> >

DMO dan DPO Minyak Goreng Berlaku, YLKI: Kenapa Enggak dari Kemarin-Kemarin?

Ekonomi dan bisnis | 28 Januari 2022, 16:01 WIB
Supermarket di Kalibata City menjual minyak goreng satu harga Rp14.000 per liter. (Sumber: Kompas TV/DINA KARINA)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah menerapkan aturan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) terhadap komoditas minyak goreng. Pemerintah juga menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) terbaru untuk minyak goreng curah dan kemasan.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, seharusnya pemerintah menerapkan kebijakan itu dari dulu.

"Sebagaimana batu bara, pemerintah membuat DMO dan capping (pembatasan) harga. Itu kenapa tidak dilakukan dari kemarin-kemarin?" kata Tulus dalam diskusi virtual, Jumat (28/1/2022).

Seperti diketahui, kenaikan harga minyak goreng yang signifikan terjadi sejak akhir Desember 2021. Kemudian pemerintah menyebut kenaikan terjadi akibat permintaan tinggi saat momen Natal dan Tahun Baru.

Baca Juga: Rincian Harga Eceran Minyak Goreng per 1 Februari 2022, Mulai Rp11.000 hingga Rp14.000 per Liter

Menurut Tulus, kenaikan harga bukan karena tingginya permintaan. Kebutuhan pasar yang besar tidak akan membuat harga minyak goreng setinggi itu, bahkan ada yang lebih dari Rp20.000 per liter.

"Ini pasti ada sesuatu distorsi pasar yang lebih sistemik," ujarnya.

Ia mengibaratkan, fenomena mahalnya minyak goreng bagi rakyat Indonesia, seperti ayam yang mati di lumbung padi. Lantaran, Indonesia adalah penghasil minyak sawit mentah (CPO) terbesar, tapi pemerintah gagal memasok minyak goreng yang terjangkau ke masyarakat.

"Ini ironis. Harusnya kan terjangkau, murah, dan termurah di dunia. Kan ini kebalik. Ke end user (pembeli) malah tertinggi di dunia," ucap Tulus.

Ia menyampaikan, pemerintah sudah salah kaprah dalam menerapkan kebijakan minyak goreng dari hulu ke hilir. Kebijakan subsidi minyak goreng Rp7,6 triliun untuk memasok 1,2 miliar minyak goreng murah ke pasar, dianggap sia-sia oleh Tulus. Karena, tidak terbukti efektif sampai sekarang.

Baca Juga: DMO & DPO Minyak Goreng Ditetapkan, Produsen Wajib Pasok 20 Persen dari Angka Ekspor ke Dalam Negeri

Tulus mengatakan, harusnya pemerintah cukup menerapkan kebijakan HET saja. Tidak perlu menyeragamkan harga seluruh produk minyak goreng. Aturan itu menjadi kebijakan yang antikompetisi.

Beberapa tahun lalu, lanjut Tulus, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pernah mengungkap dugaan kartel minyak goreng oleh empat produsen besar. Dan kartel tersebut justru difasilitasi Kementerian Perdagangan (Kemendag). Namun, Kemendag marah besar dengan temuan KPPU itu.

"Nah, itu masih terjadi sampai sekarang. Harusnya tanah KPPU itu, dia kan harusnya wasit dalam perdagangan ini, tapi belum ada action konkrit. Sebenarnya ada masalah apa?!" ujar Tulus bertanya.

Baca Juga: Sidak, Bupati Kendal Masih Temui Harga Minyak Goreng Mahal

Ia juga menilai Polri belum sigap menyelidiki dugaan penimbunan minyak goreng. YLKI mendapat aduan dari masyarakat yang kesulitan menemukan minyak goreng di ritel modern. Sedangkan Asosiasi Pengusaha Ritel Modern (Aprindo) mengaku stok di mereka juga tinggal sedikit.

Padahal awalnya, pemerintah menjamin ketersediaan minyak goreng satu harga selama 6 bulan ke depan.

"Polri itu harusnya juga sudah turun tangan. Karena kalau ada penimbunan itu kan pidana. Minyak goreng termasuk bahan pangan strategis. Tapi saya belum lihat ada action dari Polri," tandasnya.

Penulis : Dina Karina Editor : Vyara-Lestari

Sumber :


TERBARU