> >

Beranggapan: Mencederai Demokrasi, PSI Tolak Pasal Penghinaan Presiden di RUU KUHP

Politik | 9 Juni 2021, 10:25 WIB
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie, Jiexpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (11/4/2019). (Sumber: CHRISTOFORUS RISTIANTO/KOMPAS.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyatakan menolak masuknya delik penghinaan presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP).

Demikian pernyataan sikap PSI tersebut disampaikan oleh Ketua DPP PSI, Tsamara Amany, melalui keterangan resminya.

Baca Juga: RKUHP Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden Berpotensi "Tabrak" Putusan MK

“Pasal penghinaan Presiden dan DPR dalam RUU KUHP mencederai esensi demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat,” kata Tsamara Amany yang dikutip pada Rabu (9/6/2021).

“Pasal tersebut punya potensi menjadi pasal karet yang menghambat diskursus publik yang sehat.”

Tsamara menjelaskan alasan PSI menolak pasal tersebut karena pihaknya tak melihat relevansi pasal-pasal semacam itu diterapkan di era demokrasi saat ini. 

Menurut dia, jika Indonesia menerapkan aturan tersebut, maka hal itu menunjukkan kemunduran puluhan tahun.

Baca Juga: RKUHP Memuat Pasal Penghinaan, YLBHI: Apa Bedanya Dengan KUHP Peninggalan Kolonial

“Kalau dalam konteks pasal penghinaan Presiden, Pak Jokowi dari dulu biasa difitnah, tapi beliau selalu menjawab dengan kerja,” ucap mahasiswa S2 New York University tersebut .

“Kritik seharusnya dibalas dengan kerja, bukan ancaman penjara. Itu pula yang seharusnya dilakukan DPR. Kalau ada yang mengkritik DPR, tunjukkan dengan perbaikan kinerja.”

Lebih jauh, kata Tsamara, sebaiknya DPR mengkaji ulang dan menghapus pasal-pasal tersebut dari RUU KUHP.

Baca Juga: RKUHP Kembali Munculkan Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, Penjara 4 Tahun 6 Bulan

Seperti diketahui, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam draft RUU KUHP terbaru. Penghinaan terhadap presiden dan wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara. 

Bila penghinaan dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya menjadi 4,5 tahun penjara.

Sementara itu, bagi yang menghina lembaga negara, seperti DPR, bisa dihukum penjara maksimal 2 tahun penjara.

Baca Juga: Wamenkumham: KUHP Harus Direvisi untuk Disesuaikan dengan Dinamika Masyarakat

 

Penulis : Tito Dirhantoro Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV


TERBARU