> >

Siapakah Warga Rohingya? Korban Genosida Myanmar, Minoritas Paling Dipersekusi di Dunia

Kompas dunia | 28 Desember 2023, 15:32 WIB
Warga Rohingya menggendong anak-anak dan membawa harta benda mereka saat menyeberangi perbatasan dari Myanmar ke Bangladesh pada 1 November 2017 usai terjadinya kampanye pembersihan yang dilakukan militer Myanmar sejak Agustus 2017. (Sumber: AP Photo/Bernat Armangue)

 

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Peristiwa pengusiran pengungsi Rohingya di Banda Aceh oleh sekelompok mahasiswa, Rabu (27/12/2023), menuai sorotan internasional. Isu pengungsi Rohingya sendiri ramai dibicarakan di Indonesia beberapa pekan belakangan.

Lebih dari 1.500 pengungsi Rohingya mendarat di Aceh dalam beberapa gelombang sejak pertengahan November lalu. Kampanye ujaran kebencian di media sosial pun mulai muncul yang menargetkan pengungsi Rohingya.

Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) menyebut terdapat upaya kampanye ujaran kebencian yang terkoordinasi, salah satunya menggunakan akun-akun bot, terkait isu kedatangan pengungsi Rohingya.

Indonesia bukanlah satu-satu negara yang didatangi pengungsi Rohingya. Lebih dari sejuta pengungsi Rohingya diperkirakan kabur dari gelombang kekerasan di Myanmar, terutama usai kampanye pembersihan etnis oleh pemerintah Myanmar pada 2016-2017.

Baca Juga: Media Internasional Sorot Pengusiran Pengungsi Rohingya di Aceh

Lalu, siapakah warga Rohingya? Berikut sejarah dan penjelasan mengapa etnis Rohingya mengungsi dari Myanmar ke berbagai penjuru dunia.

Apa dan Siapa Rohingya?

Rohingya adalah etnis minoritas yang umumnya mendiami negara bagian Rakhine, barat Myanmar. Warga Rohingya umumnya beragama Islam, beda dengan mayoritas warga Myanmar yang beragama Buddha.

Dilansir Al Jazeera, negara bagian Rakhine adalah salah satu daerah termiskin di Myanmar. Negara bagian ini kekurangan layanan dasar dan kesempatan ekonomi.

Etnis Rohingya telah didiskriminasi di Myanmar sejak negara itu merdeka dari Inggris Raya pada 1948. Pemerintah Myanmar yang baru terbentuk membuat Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan yang memuat daftar etnis yang bisa diakui sebagai warga negara Myanmar.

Rohingya tidak termasuk dalam daftar etnis yang diakui. Namun, pemerintah mengizinkan warga Rohingya yang telah berada di Myanmar setidaknya selama dua generasi untuk mendaftarkan diri mendapatkan kartu tanda penduduk.

Pada awal kemerdekaan Myanmar, sejumlah tokoh Rohingya pun terpilih di parlemen.

Akan tetapi, diskriminasi terhadap Rohingya meruncing usai kudeta militer di Myanmar pada 1962. Etnis Rohingya diberi kartu identitas orang asing, membuat mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan dan pendidikan.

Pada 1982, Myanmar membuat UU Kewarganegaraan baru yang secara efektif menjadikan etnis minoritas Rohingya tidak punya kewarganegaraan.

Gelombang persekusi pun memburuk sejak 1970-an dan menyebabkan ratusan ribu hingga jutaan warga Rohingya mengungsi ke luar negeri.

Seorang lelaki tua duduk menyaksikan tendanya terbakar setelah dia berhasil menyelamatkan barang-barang mereka dan menyaksikan asap mengepul setelah kebakaran di kamp pengungsi Rohingya di Balukhali, Bangladesh selatan, Senin, 22 Maret 2021. (Sumber: AP Photo/ Shafiqur Rahman)

 

Sejarah Rohingya di Myanmar

Menurut kalangan sejarawan dan organisasi-organisasi Rohingya, penduduk Islam telah menempati wilayah yang kini menjadi Myanmar seawalnya pada abad ke-12.

Organisasi Nasional Arakan Rohingya (ARNO) bahkan menyebut etnis itu telah mendiami Arakan (Rakhine) sejak “dahulu kala.”

Ketika Inggris Raya menduduki Myanmar antara 1824 hingga 1948, terjadi migrasi besar dari wilayah India dan Bangladesh ke Myanmar untuk kebutuhan tenaga kerja kolonial.

Waktu itu, pemerintah Inggris Raya memasukkan Myanmar sebagai salah satu provinsi India.

Akan tetapi, migrasi dari India dan Bangladesh itu dipandang negatif oleh mayoritas penduduk asli Myanmar. 

Baca Juga: Mahasiswa Aceh Serbu dan Usir Pengungsi Rohingya, UNHCR: Efek Ujaran Kebencian Terkoordinasi

Setelah merdeka, pemerintah Myanmar pun memandang migrasi besar-besaran yang terjadi pada masa kolonial Inggris Raya “ilegal.” 

Hal tersebut membuat banyak warga Myanmar memandang etnis Rohingya sebagai orang Benggala, bukan Myanmar. Benggala sendiri adalah wilayah yang kini termasuk daerah Bangladesh dan India.

Sudut pandang diskriminatif terhadap etnis Rohingya kemudian memicu gelombang kekerasan yang mengusir Rohingya ke berbagai negara, termasuk Bangladesh, Malaysia, dan negara-negara Asia Tenggara lain.

Selama gelombang kekerasan tersebut, para pengungsi melaporkan banyak kasus penyiksaan, pembakaran, pemerkosaan, dan pembunuhan oleh pasukan keamanan Myanmar.

Eskalasi kekerasan terhadap Rohingya meningkat usai pembunuhan sembilan polisi perbatasan Myanmar pada Oktober 2016 silam. Pemerintah Myanmar mengeklaim pembunuhan itu dilakukan oleh sekelompok warga Rohingya bersenjata.

Pemerintah Myanmar kemudian menggalakkan operasi persekusi terhadap etnis Rohingya. Militer Myanmar diduga melakukan pembunuhan massal,  pemerkosaan, dan pembakaran permukiman.

Selama gelombang kekerasan yang berlangsung hingga saat ini, lebih dari 25.000 warga Rohingya diperkirakan dibunuh. Puluhan ribu etnis minoritas tersebut juga diduga diperkosa.

Gelombang kekerasan itu memicu eksodus pengungsi Rohingya. Per 2023, UNHCR memperkirakan terdapat lebih dari sejuta etnis Rohingya yang mengungsi dari Myanmar.

Berbagai badan PBB, pejabat Mahkamah Pidana Internasional (ICC), organisasi kemanusiaan, dan pemerintah-pemerintah luar negeri menuduh pemerintah Myanmar melangsungkan genosida terhadap etnis Rohingya.

Warga etnis Rohingya turun dari perahu mereka setelah berlabuh di Ulee Madon, Aceh Utara, Kamis, 16 November 2023. Sekitar 240 warga muslim Rohingya terombang-ambing di pantai Indonesia setelah dua kali upaya berlabuh mereka ditolak warga setempat. Beberapa jam kemudian perahu pergi kembali setelah mendapatkan penolakan. (Sumber: AP Photo/Rahmat Mirza)

Minoritas Paling Teraniaya di Dunia

Komunitas internasional secara umum menganggap etnis Rohingya sebagai “minoritas paling teraniaya di dunia.”

PBB dan berbagai organisasi kemanusiaan internasional berulang kali mengkritik perlakuan pemerintah Myanmar dan negara-negara tetangganya terhadap etnis Rohingya.

Setelah menghadapi persekusi dan pembunuhan massal di Myanmar, etnis Rohingya kerap mengalami “diskriminasi dan eksklusi” di tempat mereka mengungsi. Diskriminasi tersebut turut berdampak kepada anak-anak Rohingya.

Pada 2021 lalu, organisasi Save the Children melaporkan lebih dari 700.000 anak-anak Rohingya mengalami diskriminasi parah dan tidak bisa mengakses hak-hak dasar. Mayoritas anak Rohingya tinggal di tempat pengungsian.

Direktur Regional Asia Save the Children Hassan Noor menyebut akar masalah krisis pengungsi Rohingya adalah persekusi oleh pemerintah Myanmar.

Namun, Hassan menegaskan negara-negara di kawasan juga bertanggung jawab menjamin keamanan dan martabat pengungsi.

“Perlunya memastikan bahwa Rohingya aman, dihormati, dan dilindungi sangat mendesak. Ini mesti dimulai dengan memberi mereka kewarganegaraan di Myanmar, tetapi juga memastikan hak-hak mereka sebagai pengungsi dihormati di negara-negara lain, termasuk hak anak mendapatkan pendidikan,” kata Hassan.

Baca Juga: Facebook Digugat Rp2.155 T oleh Pengungsi Rohingya, Dituduh Terlibat Kekerasan Etnis di Myanmar

 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU