> >

Invasi Rusia ke Ukraina Disebut Langgar Piagam PBB, Bagaimana dengan Invasi AS ke Irak pada 2003?

Krisis rusia ukraina | 11 Maret 2022, 10:10 WIB
Dalam foto bertanggal 2 Mei 2003, Presiden Amerika Serikat George W. Bush mengumumkan berakhirnya pertempuran besar di Irak di atas kapal pengangkut pesawat USS Abraham Lincoln di lepas pantai California. Pengumuman tersebut disampaikan enam pekan sejak invasi pimpinan AS ke Irak. Perang di Irak terus berkecamuk bertahun-tahun setelah pengumuman Bush tersebut. (Sumber: AP Photo/J. Scott Applewhite, File)

“Seperti yang mereka telah lakukan, dengan mengakui bukti palsu atau berasumsi bahwa jika senjata-senjata itu ‘tidak ditemukan’ maka mereka pasti ada. Mereka (senjata-senjata pemusnah massal) tidak ada.”

Baca Juga: Macron: Syarat Rusia untuk Gencatan Senjata di Ukraina Tidak Bisa Diterima oleh Siapa pun

Blix melanjutkan, tim inspeksi yang dipimpinnya telah memeriksa ratusan lokasi, termasuk lusinan yang disarankan oleh organisasi-organisasi intelijen nasional berbagai negara.

“Dalam beberapa kasus, kami memang menemukan senjata konvensional – tapi bukan senjata pemusnah massal.”

“Pemerintah-pemerintah yang melancarkan perang mengklaim 100 persen yakin ada senjata itu, tapi mereka memiliki nol persen pengetahuan tentang di mana senjata-senjata itu,” tutur Blix.

Tiga hari sebelum invasi pimpinan AS dan Inggris ke Irak dimulai pada 19 Maret 2003, Blix mengaku diminta untuk meninggalkan Irak.

Pada 23 Januari 2004, David Kay yang memimpin tim bentukan Washington untuk mencari senjata pemusnah massal di Irak mengatakan, Irak tidak lagi memiliki persediaan senjata biologis dan kimia.

“Saya tidak berpikir mereka (senjata-senjata pemusnah massal Irak) ada,” kata Kay kepada Reuters seperti dilaporkan CNN.

“Yang semua orang bicarakan adalah tentang persediaan yang diproduksi setelah akhir Perang Teluk (1991), dan saya tidak berpikir ada program produksi berskala besar pada 90-an,” imbuhnya.

Baca Juga: Menlu Rusia Tepis Konflik Rusia-Ukraina Berujung Perang Nuklir

Posisi Kay lalu digantikan Charles Duelfer, mantan pejabat tim inspeksi PBB di Irak.

Pada 6 Oktober 2004, Iraq Survey Group (ISG) yang dipimpin Duelfer dan beranggotakan 1.200 penyelidik, merilis laporan setebal 1.500 halaman.

Setelah melakukan pencarian dan penyelidikan selama 15 bulan, ISG menyatakan Saddam Hussein telah menghancurkan senjata pemusnah massal terakhirnya pada 1991.

Namun, laporan tersebut menyebutkan, “Saddam ingin menciptakan kembali kapabilitas WMD (weapons of mass destruction atau senjata pemusnah massal) – yang pada dasarnya sudah dihancurkan pada 1991 – setelah sanksi dicabut dan perekonomian Irak stabil.”

Baca Juga: Perundingan Menlu Rusia dan Menlu Ukraina Tidak Menghasilkan Kesepakatan Signifikan

Di hari yang sama dengan dirilisnya laporan ISG tersebut, Bush di hadapan massa kampanye di Pennsylvania, membela keputusannya menginvasi Irak.

“Ada risiko, risiko yang sesungguhnya, bahwa Saddam Hussein akan memberikan senjata atau bahan atau informasi kepada jaringan teroris, dan di dunia pasca-11 September, itu adalah risiko yang tidak bisa kita kesampingkan,” ujarnya seperti dikutip CNN.

Tetapi Blix mengatakan, Al Qaidah, kelompok yang diyakini berada di balik serangan teroris 11 September 2001 di New York dan Washington, tidak ada di Irak sebelum invasi pimpinan AS dilancarkan.

“Perang ini ditujukan untuk mengenyahkan senjata pemusnah massal, tetapi tidak ada (senjata pemusnah massal). Perang ini ditujukan untuk mengenyahkan Al Qaidah di Irak, tapi kelompok teroris itu tidak ada di negara itu hingga setelah invasi (AS).”

Saddam Hussein ditangkap pasukan AS di dekat kota Tikrit pada 13 Desember 2003. Pada 5 November 2006, mantan diktator itu dijatuhi hukuman gantung oleh pengadilan. Pada 30 Desember 2006, Saddam dieksekusi.

Korban Jiwa akibat Invasi AS

Iraq Body Count memperkirakan, hingga 10 Maret 2022, sekitar 288.000 orang tewas dalam aksi kekerasan di Irak menyusul invasi pimpinan AS yang dimulai pada 2003. Dari jumlah tersebut, antara 186.143 dan 209.349 orang adalah warga sipil.

Sedangkan menurut laporan Costs of War, hingga 1 September 2021, sebanyak 275.000 hingga 306.000 orang tewas di Irak karena kekerasan akibat perang. Sekitar 185.831 hingga 208.964 adalah warga sipil.

Data Costs of War tidak memasukkan kematian akibat dampak tidak langsung dari perang seperti kelaparan, penyakit yang berhubungan dengan perang, dan sebagainya.

Pasukan AS di Irak Saat Ini

AS menginvasi Irak pada 2003 dan jumlah tentara Paman Sam di negara itu mencapai jumlah tertinggi pada 2007 yaitu sekitar 170.000 orang.

Pada 2011, AS menarik pasukannya dari Irak. Namun setelah kemunculan ISIL/ISIS, AS kembali menerjunkan pasukannya ke Irak pada 2014.

Pada Juli 2021, pemerintahan Presiden AS Joe Biden mengumumkan akan mengakhiri misi perang pasukan koalisi pimpinan AS di Irak per 31 Desember 2021.

Meski demikian, seperti dilansir The New York Times, sebanyak 2.500 tentara AS tetap berada di Irak dengan tujuan membantu pasukan Irak.

Baca Juga: Trudeau: Kanada akan Menerima Sebanyak Mungkin Pengungsi Ukraina

Penulis : Edy A. Putra Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU