> >

KUBERIKAN SUARAKU PADAMU

Opini | 13 Februari 2024, 23:30 WIB
Dua warga negera Indonesia (WNI) tengah melihat daftar caleg di TPS luar negeri. (Sumber: Erik via triaskredensial.com)

***

Baca Juga: "Vox Populi" dan "Vox Diaboli"

Tapi kata Ben Ansell dalam Why Politics Fails, The Five Traps of the Modern World –and How to Escape Them (2023), demokrasi seringkali membuahkan hasil yang tidak konsensual. Seringkali orang tidak setuju.

Ketidak-sepakatan ini yang menjadi jebakan demokrasi. Tidak ada yang namanya ‘kehendak rakyat.’ Kalau bukan kehendak rakyat, lalu, kehendak siapa?

Maka itu, rasanya harus diakui bahwa “gara-gara” demokrasi sering kali terjadi menjadi adu mulut, pertengkaran, cekcok antara pihak yang menang dan yang kalah; memisahkan teman dan tetangga, serta mempolarisasi kita. Maka harus diupayakan agar demokrasi berhasil.

Artinya, bila demokrasi berhasil berarti menghentikan kegagalan politik. Maka kata Joseph Schumpeter, apa pun hal lain yang mungkin penting dalam demokrasi, intinya adalah memperoleh ‘kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui kontestasi kompetitif untuk mendapatkan suara hati rakyat.’

Kesimpulan pendek itu memiliki tiga implikasi. Pertama, ‘suara rakyat’: masyarakat adalah penentu akhir siapa yang berkuasa. Kedua, ‘kontestasi kompetitif’: tidak ada gunanya pemungutan suara publik jika hanya ada satu opsi untuk memilih atau tidak ada kebebasan untuk memilih sesuai hati nurani alias terpaksa atau tertekan.

Dan ketiga, ‘mendapatkan hak untuk memutuskan’: tidak ada gunanya memberikan suara jika kandidat yang berhasil memengangi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena memang tidak cukup memiliki kemampuan, misalnya.

***

Sejumlah biarawati foto bersama usai melaksanakan pencoblosan untuk Pemilu 2024 di TPS luar negeri. (Sumber: Erik via triaskredensial.com)

Maka harapannya adalah pemilu yang betul-betul demokratis, jujur, adil, bebas, dan rahasia, katakanlah bisa menjadi semacam kairos, waktu yang luar biasa, waktu yang dinanti-nantikan, waktu yang punya daya dobrak untuk melahirkan perubahan ke kebaikan.

Kairos bisa dikatakan semacam waktu sejarah yang bisa mengubah bahkan menjungkirkan keadaan yang usang dan rusak menjadi keadaan yang total baru.

Kata Romo Sindhunata dalam kairos tersembunyi harapan. Dan, begitu kairos datang, harapan itu menguak jadi kekuatan yang bisa mengubah masyarakat secara drastis dan revolusioner.

Nah, tentu semua yang memberikan suaranya dalam pemilu–termasuk juga para biarawan dan biarawati di Italia tanpa kecuali–mengharap pemimpin yang terpilih di dalam dirinya ada kairos bukan sekadar kronos.

Kronos berarti waktu berjalan seperti jam ke jam, hari ke hari, minggu, bulan hingga tahun ke tahun. Apa saja yang menjadi kegiatan di dalamnya, jadwal waktu bagi mereka yang tertib rencana. Dari kata kronos lahir kata kronologis, urut-urutan peristiwa.

Waktu ini akan terus berjalan menurut hukumnya, tidak pernah kembali. Dan, di dalamnya ada keberhasilan, juga kegagalan; bisa jadi ada kenangan menyenangkan, tapi juga menyedihkan yang mungkin berusaha dikubur.

Selain itu, di sana juga ada penyesalan. Penyesalan karena tak bisa kembali untuk mengubahnya agar menjadi seperti apa yang diinginkan. Semua peristiwa yang terjadi tercatat dalam perjalanan hidup, itulah kronos.

Dan di dalam kronos bisa jadi ada kairos. Ada kekuatan yang bisa mengubah masyarakat secara drastis dan revolusioner menjadi jauh lebih baik dibanding masa-masa sebelumnya. Karena kairos itu menyangkut kualitas peristiwa.

Maka, kemarin, kuberikan suaraku kepadamu, kairos….

Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU