> >

Kisah Keturunan Ukraina di Jalur Gaza, Bicarakan Irisan Pengalaman Agresi Militer Israel dan Rusia

Krisis rusia ukraina | 28 Juni 2022, 06:50 WIB
Ilustrasi. Keluarga Oksana Al-Astal, satu dari puluhan keluarga Palestina-Ukraina yang berada di Palestina ketika invasi Rusia berlangsung, berfoto di rumah mereka di Khan Younis, Gaza selatan, dengan bendera Ukraina berkibar, 13 Maret 2022. Ada sekitar 830 keturunan Ukraina yang kini tinggal di Jalur Gaza. Sejak Rusia mengobarkan perang, ekspatriat Ukraina kesulitan mengontak keluarga di rumah. (Sumber: Khalil Hamra/Associated Press)

LONDON, KOMPAS.TV - Selama berdekade-dekade, ratusan keturunan Ukraina yang tinggal di Jalur Gaza, Palestina, dikhawatirkan sanak saudaranya di Ukraina karena pendudukan Israel. Namun, sejak Februari lalu, giliran warga keturunan tersebut yang mengkhawatirkan kerabat mereka di kampung halaman.

Sejak Rusia mengobarkan perang, ratusan ekspatriat asal Ukraina kesulitan mengontak keluarga di daerah yang diduduki Rusia.

Terdapat sekitar 830 keturunan Ukraina yang kini tinggal di Jalur Gaza. Tokoh masyarakat setempat menyebut komunitas Ukraina menjadi orang asing dengan populasi terbesar di Gaza.

Bagi Natalya Hassoumi, seorang endokrinologis yang tinggal di Beit Lahia, utara Gaza, invasi Rusia membuat pengalamannya selama bertahun-tahun belakangan terbalik.

Ketika serangan udara Israel menerjang wilayah Palestina, seringkali keluarganya di Ukraina tidak bisa mengontaknya selama berhari-hari. Kini, Hassoumi tidak bisa mengontak orang tua dan saudara kandungnya di Ukraina.

Baca Juga: Berharap Bangsa Palestina ‘Lenyap’, Wakil Menteri Agama Israel Dikecam

Keluarga Hassoumi tinggal di Oblast (daerah setingkat provinsi) Kherson, daerah yang diduduki Rusia sejak awal Maret 2022. Hassoumi tak mendengar kabar apa pun dari keluarganya selama tiga pekan terkini.

“Saya tak pernah menyangka bahwa perang bisa terjadi di Ukraina. Tidak ada makanan, tidak ada listrik…. Gaza dan Ukraina punya masalah yang sama sekarang,” kata Hassoumi kepada The Guardian.

“Saya pikir Rusia memaksa orang-orang beralih ke jejaring seluler dan kartu SIM Rusia, tetapi saya tidak tahu apa yang terjadi,” lanjut wanita berusia 41 tahun itu.

Walaupun menjadi tempat tinggal populasi keturunan Ukraina dengan jumlah besar, masyarakat Palestina secara umum disebut mendukung Rusia dibanding Ukraina. Masyarakat umumnya menganggap perang sebagai perselisihan proksi antara Moskow dengan Amerika Serikat (AS), sekutu terpenting Israel.

Meskipun demikian, baik Otoritas Palestina atau Hamas secara resmi tidak memihak dalam perang Rusia-Ukraina.

Baca Juga: Usai Hadiri KTT G7, Presiden Jokowi Direncanakan Bertemu Presiden Ukraina di Kiev!

Menurut Hassoumi, dukungan itu bisa jadi disebabkan ikatan kuat antara Palestina dengan Rusia sejak masih berbentuk Uni Soviet. Soviet dulunya kerap mengulurkan tangan ke bangsa Palestina, menawarkan beasiswa atau visa kerja untuk orang-orang dari Tepi Barat dan Gaza selama berdekade-dekade.

Ikatan tersebut diyakini masih kuat bahkan sejak Uni Soviet bubar dan Ukraina merdeka pada 1991 silam.

Kebanyakan keturunan Ukraina di Jalur Gaza adalah perempuan yang bertemu calon suami Palestina di universitas-universitas Ukraina. 

Salah satunya adalah Viktoria Saidam beserta suaminya, Ibrahim. Akibat perang, Ibrahim dan Viktoria mengungsi ke Gaza dari Ukraina. Mereka kabur dari agresi militer Rusia untuk tinggal di tempat yang kekurangan listrik dan pasokan airnya tercemar akibat blokade Israel.

Baca Juga: Warga Ukraina Mengungsi ke Palestina: Kini Gaza Lebih Aman meski Tetap Khawatirkan Serangan Israel

Kondisi tersebut, menurut Natalya Mabhouh, ekspatriat Ukraina yang tinggal di Jalur Gaza sejak 1997, berbeda dengan dulu. Israel sendiri memblokade Gaza secara permanen sejak 2007.

“Ketika saya datang ke Gaza, situasi ekonominya bagus. Terdapat perdamaian. Namun, kami terbiasa dengan peperangan dan eskalasi sejak itu,” kata Mabhouh.

“Ini (perang Rusia-Ukraina) benar-benar mengejutkan. Rusia dan Ukraina itu seperti sebangsa. Saya masih tidak bisa mengerti bagaimana ini bisa terjadi,” lanjutnya.

Perang pun turut meningkatkan tensi antara komunitas Ukraina dan Rusia di Jalur Gaza. Banyak keturunan Ukraina murka usai demonstrasi pro-Rusia digelar pada Maret lalu. Demonstrasi itu disebut memicu keretakan antara dua komunitas tersebut.

“Ibu saya orang Ukraina, ayah saya orang Rusia, lalu tiba-tiba orang-orang tidak mau bicara dengan saya. Saya pikir banyak orang tidak peduli dengan detail-detailnya. Namun, ini jelas pendudukan, seperti yang dilakukan Israel,” kata Hassoumi.

Baca Juga: Brutalnya Hujan Artileri Rusia di Donbass: Kesaksian dari Penyintas Ukraina di Garis Depan

Perang yang masih berkobar di negara asal membuat komunitas Ukraina mengkhawatirkan masa depan kampung halaman mereka. Di lain sisi, pendudukan Israel juga menimbulkan kekhawatiran sama.

“Kami membangun kehidupan di sini. Jadi, apa pun yang terjadi kami akan tetap tinggal,” kata Ashraf Al-Nimr, tokoh masyarakat komunitas Ukraina di Gaza.

Ashraf sendiri punya cerita sedih akibat invasi Rusia. Ia menyebut 15 kerabat istrinya hilang di Mariupol sejak invasi Rusia dimulai.

Mariupol adalah salah satu kota dengan kehancuran terparah akibat invasi Rusia. Pemerintah Ukraina memperkirakan lebih dari 22.000 warga tewas selama pengepungan Mariupol pada 24 Februari hingga 20 Mei 2022.

“Kami bisa membantu dengan memberi instruksi kepada orang-orang Ukraina bagaimana menghadapi perang, bagaimana cara bersembunyi, dan mengumpulkan dana. Apa pun yang bisa kami lakukan untuk membantu, akan kami lakukan,” pungkas Ashraf.

Baca Juga: Malangnya Mariupol, Terancam Wabah Kolera Usai Hancur karena Serangan Rusia


 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : The Guardian


TERBARU