> >

Mahfud MD Bentuk Satgas untuk Tindaklanjuti Transaksi Mencurigakan Rp349 T terkait Kemenkeu

Ekonomi dan bisnis | 10 April 2023, 13:40 WIB
Ketua Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) Mahfud MD mengatakan, pihaknya akan membentuk satuan tugas untuk menindaklanjuti transaksi mencurigakan senilai lebih dari Rp349 triliun terkait Kementerian Keuangan. (Sumber: YouTube Kemenko Polhukam)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) akan membentuk satuan tugas untuk menindaklanjuti transaksi mencurigakan senilai lebih dari Rp349 triliun terkait Kementerian Keuangan.

Ketua Komite TPPU Mahfud MD mengatakan, satgas ini terdiri dari PPATK, Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, Bareskrim Polri, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Bidang Pengawasan OJK, BIN, serta dari pihak Kemenkopolhukam.

"Komite TPPU akan membentuk satgas yang mensupervisi untuk menindaklanjuti soal transaksi mencurigakan Rp349 triliun ini dengan case building atau membangun kasus dari awal," kata Mahfud dalam konferensi pers, Senin (10/4/2023).

"Case building prioritas dari transaksi yang nilainya paling besar yaitu Rp189 triliun. Komite dan tim gabungan atau satgas akan bekerja secara profesional, transparan, dan akuntabel," ujarnya.

Pernyataan itu disampaikan Mahfud usai menggelar rapat bersama Menko Perrekonomian Airlangga Hartarto sebagai Wakil Komite TPPU, serta Menkeu Sri Mulyani, Ketua PPATK Ivan Yustiavandana, OJK, dan Menkumham Yasonna Laoly sebagai anggota Komite TPPU.

Rapat tersebut membahas soal tindaklanjut temuan transaksi mencurigakan Rp349 triliun terkait Kemenkeu dan merupakan rapat yang ke-5 sejak Mahfud rapat dengan Komisi III DPR beberapa waktu lalu.

Selain membentuk satgas, Mahfud menyampaikan beberapa hasil rapat tersebut. Yakni tidak ada perbedaan data antara yang disampaikan Mahfud di Komisi III dengan yang disampaikan Sri Mulyani di Komisi XI DPR.

Baca Juga: Soal Data Transaksi Mencurigakan, Wamenkeu: Tidak Ada Perbedaan

"Karena sumber data yang disampaikan sama, yaitu data agregat atau uang keluar masuk dari Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK sejak 2009-2023. Terlihat berbeda karena cara klasifikasi dan penyajian datanya yang beda," ujar Mahfud dikutip dari tayangan Breaking News Kompas TV.

"Di mana Menkopolhukam membaginya menjadi 3 klaster, sedangkan Kemenkeu hanya mencantumkan LHA dan LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) yang diterima dan tidak mencantumkan LHA dan LHP yang dikirim PPATK ke aparat penegak hukum," ujarnya.

Sebagian dari laporan PPATK itu sudah ditindaklanjuti dan sebagian sedang dalam proses. Kemenkeu sendiri disebut Mahfud sudah menyelesaikan laporab PPATK yang terkait adiministrasi disiplin PNS Kemenkeu.

Sedangkan soal transaksi Rp189 T yang terkait ekspor emas batangan, Kemenkeu sudah bekerjasama dengan PPATK untuk mengungkap tindak pidana asal dan TPPU lewat langkah hukum. Prosesnya bahkan sampai Peninjauan Kembali (PK) namun Kemenkeu kalah dalam proses tersebut.

Mahfud menuturkan, Komite TPPU akan menindaklanjuti kasus tersebut lewat proses case building.

Diberitakan Kompas TV sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan soal kabar adanya perbedaan data tentang transaksi mencurigakan yang melibatkan pegawai Kemenkeu antara yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani dan Menkopolhukam Mahfud MD.

Sri Mulyani menyebut angkanya sebesar Rp3,3 triliun, sementara Mahfud mengatakan Rp35 triliun.

Baca Juga: Wamenkeu Jawab Tudingan Mahfud MD soal Bawahan Sri Mulyani Tutup Info Ekspor Emas Rp189 T

Suahasil mengungkapkan, data yang disampaikan Sri Mulyani kepada Komisi XI DPR beberapa waktu lalu itu berdasarkan 200 surat yang berisi laporan analisis dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Sebanyak 200 surat itu, kata dia, terdiri dari 135 surat laporan analisis transaksi mencurigakan perusahaan dan pegawai Kemenkeu, serta 65 surat terkait korporasi.

Dalam 135 surat terkait korporasi dan pegawai Kemenkeu, ada transaksi mencurigakan senilai Rp22 triliun.

Suahasil mengatakan, dari nilai itu, ada transaksi mencurigakan senilai Rp18,7 triliun dilakukan oleh perusahaan dan Rp3,3 triliun oleh PNS Kemenkeu.

Sedangkan untuk 65 surat dari PPATK kepada Kemenkeu, sambungnya, terkait perusahaan atau korporasi dengan nilai transaksi mencurigakan senilai Rp253 triliun.

Sementara yang disampaikan Mahfud dan PPATK, sudah memasukkan nilai transaksi mencurigakan yang dikirim PPATK kepada aparat penegak hukum (APH), yakni dalam 100 surat.

Suahasil mengaku Kemenkeu tidak mengetahui isi surat PPATK untuk APH tersebut.

Baca Juga: Soal Transaksi Janggal Rp349 T, Survei LSI: 63,3 Persen Publik Lebih Percaya Mahfud MD daripada DPR

"Surat yang dikirimkan ke APH, Kemenkeu terima enggak? Enggak," kata Suahasil dalam konferensi pers virtual, Jumat (31/3/2023).

Sederhananya, kata dia, Sri Mulyani menghitung nilai transaksi mencurigakan pegawai Kemenkeu hanya berdasarkan 200 surat yang diterima dari PPATK yaitu sebesar Rp3,3 triliun.

Sedangkan Mahfud, kata Suahasil, menghitung nilai transaksi mencurigakan pegawai Kemenkeu dari 300 surat yang dikirimkan PPATK ke penegak hukum dan Kemenkeu sehingga nilainya jadi Rp35 triliun.

"Tidak ada perbedaan data. Kami kerja dengan 300 data dan kami mengklasifikasikannya," ucapnya.

Suahasil pun memperlihatkan hitung-hitungan nilai transaksi yang disampaikan Mahfud sebagai Ketua Komite Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kepada Komisi XI DPR pada Rabu (29/3) lalu.

Disebutkan jika ada transaksi keuangan mencurigakan senilai Rp35 triliun yang terkait dengan 461 pegawai Kemenkeu.

Nilai itu berasal dari 135 surat laporan PPATK ke Kemenkeu, di mana ada 363 pegawai Kemenkeu yang diduga terlibat transaksi mencurigakan senilai Rp22 triliun.

Baca Juga: Saat Soimah Curhat soal Petugas Pajak di YouTube dan Direspons Langsung oleh Sri Mulyani

Namun setelah ditelusuri Kemenkeu, hanya Rp3,3 triliun dari Rp22 triliun itu yang benar-benar ada keterlibatan PNS Kemenkeu.

Kemudian, jumlah Rp35 triliun itu juga berasal dari 64 surat laporan PPATK ke penegak hukum, dengan transaksi Rp13 triliun dan melibatkan 103 pegawai Kemenkeu.

Pada kesempatan yang sama, Suahasil jug menerangkan soal pergerakan dana mencurigakan senilai Rp189 triliun itu terkait tindak pidana kepabeanan ekspor emas.

Pada Januari 2016, pihak Bea Cukai mencegah ekspor logam mulia. Dalam dokumen ekspor disebutkan isi barang tersebut adalah 218 kg perhiasan senilai 6,8 juta dolar AS.

"Tapi isinya Ingot (emas batangan). Lalu didalami dan ada potensi tindak pidana kepabeanan dan dilakukan juga penelitian, penyelidikan, hingga pengadilan tindak pidana kepabeanan," kata Suahasil.

Ekspor emas tersebut akhirnya distop oleh Bea Cukai. Proses peradilan kasus tersebut berlangsung pada 2017-2019.

Suahasil memaparkan, di tingkat Pengadilan Negeri, pihak Bea Cukai kalah, lalu maju untuk kasasi hingga akhirnya menang di tingkat tersebut.

Baca Juga: Mantan Wakil Ketua KPK: Cara Rafael Terima Gratifikasi Pajak Modus Lama Sejak Era Gayus

Kemudian pihak perusahaan yang terlibat, mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan pihak Bea Cukai kembali kalah.

"Dianggap tidak terbukti ada tindak pidana kepabeanan di PK pada 2019," ujar Suahasil.

Karena di tingkat PK kalah, pihak Kemenkeu pun tidak bisa mengusut lebih lanjut soal dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus ekspor 218 kg emas batangan itu.

 

"TPPU itu terkait tindak pidana asal. Saat tindak pidana asal ada, maka TPPU-nya bisa mengikuti. Kalau tindak pidana tidak terbukti di pengadilan, ya TPPU-nya enggak maju," kata Suahasil.

Selanjutnya pada 2020, pihak Bea Cukai mengendus perusahaan yang sama melakukan ekspor emas dengan modus yang sama.

Tapi karena sudah kalah di PK pada 2019, pihak Kemenkeu pun mencoba mengejar pajak perusahaan tersebut. Pada tahun 2020, Bea Cukai dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bertukar data terkait perusahaan tersebut.

"Kalau modusnya sama, 2016 kita kalah di pengadilan. Dengan logika seperti itu, maka Agustus 2020 itu disepakati kalau tindak kepabeanan engga kena, kita kejar pajaknya," tutur Suahasil.

Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU