> >

Seruan Jokowi dari Bali

Opini | 17 November 2022, 13:45 WIB
Presiden Joko Widodo menggelar konferensi pers terkait hasil G20 di Bali, Rabu (16-11-2022). (Sumber: ANTARA/Rangga Pandu Asmara Jingga)

Oleh: Trias Kuncahyono

MEMANG, KTT G20 seperti dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi), "G20 tidak dimaksudkan untuk menjadi forum politik, (tetapi) dimaksudkan untuk membahas ekonomi dan pembangunan.” Tetapi, tidak mudah kiranya "mensterilkan" urusan/kepentingan politik dari urusan ekonomi.

Apalagi saat ini, urusan politik, kepentingan politik memberikan sumbangan besar - untuk tidak mengatakan, sumbangan penentu - pada memburuknya perekonomian global, yang menjadi keprihatinan bersama negara-negara G20; dan negara-negara di luar G20.

Adalah invasi Rusia pada Ukraina, Februari lalu, yang berdampak buruk pada perekonomian dunia, yang sebelumnya sudah "dihajar" (bahkan belum selesai) oleh pandemi Covid-19. Rusia menginvasi Ukraina karena merasa memiliki ikatan budaya, ekonomi, dan politik yang mendalam dengan Ukraina. Dan, dalam banyak hal Ukraina merupakan pusat identitas dan visi Rusia untuk dirinya sendiri di dunia.

Ukraina adalah cornerstone Uni Soviet, musuh bebuyutan Amerika Serikat (AS) selama Perang Dingin. Setelah Rusia, Ukraina adalah wilayah terpadat kedua penduduknya dan terkuat dari antara (dulu) 15 republik Soviet.

Ukraina juga merupakan sumber produksi pertanian, industri pertahanan, dan militer, termasuk Armada Laut Hitam dan beberapa persenjataan nuklir. Ukraina sangat penting bagi Soviet sehingga keputusannya untuk memutuskan hubungan pada tahun 1991, terbukti menjadi coup de grace bagi super power yang sedang limbung (Council on Foreign Relations, 11 Oktober 2022).

Akibat perang itu dirasakan oleh banyak negara, termasuk negara-negara anggota G20; dan bukan hanya oleh Ukraina saja. Bila perang berlarut-larut, upaya untuk memperbaiki perekonomian dunia, sulit terwujud.

Karena perang Ukraina telah menghidupkan kembali dua kekuatan besar dengan kekuatan yang mematikan, saling berhadapan seperti saat Perang Dingin.

Spirit Independen

Presiden Jokowi melihat ancaman tersebut. Maka pada pidato pembukaan KTT G20, Jokowi secara tegas meminta para pemimpin G20 untuk menunjukkan kebijaksanaan dan tidak membiarkan dunia “terjerumus ke dalam Perang Dingin lagi.”

Kata Jokowi, “Kita harus mengakhiri perang. Jika perang tidak berakhir, akan sulit bagi dunia untuk bergerak maju." Bagaimana memulihkan dan membangun perekonomian dunia, kalau perang terus berkobar yang akibat parahnya dirasakan banyak negara, termasuk negara maju.

Meski tidak menyebut "perang Ukraina" secara langsung, namun semua pihak menangkap maksudnya, bahwa yang dimaksud adalah perang Ukraina yang pecah karena invasi (operasi militer khusus) Rusia.

Jokowi - yang pada Juni lalu mengunjungi Kyiv, Ukraina, bertemu Presiden Volodymyr Zelenskyy dan ke Moskwa, Rusia bertemu Presiden Vladimir Putin, sebagai upaya untuk mengakhiri perang - dalam pidatonya juga secara langsung tidak "menuding" Rusia sebagai, katakanlah "biang kerok", persoalan dunia saat ini? Tidak satu patah kata pun kata Rusia disebut. Meskipun, dibacanya demikian. Dan, sangat boleh jadi, Putin pun merasakan demikian.

(Maka ia memilih tidak menghadiri KTT G20 di Bali, daripada akan menjadi sasaran tembak banyak pemimpin negara lain, dituding sebagai pembuat masalah. Bila hal itu terjadi dan dia menanggapinya, maka suasana KTT pun akan rusak. Ini akan sangat merugikan tuan rumah).

Pilihan kalimat, "kita harus mengakhiri perang", sungguh sebuah pilihan jalan tengah yang menegaskan spirit independensi kebijakan luar negeri Indonesia. Tidak mudah bagi Jokowi untuk memilih kata-kata bahkan kalimat yang bisa memuaskan kedua belah pihak dan tidak mempermalukan salah satu pihak. Apalagi Jokowi mengakui bahwa "perlu upaya yang luar biasa agar kita dapat duduk bersama di ruangan ini."

Penulis : Redaksi-Kompas-TV

Sumber : Kompas TV


TERBARU