India Diintai Pandemi Kuman Super yang Kebal Antibiotik, Butuh Tindakan Segera Cegah Malapetaka
Kompas dunia | 13 Oktober 2022, 00:05 WIB“ICU adalah tempat panas untuk infeksi nosokomial. Hasil (penelitian) ini menggarisbwahai bahwa kita perlu menetapkan praktik kontrol infeksi rumah sakit yang lebih baik dan mengadopsi praktik kepengurusan yang mengurangi penggunaan antibiotik yang irasional,” kata dr Kamini Walia dikutip Times of India.
Baca Juga: Wabah Kolera Makin Parah di Suriah, Ratusan Orang Terinfeksi, 39 Meninggal Dunia
Dari 120 ruang ICU yang diperiksa, ditemukan kuman super dalam 3.080 sampel darah dan 792 sampel urine. Kuman super terdeteksi dalam 73,3% dari keseluruhan kasus infeksi darah dan 53,1% kasus infeksi urine.
Lebih lanjut, 38,1% pasien infeksi darah dan 27,9% pasien infeksi saluran urine meninggal dunia dalam kurun 14 hari. Meskipun demikian, penelitian itu menyebut infeksi belum pasti menjadi penyebab langsung kematian.
Penyebaran kuman super membuat fasilitas kesehatan India mesti beralih ke obat-obatan yang lebih mahal. Keberadaan pasien dengan kuman super membuat pihak rumah sakit mesti menggunakan antibiotik yang umumnya hanya digunakan dalam situasi mendesak seperti carbapenem.
India 'perfect storm' kuman super: investasi kesehatan diperlukan segera demi cegah pandemi
Para ahli berpendapat bahwa pemerintah India mesti segera melakukan investasi besar di bidang kesehatan untuk mencegah pandemi kuman super. Jumlah lab-lab diagnostik dan dokter spesialis penyakit menular perlu ditingkatkan. Otoritas pun mesti menekan jumlah infeksi di rumah sakit serta melatih dokter dalam penggunaan antibiotik secara luas.
Baca Juga: Wabah Kolera Telah Bunuh 110 Orang di Malawi Sejak Maret
Jika tidak, pakar kesehatan menyebut ancaman kuman super yang saat ini bisa menjelma pandemi dalam waktu yang tidak lama.
Kondisi India saat ini disebut-sebut menjadi badai yang sempurna (perfect storm) untuk perkembangan kuman super. Pasalnya, antibiotik masih kerap disalahgunakan untuk mengatasi problem yang disebabkan sanitasi dan tingkat kebersihan buruk.
“Ini perfect storm di India sejauh ini. Ada banyak penyakit menular di latar belakang, kurangnya kontrol infeksi, dan banyak konsumsi antibiotik yang tidak dibutuhkan,” kata Ramanan Laxminarayan, direktur lembaga wadah pemikir kesehatan One Health Trust dikutip BBC, 10 Oktober lalu.
Dr. SP Kalantri, pengawas kesehatan Rumah Sakit Kasturba India menyebut padatnya rumah sakit-rumah sakit pemerintah membuat penyalahgunaan antibiotik sulit dikendalikan.
Para dokter kerap kekurangan waktu untuk mengurus pasien secara layak dan mendiagnosis penyakit mereka. Hasilnya, sebanyak 75% resep obat yang dikeluarkan rumah sakit di India adalah antibioitk spektrum luas.
Fenomena itu membuat antibioitik kerap diresepkan untuk penyakit viral seperti dengue dan malaria. Antibiotik juga diresepkan untuk diare dan penyakit saluran pernapasan atas, kendati kurang berarti untuk mengatasinya.
Pandemi Covid-19 pun disebut memperparah keadaan. Keadaan kacau saat sistem kesehatan India diterpa Covid-19 membuat banyak pasien dirawat dengan antibiotik dan justru berdampak merugikan.
Di Rumah Sakit Kasturba sendiri situasi AMR cukup mengkhawtirkan. Dr Kalantri menyebut bahwa obat-obatan utama menjadi kurang efektif mengatasi patogen bakterial yang umum menyebar.
Patogen-patogen itu di antaranya adalah E. coli yang kerap ditemukan pada kotoran manusia dan hewan; Klebsiella pneumoniae, penyebab pneumonia; dan Staphylococcus aureus yang mematikan.
Dokter menemukan bahwa sejumlah antibiotik utama kurang dari 15% efektif menghadapi infeksi yang disebabkan patogen-patogen tersebut.
Kemunculan patogen yang resisten obat berganda, Acinetobacter baumannii membuat situasi semakin mengkhawatirkan. Patogen ini menyerang paru-paru pasien ICU yang dipasangi alat bantu hidup.
“Karena hampir semua pasien kami tidak bisa membeli antibiotik yang lebih tinggi, mereka menghadapi ancaman nyata kematian ketika mereka terjangkiti pneumonia yang terkait ventilator di ICU,” kata dr Kalantri.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) sendiri telah menetapkan resistensi antimikroba atau AMR sebagai ancaman kesehatan global yang berkembang. WHO menetapkan AMR sebagai salah satu dari 10 ancaman kesehatan masyarakat teratas yang dihadapi umat manusia.
“Tanpa antimikroba yang efektif, keberhasilan pengobatan modern dalam menyembuhkan infeksi, termasuk selama operasi besar dan kemoterapi kanker, menghadapi risiko yang meningkat,” demikian keterangan WHO di laman resminya.
Baca Juga: Presiden Jokowi Sebut Pencabutan Status Pandemi Bisa Dilakukan dalam Waktu Dekat!
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Telegraph/Times of India/BBC