> >

PBB: Karena Konflik, Kekerasan, Persekusi, Angka Pengungsi Sedunia Tembus 100 Juta

Kompas dunia | 24 Mei 2022, 06:50 WIB
Ilustrasi. Anak-anak pengungsi Afghanistan bermain di kamp pengungsian di New Jersey, Amerika Serikat (AS). Foto diambil pada 27 September 2021. Pada Senin (23/5/2022), UNHCR menyebut jumlah pengungsi sedunia menembus angka 100 juta untuk pertama kalinya. (Sumber: Andrew Harnik/Associated Press)

BERLIN, KOMPAS.TV - Jumlah pengungsi sedunia untuk pertama kalinya mencapai angka 100 juta orang pada 2022.

Hal tersebut disampaikan Komisaris Tinggi Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Filippo Grandi, Senin (23/5/2022).

“Seratus juta itu angka yang kejam, sekaligus serius dan mengkhawatirkan. Ini rekor yang seharusnya tidak boleh terjadi,” kata Grandi dikutip Associated Press.

“Ini harus menjadi panggilan aksi untuk menyelesaikan dan mencegah konflik destruktif, mengakhiri persekusi, dan mengatasi sebab-sebab yang mendasari orang-orang tak bersalah ini kabur dari rumahnya,” lanjutnya.

Menurut UNHCR, jumlah pengungsi sedunia menyentuh angka 90 juta jiwa pada akhir 2021. Gelombang pengungsi dipicu oleh gelombang-gelombang kekerasan baru atau konflik berlarut-larut di negara seperti Ethiopia, Burkina Faso, Myanmar, Nigeria, Afghanistan, dan Kongo.

Setelah itu, perang Rusia-Ukraina memaksa lebih dari enam juta jiwa pergi dari rumahnya. Sekitar delapan juta orang lain pun telantar di Ukraina.

Baca Juga: Putin Disebut Ingin Sebabkan Eropa Tak Stabil dengan Kelaparan dan Krisis Pengungsian

Angka 100 juta jiwa yang disebutkan UNHCR termasuk orang-orang yang mengungsi, para pencari suaka, serta orang-orang yang telantar di negaranya sendiri karena konflik. Jumlah pengungsi global saat ini mencapai 1% dari total populasi dunia.

“Respons internasional terhadap pengungsi perang di Ukraina luar biasa positif. Kasih sayang masih ada dan kita perlu mobilisasi serupa untuk mengatasi krisis lain di seluruh dunia,” kata Grandi.

Lebih lanjut, Grandi menegaskan, bahwa bantuan kemanusiaan untuk pengungsi itu bersifat paliatif, bukan menjadi obat. Ia menyebut perdamaian dan stabilitas harus dijaga untuk mengakhiri gelombang pengungsian.

“Untuk memutarbalikkan tren ini, satu-satunya jawaban adalah perdamaian dan stabilitas sehingga rakyat tak bersalah tidak terpaksa bertaruh antara marabahaya di rumah atau kerentanan sebagai eksil,” pungkasnya.

Baca Juga: Kelaparan Ancam Perayaan Idul Fitri di Afghanistan, Warga: Ramadan Terburuk dalam Hidup


 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Associated Press


TERBARU