> >

Eks PM Sudan Beri Peringatan, Konflik Negaranya Akan Jadi Mimpi Buruk Dunia

Kompas dunia | 30 April 2023, 11:08 WIB
Mantan Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok. (Sumber: AP Photo)

KHARTOUM, KOMPAS.TV - Mantan Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok memberikan peringatan kepada dunia terkait konflik di Sudan.

Hamdok mengatakan konflik di negaranya akan jauh lebih buruk dari Suriah dan Libya.

Ia pun menegaskan pertempuran di Sudan akan menjadi mimpi buruk bagi dunia jika hal itu terus berlanjut.

Tentara Sudan mengungkapkan saat ini menyerang Ibu Kota Khartoum dari segala arah, menggunakan artileri berat.

Baca Juga: Erdogan Akhirnya Kembali Muncul untuk Kampanye, Sempat Menghilang karena Sakit

Selama dua pekan, pertempuran telah menewaskan ratusan orang, sementara puluhan ribu orang melarikan diri dari negara itu.

Pepanjangan gencatan senjata pada Kamis (27/4/2023), antara tentara Sudan dan paramiliter negara itu terjadi atas upaya diplomatik intensif oleh negara-negara tetangga, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan PBB.

Namun perpanjangan gencatan senjata 72 jam itu belum dilaksanakan.

Serangan udara, tank dan artileri dilaporkan berlanjut di beberapa bagian Khartoum.

Bebicara di sebuah konferensi pers di Ibu Kota Kenya, Nairobi, Hamdok menyerukan upaya terpadu internasional untuk membujuk pemimpin militer Sudan, dan kepala pasukan paramiliter lawan untuk mengadakan pembicaraan damai.

“Ini adalah negara yang sangat besar, sangat beragam. Saya pikir ini akan menjadi mimpi buruk bagi dunia,” katanya dikutip dari BBC.

“Ini bukan perang antara tentara dan pemberontakan kecil. Ini hampir seperti dua pasukan, terlatih dan dipersenjatai dengan baik,” ujarnya,

Hamdok, yang menjabat sebagai perdana menteri dua kal yaitu pada 2019-2021, dan 2021 hingga 2022., menambahkan bahwa kondisi saat ini bisa menjadi lebih buruk dibanding perang saudara di Suriah dan Libya.

Perang itu juga telah menyebabkan ratusan ribu kematian, menciptakan jutaan pengungsi dan menyebabkan ketidakstabilan wilayah yang lebih luas.

Pertempuran di Sudan pecah sejak 15 April lalu, sebagai hasil dari perebutan kekauasaan yang pahit antara tentara Sudan dan juga paramiliter, Rapid Support Forces.

Baca Juga: Kiev Sambut Kesepakatan Uni Eropa tentang Ekspor Hasil Pertanian Ukraina

Komandan Angkatan Darat Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan Kepala RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, tidak setuju dengan usulan negara untuk pindah ke pemerintahan sipil.

 

Khususnya tentang jangka waktu masuknya 100.000 tentara RSF ke dalam militer Sudan.

Kedua faksi takut kehilangan kekuasaan di Sudan, sebagian karena di kedua belah pihak ada orang yang bisa diadili di Pengadilan Kriminal Internasional atas kejahatan perang yang dilakukan di wilayah Darfur hampir 20 tahun lalu.

Jutaan orang masih terperangkap di Khartoum, di mana terjadi kekurangan makanan, air, dan bahan bakar.

Penulis : Haryo Jati Editor : Desy-Afrianti

Sumber : BBC


TERBARU