Dirut BPJS Kesehatan Sebut KRIS Tidak Hapus Jenjang Kelas Layanan, Tidak Ada Perbedaan
Kesehatan | 13 Mei 2024, 18:42 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Ghufron Mukti, Direktur Utama BPJS Kesehatan, menegaskan bahwa penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) tidak akan mengeliminasi opsi jenjang kelas pelayanan rawat inap bagi peserta.
"Masih ada kelas standar, ada kelas 2, kelas 1, ada kelas VIP. Tetapi ini sekali lagi masalah non-medis," kata Ghufron Mukti di Jakarta, Senin (13/5).
Ghufron menjelaskan bahwa Perpres tentang Jaminan Kesehatan yang sudah ditandatangani Presiden Jokowi, bertujuan untuk menyederhanakan kelas rawat inap berdasarkan 12 kriteria tertentu, termasuk material bangunan yang rendah porositas, ventilasi udara yang adekuat, pencahayaan yang memadai, ketersediaan tempat tidur yang lengkap, dan pengaturan suhu ruangan yang optimal.
Kriteria tambahan mencakup pemisahan ruangan rawat inap berdasarkan jenis kelamin, usia pasien (anak atau dewasa), dan jenis penyakit (infeksi atau noninfeksi). Fasilitas juga harus mempertimbangkan kepadatan ruangan, kualitas tempat tidur, penyediaan tirai atau partisi, kamar mandi yang memenuhi standar aksesibilitas, dan ketersediaan outlet oksigen.
"Bahwa perawatan ada kelas rawat inap standar dengan 12 kriteria, untuk peserta BPJS, maka sebagaimana sumpah dokter tidak boleh dibedakan pemberian pelayan medis atas dasar suku, agama, status sosial atau beda iurannya," ujarnya dikutip dari Antara.
Baca Juga: Panduan Lengkap Cara Cek Tagihan BPJS Kesehatan dengan Mudah, Pakai WhatsApp, hingga Aplikasi JKN
Dia juga menyatakan bahwa peserta yang ingin mendapatkan perawatan di kelas yang lebih tinggi bisa melakukannya, asalkan motivasinya bersifat nonmedis.
Perpres tentang Jaminan Kesehatan juga mengatur bahwa kenaikan kelas perawatan dapat dilakukan melalui asuransi kesehatan tambahan atau dengan membayar perbedaan biaya yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan.
Biaya tambahan ini dapat ditanggung oleh peserta, pemberi kerja, atau asuransi kesehatan tambahan.
Ghufron menuturkan bahwa regulasi ini membawa manfaat dengan memungkinkan pasien untuk naik kelas, kecuali bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau mereka yang berada di kelas III.
Ia juga mengimbau pengelola rumah sakit tidak mengurangi jumlah tempat tidur perawatan pasien dalam upaya memenuhi kriteria Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Pernyataan itu dikemukakan Ghufron Mukti menjawab diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan yang di dalamnya mengatur tentang kriteria KRIS.
"Pesan saya jangan dikurangi akses dengan mengurangi jumlah tempat tidur. Pertahankan jumlah tempat tidur dan penuhi persyaratannya dengan 12 kriteria," kata Ghufron Mukti.
Pasal 46A Perpres tersebut mensyaratkan kriteria fasilitas perawatan dan pelayanan rawat inap KRIS meliputi komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi, terdapat ventilasi udara, pencahayaan ruangan, kelengkapan tempat tidur, termasuk temperatur ruangan.
Selain itu, penyedia fasilitas layanan juga perlu membagi ruang rawat berdasarkan jenis kelamin pasien, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi.
Kriteria lainnya adalah keharusan bagi penyedia layanan untuk mempertimbangkan kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur, penyediaan tirai atau partisi antartempat tidur, kamar mandi dalam ruangan rawat inap yang memenuhi standar aksesibilitas, dan menyediakan outlet oksigen.
Seperti diketahui, jumlah tempat tidur pada ruang pelayanan pasien kelas III BPJS Kesehatan umumnya berjumlah enam hingga 10 tempat tidur per ruangan.
Pengurangan jatah tempat tidur perawatan, kata Ghufron, dapat berimplikasi pada antrean pasien dalam mengakses layanan rawat inap.
Baca Juga: Ditjen Kesehatan Masyarakat Buka Lowongan Kerja untuk Umur 40-45 Tahun, Ini Syaratnya
Penulis : Kiki Luqman Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV, Antara