahmadani, Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Papua, para pelaku berpura-pura menjual senjata api dengan harga Rp250 juta.

Ketika korban membawa uang tersebut, para pelaku membunuh mereka dan memotong-motong tubuh mereka. Pelaku kemudian memasukkan potongan tubuh ke karung dan membuangnya ke kali di Kampung Pigapu, Distrik Iwaka.

Setelah membuang mayat korban, para pelaku membakar mobil yang disewa korban untuk menghilangkan jejak.

Salah satu dari keempat korban diyakini merupakan simpatisan KKB pimpinan Egius Kogoya yang aktif untuk mencari senjata, kata polisi.

Namun Vale Gwijangge, yang mewakili pihak keluarga korban, mengatakan "keempat korban adalah murni warga sipil".

Berbicara terpisah, Pangdam Cenderawasih Mayjen TNI Teguh Muji Angkasa mengatakan pihaknya “tidak akan memberikan toleransi apapun” bila ada prajurit yang terlibat dalam tindakan kriminal.

“Kami akan berikan sanksi tegas untuk melakukan proses hukum sesuai dengan hukum dan perundang undangan yang berlaku saat ini,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan Polda untuk mengungkap kasus ini.

Dituntut untuk transparan

Para pegiat HAM selama ini mengkritik proses hukum terhadap aparat keamanan yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM, "yang hampir selalu berlangsung tertutup".

Organisasi pemantau Amnesty International mencatat, sejak Februari 2018 hingga Juli 2022, ada setidaknya 61 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang diduga melibatkan aparat keamanan dengan total 99 korban.

Dari semua kasus tersebut, belum ada yang diproses hukum sampai selesai, kata direktur eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid kepada BBC News Indonesia.

Laporan organisasi itu yang diterbitkan pada 2018 menyebut investigasi terhadap laporan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di Papua jarang terjadi.

Dari 69 insiden yang didokumentasikan dalam laporan tersebut, tidak satu kasus pun yang diproses lewat suatu investigasi kriminal oleh institusi independen dari lembaga yang anggotanya diduga melakukan pembunuhan. Termasuk di dalamnya, ada 25 kasus yang tidak ada investigasi sama sekali, bahkan tidak ada investigasi internal.

Sementara itu dalam 26 kasus lain, polisi maupun militer mengaku telah melakukan penyelidikan internal tetapi tidak mengumumkan hasilnya ke publik.

Pengacara hak asasi manusia di Papua, Gustaf Kawer, mencontohkan rangkaian tiga kasus di Kabupaten Intan Jaya pada 2020 silam -- Pembakaran Rumah Dinas Kesehatan di Hitadipa, penghilangan dua orang pria yang ditahan di Koramil Sugapa, serta penembakan pendeta Yeremia Zanambani.

Gustaf, yang tergabung dalam Perkumpulan Pengacara Hak Asasi Manusia untuk Papua (PAHAM Papua), mengatakan ketiga kasus tersebut sudah dilimpahkan ke pengadilan militer namun hingga saat ini proses hukumnya belum dibuka kepada keluarga korban maupun masyarakat umum.

Menurut Gustaf, proses yang tidak transparan melanggengkan impunitas dan memungkinkan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan terus berulang.

“Ini proses yang kita nilai bahwa di tingkat negara tidak serius dan kemudian ada impunitas sebuah pelakunya itu pelakunya tidak tersentuh oleh proses hukum. Nah hal ini yang kemudian membuat perilaku aparat itu tidak hilang begitu, terus subur untuk melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil,” ujarnya.

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen TNI Tatang Subarna tidak memenuhi permintaan wawancara dari BBC News Indonesia. Kapendam XVII/Cenderawasih, Letkol Kav. Herman Taryaman juga tidak menjawab pertanyaan BBC tentang masalah transparansi.

Perhatian di awal, tidak jelas akhirnya

Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Latifah Anum Siregar, menjelaskan bahwa hampir semua kasus pelanggaran HAM di Papua mendapatkan perhatian dari para pejabat tinggi pada awalnya, namun tidak jelas penyelesaiannya.

Latifah menekankan bahwa transparansi dalam kasus-kasus tersebut sangatlah penting untuk menunjukkan bahwa pemerintah serius menangani persoalan di Papua.

Ia menambahkan bahwa hampir tidak ada contoh baik dalam penegakan hukum kasus pelanggaran HAM yang melibatkan aparat.

“Kita enggak punya contoh baik ya, yang menunjukkan bahwa 'Ya pemerintah harus dipercaya loh. Ini serius menangani kasus' hampir enggak ada contoh gitu,” kata Latifah kepada BBC News Indonesia.

Selain itu, menurut Latifah, kasus pembunuhan di Mimika ini perlu ditangani dengan serius karena diduga melibatkan motif perdagangan senjata. Praktik tersebut dinilai sebagai salah satu hal yang membuat konflik bersenjata tidak pernah berakhir di Papua.

Menurut laporan ALDP yang diterbitkan Juli lalu, sejumlah oknum aparat keamanan "diduga memiliki peran penting dalam praktik kejahatan perdagangan senjata dan amunisi selama satu dekade terakhir di Papua". Namun hingga kini mereka belum tersentuh hukum.

“Apapun yang berkaitan dengan itu itu harus diatasi baik. Mulai dari transaksinya sampai dengan, misalnya, pihak-pihak yang terlibat bisa dibuka. Misalnya ditelusuri apakah keenam anggota (TNI) ini baru pertama kali, atau bukan pertama kali,” ujarnya.

Dari empat kasus pelanggaran HAM berat di Papua, baru satu kasus yang dianggap sudah selesai yaitu kasus Abepura pada 2002. Tiga lainnya adalah kasus di Wasior pada 2001, Wamena pada 2003, dan Paniai pada 2014.

Kepala perwakilan Komnas HAM di Papua, Frits Ramandey mengatakan pihaknya akan berusaha mengungkap motif pembunuhan di Kabupaten Mimika.

Penulis : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : BBC


TERBARU