> >

Penjelasan Lengkap Rabu Wekasan, Ini Jadwal, Sejarah dan Pandangan menurut Islam

Seni budaya | 13 September 2023, 06:30 WIB
Sejarah Rabu Wekasan yang jatuh pada besok, Rabu (13/9/2023). (Sumber: Pixabay)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Tahun ini, Rabu Wekasan 2023 jatuh pada Rabu (13/9/2023). Tradisi ini sering dikaitkan dengan beberapa mitos dan pantangan.

Pada dasarnya, Rabu Wekasan adalah tradisi yang dilakukan oleh beberapa masyarakat Jawa. Untuk lebih lengkapnya, simak ulasan berikut.

Apa Itu Rabu Wekasan?

Rabu Wekasan atau juga bisa disebut Rabu Pungkasan adalah hari Rabu terakhir pada bulan Sapar atau Safar, bulan hijriah yang kedua.

Artinya, Rabu Wekasan selalu jatuh pada hari Rabu terakhir bulan Safar (Hijriah) atau bulan Sapar (Jawa) setiap tahunnya.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tahun ini Rabu Wekasan 2023 jatuh pada Rabu, 13 September 2023.

Baca Juga: Kisah Pria Cirebon Temani Istri Lahiran di Rabu Wekasan: Siangnya Tradisi Apem, Jam 11 Malam Lahiran

Sejarah Rabu Wekasan

Melansir warisanbudaya.kemdikbud.go.id, sejarah Rebo Wekasan ada beberapa versi. Pertama, sudah ada sejak tahun 1784. Budaya ini berasal dari Mbah Faqih Usman, tokoh kiai yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kiai Wonokromo Pertama atau Kiai Welit.

Masyarakat Wonokromo, Yogyakarta meyakini Mbah Fagih memiliki kelebihan ilmu yang sangat baik di bidang agama maupun bidang ketabiban atau penyembuhan penyakit.

Ketenarannya pun terdengar oleh Sri Sultan HB I. Sehingga, Sri Sultan mengutus empat orang prajuritnya agar membawa Mbah Kiai Faqih menghadap ke keraton dan memperagakan ilmunya.

Ternyata, ilmu Mbah Kiai itu mendapat sanjungan dari Sri Sultan HB I. Pasalnya, setelah masyarakat yang sakit itu diobati, mereka sembuh.

Sepeninggal Mbah Kiai, masyarakat Wonokromo meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong saat Rabu Wekasan dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah ketenteraman.

Sejarah Rabu Wekasan versi kedua yakni berasal dari Keraton Mataram dengan Sultan Agung yang dulu pernah bermukim di Pleret, DI Yogayakarta.

Baca Juga: Cerita Warga Amalkan Tradisi Rabu Wekasan, Ngaku Diingatkan Masjid Sejak Malam Hari

Upacara adat ini diselenggarakan sejak tahun 1600. Pada masa pemerintahan Mataram, ada wabah penyakit atau pagebluk.

Kemudian diadakanlah ritual untuk menolak bala wabah penyakit ini, dan Rebo Pungkasan ini diadakan sebagai wujud doa.

Sejarah Rabu Wekasan versi ketiga yakni, bulan Safar dianggap sebagai bulan malapetaka atau bahaya. Untuk itu, masyarakat zaman dahulu berusaha menolaknya dengan meminta bantuan kepada orang atau Kiai yang dianggap lebih mumpuni.

Kiai Welit, saat itu, diminta membuat tolak bala berbentuk rajah yang dimasukkan ke dalam air untuk mandi agar terhindar dari bahaya.

Karena semakin banyak orang yang meminta, Kiai Welit pun menemukan cara baru, yakni dengan memasang rajah di Kali Opak dan Kali Gajahwong. Dengan begitu, masyarakat cukup mengambil air atau mandi di kali tanpa mendatangi Kiai Welit.

Ada pula yang menyebut, tradisi Rebo Wekasan pertama kali diadakan pada masa Wali Songo. Kala itu, banyak ulama yang menyebutkan bahwa pada bulan Safar, Allah SWT menurunkan lebih dari 500 macam penyakit.

Sebagai antisipasi datangnya penyakit dan agar terhindar dari musibah, para ulama pun melakukan tirakatan dengan banyak beribadah dan berdoa.

Kegiatan tersebut bertujuan agar Allah menjauhkan mereka dari segala penyakit dan malapetaka yang dipercaya turun pada Rabu terakhir di bulan Safar.

Baca Juga: Amalan Rabu Wekasan, Dilengkapi dengan Asal-Usul dan Penjelasannya Menurut Ulama

Rabu Wekasan menurut Islam

Dalam Islam, Rasulullah melarang umatnya menganggap bulan-bulan tertentu adalah bulan sial. Oleh karena itu, tradisi Rabu Wekasan tidak disebutkan secara jelas dalam Islam.

Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah:

"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (HR Imam al-Bukhari dan Muslim).

Melansir NU Online, orang Jawa melakukan tradisi Rabu Wekasan mungkin mengacu pada Faidh al-Qadir, juz 1, hal. 45, Rasulullah bersabda, “Akhiru Arbi’ai fi al-syahri yawmu nahsin mustammir (Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus).”

Hadis ini lahirnya bertentangan dengan hadis sahih riwayat Imam al-Bukhari sebagaimana disebut di atas. Jika dikompromikan pun maknanya adalah bahwa kesialan yang terus-menerus itu hanya berlaku bagi yang memercayai.

Hal ini karena setiap hari dasarnya netral, mengandung kemungkinan baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan takdir Allah. 

Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur juga menjelaskan, banyak para Wali Allah mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah  menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.

Oleh sebab itu, hari tersebut menjadi hari yang terberat di sepanjang tahun. Maka barang siapa yang melakukan salat 4 rakaat (nawafil, sunnah), maka Allah  dengan kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.

Kendati demikian, tak sedikit ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan karena tidak ada hadis khusus untuk akhir Rabu bulan Safar.

 

 

 

Penulis : Dian Nita Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU