> >

Rabu Malam

Opini | 21 September 2021, 19:29 WIB
Ilustrasi Politik (Sumber: Istimewa via triaskun.id)

Kalau tidak bermartabat, maka akan terjadi pembusukan politik. Apabila para pekerja politik, tidak bermartabat, politik akan seperti hutan rimba, yang akan mengikuti hukum survival of the fittest (Herbert  Spencer). Hal itu terjadi, mungkin karena seperti diistilahkan oleh Amy  Chua (2018), “humans are tribal.”

Dalam bahasa Romo Mangun (1997) politik bertujuan “untuk menciptakan tata hidup bersama yang menanamkan kerukunan dan persaudaraan, saling memekarkan dan yang membangun iklim budaya mulia, budi pekerti tinggi, yang menyemarakkan keindahan, yang memupuk kesetiakawanan dan menumpas egoisme, individualis maupun  kolektivisme…”

Kata Romo Mangun, itu politik dalam arti asli kodrat alami, demi kehidupan dan penghidupan bersama yang sejahtera umum atau politik dalam dimensi moral (dan iman). Tetapi, politik dalam aspek kekuasaan berbeda lagi.

Semua berkait dengan kekuasaan, termasuk memperebutkan, mempertahankan, melestarikan, menikmati kekuasaan. Dalam hal ini termasuk kekuasaan mental, spiritual, rohani, agama, yakni yang berciri pemaksaan atau hegemoni kehendak oleh pihak yang lebih kuat kepada yang nisbi lemah. Karenanya, ada anggapan umum, bahwa politik itu kotor.

Malam itu, kami ngobrol soal “politik kotor.” Seorang kawan yang pernah menjadi pejabat daerah, kini menjadi anggota dewan yang terhormat mengisahkan pengalamannya tentang praktik politik kotor itu. Yang dituturkan kawan itu membenarkan  pendapat Cicero (106-43 SM), seorang negarawan Romawi.

Kata Cicero, politik itu mahkluk hidup. Bahkan dapat dikatakan mahkluk paling hidup yang pernah ada di dunia ini, dengan beribu-ribu otak, kaki, tangan, mata, pikiran, hasrat, nafsu, dan keinginan. Dengan semua itu, ia (binatang politik) akan menggeliat, berputar, berlari, mencengkeram, menerkam, menggigit, dan kalau perlu menelan mentah-mentah semua lawannya. Arah gerakannya pun kadang tak terduga. Terkadang—tetapi ini kerap terjadi—tindakannya semata-mata demi memuaskan diri sendiri.

“Praktik seperti yang terjadi di Probolinggo, banyak terjadi. Itu lho, tarif untuk mendapatkan jabatan,” kata kawan ngobrol malam itu.

Lalu kawan itu mengatakan, “Bahkan untuk menjadi satpam pun, harus mbayar. Istilahnya mbayar seragam. Tidak tanggung-tanggung, ‘harga’ seragam satpam itu, Rp 80 juta! Kan edan itu. Seumur-umur menjadi satpam, nggak mungkin ngumpulin uang untuk balik modal.” Istilah “balik modal” itulah yang menjadi  salah salah satu kata kuncinya mengapa orang korupsi.

Kami yang mendengar itu hanya bisa komentar pendek, “wow….” Sebelum kami memuaskan rasa heran, kawan itu sudah menambahkan, “Untuk jadi bayan tarifnya Rp 200 juta, jadi lurah Rp 100 juta, jadi carik Rp 500….” Dan, kami pun semakin heran, sekaligus nggak bisa paham.

Mengapa mereka mau mengeluarkan uang sebegitu banyak? Hidup memang sebuah pilihan. Ketika menjatuhkan pilihan akan berhadapan dengan dua pertanyaan sekurang-kurangnya: Quid prodest homini? Apa yang bermanfaat bagi manusia? Dan, Quid delectat homini? Apa yang menyenangkan bagi manusia.

Yang pertama mengacu pada hidup yang efisien, tepat guna, bersahaja, dan berguna bagi sesama. Sedangkan yang kedua, mengacu pada pemujaan hidup hedonis yang serba wah, gemerlap, terpandang, dihormati dan sebagainya sehingga mencari segala cara untuk mewujudkannya.

Kata kawan itu, “Menjadi pejabat, sekalipun tingkat  desa kan terhormat. Yah, demi praja, gengsi….” Itu baru tingkat desa!

“Benar, kekuasaan memang memesona,” komentar pendek sahabat dekat yang saya hormati.***

Penulis : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV/triaskun.id


TERBARU