> >

Menilik Lagi Jenis Sembako yang Kena PPN dan Alasan di Balik Pemberlakuannya

Ekonomi dan bisnis | 1 Oktober 2021, 10:39 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani berdialog dengan pedagang bumbu di Pasar Santa, Jakarta (14/06/2021) (Sumber: Instagram @smindrawati)

JAKARTA, KOMPAS.TV- DPR akan mengesahkan Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP) menjadi Undang-Undang Harmonisasi Pengaturan Perpajakan (HPP) dalam rapat paripurna yang digelar pekan depan.

Salah satu isi RUU KUP adalah tentang pengenaan pajak pada sejumlah barang kebutuhan pokok. Saat draf awal RUU KUP beredar, muncul kehebohan di masyarakat karena khawatir sembako juga akan dipungut PPN.

Padahal, sembako adalah kebutuhan pokok masyarakat yang jika dikenakan PPN, harga nya akan naik dan memberatkan rakyat yang sudah sengsara karena pandemi.

Namun, Kementerian Keuangan lantas memberikan penjelasan tentang jenis-jenis sembako yang akan dipungut PPN. Serta tujuan perluasan jenis barang yang dikenakan PPN.

Baca Juga: Tahun Depan PPN Naik Jadi 11 Persen, Pengamat: Sangat Berisiko Terhadap Pemulihan Ekonomi

Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan, pemerintah tidak akan mengenakan PPN pada sembako yang dijual di pasar tradisional, yang biasa dikonsumsi masyarakat umum.

"Misalnya beras produksi petani seperti Cianjur, Rojolele, Pandan Wangi, yang merupakan bahan pangan pokok dan dijual di pasar tradisional tidak dipungut PPN, " ujar Sri Mulyani saat menemui para pedagang di Pasar Santa, Senin (14/06/2021).

Namun beras premium impor seperti beras basmati, beras shirataki yang harganya bisa 5-10 kali lipat dan dikonsumsi masyarakat kelas atas, seharusnya dipungut pajak.

"Demikian juga daging sapi premium seperti daging sapi Kobe, Wagyu yang harganya 10-15 kali lipat harga daging sapi biasa, seharusnya perlakukan pajak berbeda dengan bahan kebutuhan pokok rakyat banyak. Itu asas keadilan dalam perpajakan dimana yang lemah dibantu dan dikuatkan dan yang kuat membantu dan berkontribusi, " kata Sri Mulyani.

Baca Juga: Sosialisasi PPN Sembako, Ditjen Pajak Kirim Email ke 13 Juta Wajib Pajak

Sementara itu, Dirjen Pajak Kemenkeu Suryo Utomo menjelaskan, pemerintah sudah beberapa kali mengubah kebijakan terkait penerimaan negara yang lain. Seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan kepabeanan. Begitu juga dengan cukai yang objeknya dibatasi hanya minuman beralkohol, tembakau, dan plastik.

"Sedangkan PNBP dari royalti, kontribusinya dari sumber daya alam, dan dividen BUMN. Apakah itu cukup? Jadi itulah variabel yang kami pikirkan supaya kebijakan yang dikeluarkan memenuhi beberapa kriteria yang ditetapkan," kata Suryo pada Rabu (16/06/2021).

Ia mengakui, pemerintah butuh dana lebih besar untuk membiayai negara di masa pandemi Covid-19. Apalagi di tahun 2023, batas defisit APBN harus kembali pada angka 3 persen.

Pemungutan PPN pada sembako premium dan jasa pendidikan komersil juga bagian dari upaya pemerintah mereformasi sistem perpajakan. Lantaran berdasarkan penelitian, saat ini dunia memasuki era 'the death of income tax'.

Baca Juga: Pengusaha Tambang dan Sektor Keuangan yang Paling Diuntungkan Tax Amnesty Jilid II

Yaitu kondisi di mana orang akan semakin sulit dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) karena adanya sifat elusif dari uang akibat transformasi ekonomi digital. Di sisi lain, orang akan semakin mudah dipajaki lewat sisi konsumsi karena adanya integrasi single ID yang bisa dicapture dengan baik.

"Otomatis di sini kebijakan kita harus dilakukan perbaikan. Bagaimana mendesain kebijakan sehingga ada value yang ditambahkan dalam penerimaan negara. Bahwa yang kita buka adalah ruang yang selama ini bisa kita improve," ujar Suryo.

Ia menambahkan, Indonesia merupakan negara yang paling banyak memberikan fasilitas pengecualian tarif PPN, dibanding negara tetangga.

Baca Juga: Mesir Wajibkan Kreator Konten Berpenghasilan di Atas Rp454 Juta per Tahun Bayar Pajak

Pengecualian tariff PPN berlaku untuk barang pertanian, peternakan, perikanan, tambang, kebutuhan pokok, emas, uang, surat berharga, makanan/minuman di restoran, jasa pendidikan, jasa kesehatan, keuangan, dan sosial.

Lalu juga untuk asuransi, keagamaan, kesenian dan hiburan, angkutan umum, perhotelan, parkir, kawasan ekonomi khusus, dan strategis jasa tertentu.

"UU PPN saat ini enggak begitu berbeda dengan UU PPN di negara lain, yang berbeda adalah pengecualian yang ada. Hanya saja dalam sistem pajak saat ini UU PPN ada beberapa treatment, kemudian ada beberapa kelompok barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN," kata Suryo.

Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti

Sumber :


TERBARU