> >

ASN Amerika Serikat Makin Keras Melawan Kebijakan Biden yang Dukung Serangan Israel atas Gaza

Kompas dunia | 20 November 2023, 10:54 WIB
Menlu AS Antony Blinken diam saat protes di sidang senat yang membahas bantuan bagi Israel. Pegawai pemerintah dari berbagai lembaga federal AS, mulai dari Departemen Luar Negeri hingga NASA, makin lantang bersuara melalui surat terbuka yang melawan kebijakan Presiden Joe Biden dan mendesak agar ada gencatan senjata dalam konflik antara Israel dan Hamas. (Sumber: AP Photo)

WASHINGTON, KOMPAS.TV - ASN atau pegawai pemerintah dari berbagai lembaga federal Amerika Serikat, mulai dari Departemen Luar Negeri hingga NASA, makin lantang bersuara melalui surat terbuka yang melawan kebijakan Presiden Joe Biden dan mendesak agar ada gencatan senjata dalam konflik antara Israel dan Hamas.

Para staf kongres pun turut serta, mengambil peran publik dengan berbicara di depan gedung Kongres atau Capitol, menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap keheningan yang sangat lantang dari para anggota Kongres terkait dampak konflik terhadap warga Palestina, seperti yang dilaporkan oleh Associated Press, Senin (20/11/2023).

Dengan meningkatnya jumlah korban di Gaza, Biden dan Kongres menghadapi tantangan publik yang jarang terjadi, terutama dari dalam jajaran pemerintahan, terkait dukungan penuh mereka terhadap serangan Israel.

Ratusan staf pemerintah dan Kongres atau Capitol Hill menandatangani surat terbuka, memberikan pernyataan kepada wartawan, dan bahkan menggelar doa bersama. Semuanya ini merupakan upaya untuk mendorong perubahan dalam kebijakan AS agar lebih responsif terhadap perlunya menghentikan banjir darah dan nyawa warga Palestina.

"Saat ini, banyak dari atasan kita di Capitol Hill yang tidak mendengarkan suara rakyat yang mereka wakili," ujar salah seorang staf kongres dalam sebuah protes bulan ini.

Dengan menggunakan masker medis untuk melindungi identitas mereka, sekitar seratus lebih staf kongres menyampaikan pesan dengan meletakkan bunga di depan Capitol, sebagai tanda dukungan kepada warga sipil yang menjadi korban konflik.

Protes ini tidak hanya mencerminkan kekhawatiran atas kebijakan AS yang mendukung serangan brutal dan genosida Israel di Gaza, tetapi juga sebagian merupakan hasil dari perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakat Amerika.

Seiring dengan semakin beragamnya penduduk Amerika, termasuk dalam jajaran pegawai pemerintah, terdapat lebih banyak pejabat yang memiliki latar belakang Muslim dan Arab.

Survei menunjukkan pandangan publik terhadap sekutu AS, yaitu Israel, mengalami pergeseran, dengan semakin banyak orang yang menyatakan ketidakpuasan terhadap pemerintahan sayap kanan keras Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Baca Juga: Houthi Membajak dan Menyandera Kapal Kargo Israel di Laut Merah, Singgung Serangan ke Gaza

Pegawai pemerintah dari berbagai lembaga federal Amerika Serikat, mulai dari Departemen Luar Negeri hingga NASA, makin lantang bersuara melalui surat terbuka yang melawan kebijakan Presiden Joe Biden dan mendesak agar ada gencatan senjata dalam konflik antara Israel dan Hamas. (Sumber: AP Photo)

Setelah beberapa pekan melihat foto memilukan anak-anak yang tewas terbunuh Israel dan terluka, serta keluarga Palestina yang mengungsi di Gaza, sejumlah besar orang Amerika, termasuk dari Partai Demokrat Biden, tidak setuju dengan dukungan Biden terhadap kampanye militer Israel.

Jajak pendapat oleh The Associated Press dan NORC Center for Public Affairs Research pada awal November menemukan bahwa 40% masyarakat AS percaya bahwa respons Israel di Gaza sudah terlalu berlebihan. Perang ini menciptakan gelombang protes di berbagai kampus dan memicu aksi demonstrasi di seluruh negeri.

Hingga akhir minggu lalu, satu surat terbuka yang memprotes kebijakan Biden ditandatangani 650 staf dari berbagai latar belakang keagamaan, yang bekerja di lebih dari 30 lembaga federal, termasuk Kantor Eksekutif Presiden hingga Biro Sensus, melibatkan Departemen Luar Negeri, Badan Pengembangan Internasional AS, dan Departemen Pertahanan.

Seorang pejabat politik yang ditunjuk oleh Biden, yang turut serta dalam mengorganisir surat terbuka lintas lembaga ini, mengatakan penolakan Biden terhadap desakan untuk mendorong Netanyahu mencapai gencatan senjata jangka panjang telah membuat sejumlah staf federal merasa diabaikan.

Surat tersebut tidak hanya mengutuk tindakan Hamas yang membunuh sekitar 1.200 orang di Israel dalam serangan mereka pada 7 Oktober, tetapi juga kampanye militer Israel yang hingga hari Senin, (20/11/2023) telah membunuh lebih dari 12.500 warga sipil Palestina di Gaza, menurut Kementerian Kesehatan Palestina.

Surat tersebut menyerukan agar AS mendorong tercapainya gencatan senjata dan pembebasan sandera yang dipegang oleh Hamas, serta pembebasan warga Palestina yang menurut para penandatangan ditahan secara tidak adail oleh Israel. Selain itu, surat tersebut mendesak tindakan lebih lanjut untuk melindungi warga sipil Gaza.

Para penyelenggara protes di kantor eksekutif dan kongres semuanya berbicara kepada AP dengan kondisi anonim, merujuk pada ketakutan akan dampak terhadap karir dan keselamatan nyawa mereka.

Pegawai federal yang menyuarakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan AS tampaknya mencari keseimbangan, menyampaikan keberatan mereka dengan cara yang tidak melibatkan mereka secara langsung dan berisiko terhadap karier mereka.

Beberapa pejabat dan mantan staf mengatakan keberatan yang bersifat publik dari pegawai federal terhadap kebijakan Biden bagi Israel adalah hal yang tidak biasa. Hal ini mengkhawatirkan sebagian orang sebagai ancaman potensial terhadap fungsi pemerintah dan koherensi di dalam lembaga-lembaga tersebut.

Baca Juga: Lebih 30 Bayi Prematur Dievakuasi dari RS Al Shifa Gaza ke Mesir, Nasib Pasien Kritis Belum Pasti

Pegawai pemerintah dari berbagai lembaga federal Amerika Serikat, mulai dari Departemen Luar Negeri hingga NASA, makin lantang bersuara melalui surat terbuka yang melawan kebijakan Presiden Joe Biden dan mendesak agar ada gencatan senjata dalam konflik antara Israel dan Hamas. (Sumber: AP Photo)

Departemen Luar Negeri memiliki tradisi yang memperbolehkan pernyataan formal dan terstruktur terkait ketidaksetujuan terhadap kebijakan AS, yang dimulai sejak tahun 1970 ketika diplomat AS menolak tuntutan Presiden Richard Nixon untuk memberhentikan pejabat-pejabat layanan luar negeri yang menandatangani surat internal yang memprotes serangan bom karpet AS di Kamboja.

Sejak saat itu, para diplomat dan pegawai sipil luar negeri menggunakan apa yang dikenal sebagai saluran ketidaksetujuan pada saat-saat perdebatan kebijakan yang intens. Ini termasuk kritik terhadap kebijakan pemerintahan George W. Bush dalam perang di Irak, kebijakan pemerintahan Obama di Suriah, pembatasan imigrasi oleh pemerintahan Trump terhadap negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, dan penanganan penarikan diri AS dari Afghanistan oleh pemerintahan Biden tahun 2021.

Tetapi, kabel ketidaksetujuan yang ditandatangani, bersifat rahasia dan tidak untuk publik.

Dalam tradisi Departemen Luar Negeri, jika "dari berbagai alasan kritik atau keluhan tidak diperhitungkan atau dianggap tidak cukup untuk mengubah kebijakan, maka saatnya untuk melangkah. Ini sudah selesai," kata Thomas Shannon, seorang pensiunan diplomat karier yang menjabat di posisi tinggi di Departemen Luar Negeri. "Sudah saatnya untuk memberi hormat dan melaksanakannya."

Shannon sempat menjadi menlu interim di pemerintahan Trump. Di sana, ia menolak rekomendasi juru bicara Gedung Putih Sean Spicer bahwa pegawai Departemen Luar Negeri yang menandatangani surat ketidaksetujuan terhadap larangan bagi umat Muslim dalam kebijakan Presiden Donald Trump seharusnya mengundurkan diri.

Pertumbuhan keberagaman di lingkungan kerja Departemen Luar Negeri dianggap sebagai hal positif oleh Shannon. Tetapi "dalam dinas luar negeri sebagaimana dalam dinas militer, disiplin itu nyata dan penting," katanya, merujuk pada kebutuhan akan kebijakan luar negeri yang konsisten dan padu.

"Saya rasa saya hanya mengatakan bahwa saya bukan penggemar surat terbuka," kata Shannon.

Para pejabat Departemen Luar Negeri mengatakan, beberapa ungkapan ketidaksetujuan telah sampai ke sekretaris Menteri Luar Negeri Antony Blinken melalui saluran formal.

Seorang pejabat Departemen Luar Negeri, Josh Paul, yang sudah bekerja selama 11 tahun, mundur awal bulan lalu, memprotes keputusan pemerintah untuk segera memberikan persenjataan kepada Israel.

Baca Juga: Delegasi Menlu Arab-Islam Termasuk Retno Marsudi ke China untuk Hentikan Perang di Gaza

Pegawai pemerintah dari berbagai lembaga federal Amerika Serikat, mulai dari Departemen Luar Negeri hingga NASA, makin lantang bersuara melalui surat terbuka yang melawan kebijakan Presiden Joe Biden dan mendesak agar ada gencatan senjata dalam konflik antara Israel dan Hamas. (Sumber: AP Photo)

Blinken menanggapi oposisi internal terhadap penanganan krisis Gaza dengan mengirimkan email kepada seluruh pegawai Departemen Luar Negeri pada hari Senin lalu, "Kami mendengarkan: apa yang Anda bagikan sedang memengaruhi kebijakan dan pesan kami," tulisnya.

Juru bicara Departemen Luar Negeri, Matthew Miller, menyatakan ketidaksetujuan tersebut sangat dihargai. "Salah satu kekuatan departemen ini adalah kita memiliki orang-orang dengan pendapat yang berbeda," katanya.

Tidak seperti kabel ketidaksetujuan, surat terbuka lintas lembaga dan yang didukung oleh lebih dari 1.000 pegawai USAID dibuat untuk publik. Surat-surat ini juga anonim, tanpa nama pihak yang menandatanganinya terlampir secara publik.

Surat dari USAID dengan dukungan 1.000 staf, yang diberikan kepada The Washington Post, Foreign Policy, dan lainnya, menyerukan gencatan senjata segera.

Namun, salah satu staf USAID yang lama bekerja di sana mengatakan hal itu membuat sejumlah staf, termasuk beberapa yang beragama Yahudi, merasa terganggu karena tidak membahas pembunuhan warga sipil oleh Hamas di Israel.

Penyerahan surat kepada kantor berita juga terlihat di luar tradisi USAID dalam menangani masalah secara internal dengan cara konsultatif, kata staf tersebut, yang berbicara dengan kondisi anonimitas karena sensitivitas masalah ini.

Dalam perbandingan, sebuah memorial internal Departemen Luar Negeri untuk semua warga sipil yang tewas sejak 7 Oktober, yang diselenggarakan oleh organisasi pegawai Muslim, Kristen, dan Yahudi, memberikan lebih banyak ketenangan dan tampaknya membuat rekan-rekan dengan pandangan dan latar belakang yang beragam menjadi lebih dekat satu sama lain, kata staf USAID tersebut.

Para penyelenggara surat terbuka lintas lembaga mengatakan bahwa mereka bertindak atas kekecewaan setelah upaya-upaya sebelumnya, terutama pertemuan tegang antara pejabat Gedung Putih dengan pejabat politik Muslim dan Arab, tampaknya tidak berdampak.

Menjaga keheningan, atau mengundurkan diri, akan menghindari tanggung jawab mereka terhadap publik, kata seorang staf, "Jika kita hanya pergi, tidak akan pernah ada perubahan."

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Associated Press


TERBARU