> >

Boris Johnson, Mantan Jurnalis, Wali Kota London, dan PM Inggris yang Doyan Langgar Aturan

Kompas dunia | 8 Juli 2022, 07:05 WIB
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengumumkan pengunduran dirinya pada Kamis (7/7/2022). (Sumber: AP Photo/Matt Dunham)

LONDON, KOMPAS.TV – Sosok Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang mengumumkan pengunduran dirinya pada Kamis (7/7/2022), bukanlah sosok biasa. Sejak lama, ia disebut telah menentang aturan dan norma politik yang berlaku. 

Melansir BBC, skandal yang jika menerpa politikus lain disebut bakal menenggelamkan karier, pada Johnson justru tak berefek. Ia selalu bisa kembali bangkit usai diterpa skandal. Blunder dan kesalahan yang dibuatnya justru jadi merek karakternya.

Rambut pirangnya yang selalu tampak berantakan seperti tak kenal sisir, juga kepribadiannya yang kikuk, membuatnya gampang dikenali, bahkan oleh mereka yang tak tertarik dunia politik. Imej sebagai sosok yang bersemangat, membantunya mendulang suara dibandingkan dengan sosok konvensional dari Partai Konservatif.

Boris Johnson sempat menjabat sebagai Wali Kota London, yang jadi basis Partai Buruh, selama dua periode. Ia juga berhasil meyakinkan jutaan warga Inggris untuk mendukung Brexit pada referendum Uni Eropa 2016 silam.

Baca Juga: PM Inggris Boris Johnson Mengundurkan Diri, Jadwal Pemilihan PM Baru akan Diumumkan Pekan Depan

Pada Juli 2019, Boris Johnson jadi perdana menteri tanpa pemilihan, tetapi empat bulan kemudian berhasil mendapat kemenangan telak. Ia mendulang suara di lokasi-lokasi yang sebelumnya tak pernah memberi suara pada Partai Konservatif sebelumnya. 

Ujian Pandemi Covid-19

Pada awal 2020, dominasinya dalam politik Inggris tampaknya telah lengkap. Tetapi virus Corona datang menghampiri.

Jelas, pandemi global akan menguji pemimpin mana pun. Pemerintahan Johnson pun membuat sejumlah kesalahan, dan pada satu titik, Inggris jadi negara dengan tingkat kematian Covid-19 tertinggi di kalangan negara maju.

Namun, pada akhirnya, aksinya menangani pandemi Covid-19 bukanlah yang memicu kejatuhannya. Melainkan, lebih pada karakter dan kelayakannya sebagai pemimpin Inggris.

Para pengamat yang lama mengamati sepak terjang karier Johnson, ini bukan kejutan. 

Mengutip The Observer, mantan bos Johnson di Daily Telegraph, Sir Max Hastings memprediksi bahwa Johnson selama menjabat sebagai perdana menteri “dipastikan bakal mengungkap penghinaan terhadap aturan, preseden, ketertiban, dan stabilitas”.

Pelanggar Aturan sejak Belia

Sejak usia muda, Alexander Boris de Pfeffel Johnson punya kecenderungan meyakini bahwa aturan diciptakan untuk orang lain, dan bukan dirinya.

“Saya pikir dia dengan jujur percaya bahwa kita tidak sopan bila tidak menganggapnya sebagai pengecualian, orang yang harus bebas dari kewajiban yang mengikat orang lain,” tutur Martin Hammond sang guru saat Boris Johnson berusia 17 tahun. 

Namun, kepercayaan dirinya yang tak tergoyahkan, meninggalkan kesan mendalam. 

“Kharisma Boris saat itu sangat lucu, hangat, menawan, mencela diri sendiri,” ungkap Simon Veksner, seorang teman sekolah Johnson.

Johnson kemudian mendapat beasiswa ke Eton, salah satu sekolah swasta paling prestisius di Inggris. Setelahnya, ia masuk ke Oxford University, dan mencapai ambisinya menjadi presiden serikat. Komunitas ini sejak lama menjadi semacam kawah candradimuka bagi para politikus Konservatif. 

Johnson juga bergabung dalam Klub Bullingdon yang kondang dengan perilaku mabuk dan gaduh para anggotanya, termasuk calon perdana menteri David Cameron.

Jurnalis Lebay

Selepas Oxford, Johnson bekerja sebagai reporter muda di harian The Times. Namun, ia kehilangan pekerjaannya setelah memalsukan sebuah kutipan. 

Pada 1988, ia diberi pekerjaan oleh Max Hastings yang ketika itu menjadi editor Daily Telegraph.

Menjadi koresponden Telegraph di Brussel, Johson kerap mengolok-olok regulasi yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa. Namun, banyak rekannya sesama reporter di Brussel justru merasa bahwa artikel-artikel Johnson lebay dan dilebih-lebihkan. Dan, dalam beberapa kasus, disebut tidak benar. 

“Semua yang saya tulis di Brussel punya efek eksplosif di Partai Konservatif. Rasanya seperti melempar batu ke dinding taman dan mendengar suara ledakan di Inggris. Ini memberi saya perasaan aneh tentang kekuasaan,” tutur Johnson pada BBC pada 2005.

Baca Juga: PM Inggris Boris Johnson Umumkan Lengser, Ini 5 Skandal yang Picu Kejatuhannya

Bencana mengadang lagi saat rekaman pembicaraan telepon antara Johnson dan seorang teman dari Oxford, Darius Guppy, bocor ke publik. Guppy rupanya meminta alamat seorang jurnalis News of the World yang telah menyelidiki skandal-skandalnya, untuk digebuki.

Dalam pembicaraan telepon itu, Johnson menyanggupi memenuhi permintaan Guppy. Guppy kemudian dipenjara atas penipuan, dan tidak disebutkan bagaimana nasib jurnalis penyelidik skandal-skandalnya itu.

Hastings lalu mengonfrontasinya tentang rekaman itu, yang diam-diam telah dikirim ke Telegraph. Johnson lalu meminta maaf dan dikirim kembali ke Brussel dengan teguran.

Pada 1999, Johnson jadi editor The Spectator, majalah sayap kanan yang berpengaruh, dan dua tahun kemudian akhirnya mencapai ambisinya masuk ke Parlemen.

Perdana Menteri Boris Johnson mengumumkan pengunduran dirinya hari Kamis (7/7/2022). Jadwal pemilihan perdana menteri baru akan diumumkan minggu depan. (Sumber: Mary Turner/Pool via AP, File)

Johnson Menapaki Karier Politik

Namun, Johnson lebih kerap dianggap sebagai komedian dan orang TV, ketimbang dinilai sebagai kandidat serius kekuasaan.

Johnson harus menunggu hingga 2007 untuk dapat kesempatan naik jenjang saat David Cameron, pemimpin Konservatif, menunjuknya sebagai kandidat Wali Kota London dari Tory, sebutan untuk kubu Konservatif. 

Johnson mengejutkan publik saat mengalahkan kandidat kubu Partai Buruh, Ken Livingstone, yang tampak tak terkalahkan. Ia bahkan menang lagi empat tahun kemudian.

Sebagai wali kota, Johnson menghapus ‘bendy buses’ alias bus bengkok dari jalanan London. Ia kemudian mengimplementasikan skema penyewaan sepeda (yang sehari-hari kondang disebut ‘sepeda Boris’). Johnson juga mengatur Olimpiade London 2012. 

Pada awal 2016, Johnson kembali ke Parlemen sebagai anggota. Keputusan David Cameron sang perdana menteri untuk menggelar referendum jadi momen penentu bagi Inggris, juga bagi Johnson.

Keputusan Johnson untuk bergabung dengan pendukung Brexit ternyata jadi pukulan berat bagi Cameron yang ingin Inggris tetap berada dalam Uni Eropa. Johnson pun terpikir untuk menggantikan Cameron sebagai pemimpin Konservatif dan perdana menteri.

Namun, popularitasnya rusak saat kolega dan teman dekatnya, Michael Gove menarik dukungan dan malah memutuskan untuk mencalonkan diri. Gove menyebut Johnson tak layak untuk bekerja sebagai perdana menteri. Ini sungguh pembunuhan politik yang brutal, hingga Johnson pun terpikir untuk mengakhiri karier politiknya.

Namun, pemenang kursi PM Inggris sesungguhnya, Theresa May, justru kemudian menunjuk Johnson sebagai menteri luar negeri.

Pada 2018, Johnson mundur dari kabinet sebagai protes pada kesepakatan Brexit Theresa May. Johnson menyebut kesepakatan itu akan membuat Inggris berstatus sebagai koloni. 

Ia kembali pada pekerjaannya sebagai kolumnis bergaji tinggi di Daily Telegraph. Namun, ia segera menuai kontroversi dan tudingan Islamofobia usai menulis bahwa perempuan muslim yang mengenakan burka “tampak seperti kotak surat”.

Saat Theresa May mundur, Johnson pun mencalonkan diri sebagai pemimpin Konservatif. Kali ini, ia sukses.

Kebijakannya mendukung Brexit mengantarnya menuju kursi perdana menteri Inggris.

 

Penulis : Vyara Lestari Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : BBC


TERBARU