> >

Koalisi Militer AS di Irak Akan Berakhir, Pembicaraan Segera Dimulai

Kompas dunia | 26 Januari 2024, 09:02 WIB
Peta basis militer AS di Irak 2023. Amerika Serikat dan Irak segera memulai pembicaraan guna mengakhiri kehadiran dan misi koalisi militer yang dipimpin oleh AS di Irak, seperti diumumkan kedua pemerintahan hari Kamis, (25/1/2024). (Sumber: Barrons)

WASHINGTON, KOMPAS.TV - Amerika Serikat dan Irak segera memulai pembicaraan guna mengakhiri kehadiran dan misi koalisi militer yang dipimpin oleh AS di Irak, seperti diumumkan kedua pemerintahan hari Kamis, (25/1/2024).

Pengumuman ini muncul di tengah makin gencarnya serangan terhadap pasukan AS di Irak oleh milisi yang didukung oleh Iran, meskipun AS menyatakan jangka waktu pembicaraan tidak terkait dengan serangan-serangan tersebut.

Sejak pecahnya perang Israel-Hamas pada 7 Oktober, milisi tersebut menyerang instalasi militer Amerika di Irak lebih dari 60 kali dan lebih dari 90 kali di Suriah, menggunakan berbagai jenis pesawat tanpa awak, roket, mortir, dan rudal balistik.

Pada hari Sabtu, Kataib Hezbollah melancarkan serangan paling serius tahun ini, menembakkan beberapa rudal balistik ke Pangkalan Udara al-Asad, pangkalan udara besar di barat Irak di mana pasukan AS melatih pasukan keamanan Irak dan sekarang berkoordinasi untuk melawan ISIS.

AS merespons hari Selasa, menyerang tiga lokasi milisi Iran dan membunuh beberapa anggota milisi, sehingga memicu protes yang menuntut pasukan AS meninggalkan wilayah tersebut.

Situasi ini menyoroti risiko AS terlibat dalam konflik lebih luas di Irak dan sekitarnya, karena kemarahan atas pengeboman Israel ke Gaza dan dukungan AS terhadap Israel memicu serangan oleh proxy Iran.

Menteri Pertahanan AS  Lloyd Austin menyatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pembicaraan antara AS dan Irak adalah bagian dari komisi militer tinggi yang disepakati musim panas lalu, sebelum perang. Pembicaraan tersebut akan berfokus pada "transisi ke kemitraan keamanan bilateral yang berkelanjutan" antara kedua negara tersebut.

Faksi yang terkait dengan Iran di Irak kemungkinan akan mengklaim sebagai kemenangan dalam mengakhiri misi yang dipimpin AS ini.

Seorang pejabat pertahanan AS yang berbicara dengan syarat anonimitas untuk memberikan rincian tambahan tentang komisi tersebut mengatakan AS dan Irak telah "membahas ini selama berbulan-bulan dan 'momennya' tidak terkait dengan serangan-serangan baru-baru ini." AS akan tetap memiliki "hak penuh untuk membela diri" selama pembicaraan, katanya.

Baca Juga: Intelijen AS Perkirakan Israel Hanya Mampu Membunuh Sekitar 30% Pasukan Hamas dalam Perang di Gaza

Anggota kelompok militan Syiah Irak menghadiri pemakaman seorang pejuang Kataib Hizbullah, yang tewas dalam serangan udara AS, di Bagdad, Irak, Kamis, 25 Januari 2024. Amerika Serikat dan Irak segera memulai pembicaraan guna mengakhiri kehadiran dan misi koalisi militer yang dipimpin oleh AS di Irak, seperti diumumkan kedua pemerintahan hari Kamis, (25/1/2024). (Sumber: AP Photo)

Kementerian Luar Negeri Irak dalam sebuah pernyataan menyatakan Baghdad akan "membuat jadwal yang spesifik dan jelas soal durasi kehadiran penasehat koalisi internasional di Irak" dan untuk "memulai pengurangan bertahap dan disengaja dari penasehatnya di tanah Irak," yang pada akhirnya akan mengarah pada akhir misi koalisi dan "beralih ke hubungan politik dan ekonomi bilateral yang komprehensif dengan negara-negara koalisi."

Pemerintah Irak menyatakan Irak berkomitmen untuk memastikan "keamanan penasehat koalisi internasional selama periode negosiasi di seluruh bagian negeri" dan untuk "menjaga stabilitas dan mencegah eskalasi."

Pejabat Irak selama bertahun-tahun menyerukan penarikan pasukan koalisi, terutama setelah serangan udara AS bulan Januari 2020 yang menewaskan Jenderal Iran Qassem Soleimani dan pemimpin milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis di luar bandara Baghdad.

AS memimpin koalisi multinasional di Irak, tetapi belum jelas konsekuensi hasil pembicaraan dengan negara lain yang tergabung dalam koalisi.

Seorang pejabat AS mengatakan dengan syarat anonimitas bahwa setiap negara akan menjaga hubungan bilateralnya sendiri dengan pemerintah Irak.

Pengurangan pasukan pada akhirnya juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana AS akan dapat mempertahankan misi untuk membasmi ISIS di Suriah tanpa pasukan di Irak.

Basis-basis di garis depan Suriah, di mana AS menggelar sekitar 900 pasukan, mendapatkan dukungan angkutan udara dan logistik dari instalasi AS di Irak.

Pejabat tersebut tidak akan membahas bagaimana penarikan pasukan dari Irak mungkin memengaruhi operasi-operasi tersebut.

AS menggelar kekuatan militer di Irak sejak penyerbuan dan pendudukan AS di Irak tahun 2003. Meskipun semua pasukan tempur AS hengkang tahun 2011, ribuan pasukan kembali tahun 2014 untuk membantu pemerintah Irak mengalahkan ISIS.

Baca Juga: Serangan Udara di Baghdad Bunuh Pimpinan Milisi Pro-Iran, Pelaku Belum Diketahui

Poster Abu Mahdi al-Muhandis (kanan), wakil kepala pasukan paramiliter Irak Hashd Shaabi, dan komandan militer Iran Qassem Soleimani, yang sama-sama tewas akibat serangan drone Amerika Serikat setahun lalu, di Lapangan al-Tahrir di Baghdad, ibu kota Irak, pada 3 Januari 2021. (Sumber: Xinhua)

Sejak itu, keberadaan pasukan AS yang melakukan misi kontra-ISIS dan bermacam pelatihan menjadi sasaran kritik faksi milisi dan politisi yang terkait dengan Iran di Irak. Diperkirakan ada sekitar 2.500 pasukan AS yang ditempatkan di Irak sekarang.

Lebih dari 70 personel AS luka termasuk cedera otak dari serangan milisi terhadap pangkalan AS di sana, dan seorang tentara AS mengalami luka serius sejak milisi mulai menyerang.

AS telah melancarkan serangan terhadap target-target milisi sebagai balasannya, termasuk beberapa yang terkait kelompok paramiliter Syiah yang sebagian besar didukung oleh Iran dan secara resmi berada di bawah kendali militer Irak, meskipun dalam prakteknya sebagian besar beroperasi sendiri. Pejabat Irak mengeluh bahwa serangan AS merupakan pelanggaran kedaulatan Irak.

Berbicara di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, bulan ini, Perdana Menteri Irak Mohammed Shia al-Sudani mengatakan bahwa tidak ada lagi alasan bagi keberadaan koalisi di negara itu dan bahwa tentara Irak mampu melacak dan melawan sel-sel ISIS yang tersisa.

"Kami adalah negara berdaulat, dan oleh karena itu adalah hal yang wajar bahwa kita bergerak dari posisi ini," katanya. "Ini adalah permintaan dari rakyat, dan ini adalah negara demokratis."

 

Seorang pejabat pemerintah Irak mengatakan Baghdad mengirimkan permintaan tertulis ke Gedung Putih bulan November untuk penarikan pasukan koalisi.

Pejabat tersebut mengatakan pejabat Irak dan AS tidak sejalan soal jangka waktu, dengan pejabat AS mengusulkan jangka waktu dua hingga lima tahun sementara Irak menginginkan penarikan lebih cepat.

Pejabat tersebut tidak diizinkan untuk membahas masalah ini secara publik dan berbicara dengan syarat anonimitas.

Pasukan AS kemungkinan akan tetap berada di wilayah otonom Kurdi utara, yang pemerintahnya memiliki hubungan lebih dekat dengan Washington.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Associated Press / Anadolu


TERBARU