> >

Apa yang Salah?

Opini | 18 Juni 2022, 07:05 WIB
Arca Budha di stupa Candi Borobudur (Sumber: Istimewa via triaskredensialnews.com)

Tidak hanya politisi yang senang mencari popularitas, tapi juga pejabat atau yang sudah mantan, pemimpin agama,  dan juga rakyat biasa.

Popularitas adalah tingkat keterkenalan di mata publik. Berbagai cara dilakukan untuk popular, mulai dari cara yang elegan sampai yang, katakanlah, recehan. Maka disebut popularitas murahan, popularitas recehan.

Dikiranya, popularitas itu segala-galanya. Padahal, popularitas itu bukan segala-galanya. Apalagi jika popularitas itu semu karena diperoleh melalui rekayasa sedemikian rupa tanpa usaha maksimum.

Barangkali seperti “buah karbitan”, terlihat masak, matang tapi nggak manis sama sekali.

Dalam politik, misalnya, popularitas tidak cukup menjamin seseorang untuk memperoleh suara yang memadai dari konstituen. Benar, bahwa politik adalah art of possibilities (definisi politik menurut Otto von Bismarck, 1815-1898, perdana menteri Prussia dan pendiri serta kanselir pertama Kekaisaran Jerman) tetapi art of possibilities juga membutuhkan strategi, dan strategi itu tidak hanya citra.

Ada lagi yang merasa menjadi polisi kebenaran. Memang, memegang kebenaran merupakan keharusan. Akan tetapi kalau lantas merasa diri paling benar, paling saleh, paling bersih, dan paling suci, itu menjadi persoalan lain.

Sudah merasa paling benar, lantas mengklaim sebagai pemegang kunci surga. Dan, seenaknya saja menentukan siapa yang akan masuk surga dan siapa yang akan dibuang ke neraka jahanam yang disana hanya ada ratap tangis dan geretak gigi. Saat itu, merasa seolah dirinya duduk di atas tahta kebenaran yang paling tinggi.

Baca Juga: Percakapan di Ruang UGD

Padahal kata pepatah, ingat di atas langit ada langit. Nasihat orang-orang tua Jawa  Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa.

Jangan jadi orang yang merasa bisa dan merasa pintar tetapi jadilah orang yang bisa dan pintar merasa.

Ilustrasi pewayangan Dasamuka. (Sumber: Istimewa via triaskredensialnews.com)

Acap-kali, hati ini bertanya: Mengapa orang-orang yang semestinya memberikan pernyataan adem, menyejukkan, menenteramkan justru melakukan hal sebaliknya. Ibarat kata mereka justru menyiramkan bensin ke api.

Mungkin, lupa posisinya, lupa akan dirinya itu siapa. Maka benarlah bunyi pepatah lama ini, Stultus nil celat; quod habet sub corde revelat. Orang yang bodoh tak menyembunyikan apa pun, ia mengungkapkan semua isi hatinya.

Baca Juga: Ngobrol dengan Jenderal

Kata Mark Twain (1835-1910) seorang penulis kondang dari Amerika, lebih baik menjaga mulut Anda tetap tertutup dan membiarkan orang lain menganggap Anda bodoh, daripada membuka mulut Anda dan menegaskan semua anggapan mereka.

Akhirnya Bung, maaf saya tidak bisa menjawab pertanyaan situ: Apa yang salah di negeri ini? ***

Penulis : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : triaskredensialnews.com


TERBARU