> >

Kelas Dua ke Kelas Satu - Terorisme (3)

Opini | 28 Oktober 2022, 21:20 WIB
Suasana setelah ledakan bom di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di Jalan Arjuna, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018). Akibat ledakan itu, 5 mobil dan 30 motor terbakar. (Sumber: KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Tetapi, Mia M. Bloom, profesor komunikasi dari Georgia State University dalam "The Changing Nature of Women In Extremism and Political Violence" (Freedom from Fear Magazine, Issue 11) melihat lain.

Kata Mia M Bloom partisipasi perempuan dalam terorisme dapat dianggap sebagai kemajuan alami dari keterlibatan mereka dalam perjuangan radikal dan revolusioner di masa lalu.

Secara historis, kontribusi utama perempuan terhadap gerakan politik adalah melahirkan generasi pejuang masa depan dan membesarkan mereka menjadi pejuang yang teguh dan sempurna secara ideologis.

Baca Juga: Perempuan Berpistol Terobos Istana Merdeka Siti Elina Mengaku Dapat Wangsit dan Mimpi Masuk Neraka

Pada periode modern, perempuan yang terlibat cenderung lebih berperan periferal dengan memberikan dukungan kepada kelompok teroris.

Maka ketika pada akhirnya perempuan bahkan menjadi teroris, kata Leonard Weinberg dan William Eubank dalam Women's Involvement in Terrorism (2011), hal itu bertentangan dengan peran gender perempuan yang mapan dalam terorisme, yang mendefinisikan mereka sebagai korban dan individu yang dipermalukan karena alasan politik dan agama.

Pendapat itu sama dengan pandangan banyak kelompok ekstremis yang memromosikan ideologi yang menglasifikasikan perempuan sebagai warga negara kelas dua.

Mereka menawarkan keuntungan strategis dan finansial melalui penaklukan perempuan. Meskipun, pada akhirnya mereka mengkhianati prinsipnya itu dengan juga menggunakan perempuan sebagai pengebom bunuh diri.

Kelompok itu antara lain Boko Haram, ISIS, Al-Qaeda, dan Al-Shabab. 

Mereka ini menggunakan kekerasan seksual untuk meneror penduduk agar patuh, menggusur warga sipil dari daerah strategis, menegakkan kesatuan unit di antara para pejuang, dan bahkan memperdagangkan manusia.

Boko Haram, misalnya menurut Al Chukwuma Okoli dalam Gender and Teror: Boko Haram and the Abuse of Women in Nigeria (2022), menggunakan perempuan untuk kepentingan strateginya.

Boko Haram menculik perempuan- perempuan, memerkosanya, menikahi secara paksa, menjadikannya sebagai budak seks, menjadikan tameng manusia dalam perang, dan....menjadikan perempuan sebagai pengebom bunuh diri.

Baca Juga: Kronologi Perempuan Berpistol Coba Terobos Istana Presiden: Curi Pistol hingga Todong Paspampres

Cara ini juga dilakukan Al-Qaeda di Irak (karena perempuan mudah menerobos penjagaan aparat keamanan, masuk ke tempat kerumunan orang seperti di pasar) dan LTTE (Liberation Tigers of Tamil Eelam) di Sri Lanka. Mereka ini menggunakan perempuan untuk tujuan strategisnya.

Misalnya, pada tahun 1991, LTTE menugaskan Thenmuli Rajaratnam yang nama sandinya Danu alias Gayatri untuk membunuh mantan PM India Rajiv Gandhi.

Ketika Rajiv Gandhi sedang kampanye pemilu di Tamil Nadu, Danu bertugas mengalungkan rangkain bunga pada Rajiv Gandhi.

Ketika Rajiv Gandhi menundukkan kepalanya untuk menerima kalungan bunga, Danu meledakkan bahan peledak seberat 700 gram yang diselipkan di pinggangnya. 

Ledakan itu menewaskan Danu, Rajiv Gandhi, dan delapan orang lainnya termasuk fotografer yang mengabadikan peristiwa itu (Bersambung....)

Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV, Kompas.com


TERBARU