> >

Pasal Penghinaan Presiden dan Pasal RKUHP Lain yang Mencederai Hak Warga Harus Dibatalkan

Hukum | 9 Juni 2021, 18:00 WIB
Adapun penolakan dari elemen masyarakat sebagian muncul akibat disinformasi, misalnya isu bahwa RUU KUHP menetapkan perempuan yang pulang malam akan ditangkap dan didenda Rp 1 juta. (Sumber: kanwilkumham sulsel)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Setara Insitute menilai penghidupan kembali pasal penghinaan baik terhadap presiden-wakil presiden maupun pemerintah adalah suatu bentuk pembangkangan terhadap amanah putusan MK.

Hal tersebut disampaikan oleh Sayyidatul Insiyah, Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.TV, Rabu (9/6/2021).

“Yang berarti pembangkangan pula terhadap konstitusi,” tegasnya.

“Terlebih, penghidupan kembali pasal-pasal tersebut semakin melegitimasi adanya pembungkaman terhadap freedom of expression setiap warga negara,” tambahnya.

Sayyidatul mengatakan bukan tidak mungkin, delik penghinaan terhadap penguasa hanya akan menghambat berbagai kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah.

“Padahal, dalam negara yang demokratis, partisipasi publik menjadi kunci utama penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan, dan protes maupun kritik terhadap pemerintah adalah bagian dari partisipasi publik,” ujarnya.

Baca Juga: RKUHP Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden Berpotensi "Tabrak" Putusan MK

Lebih lanjut, Sayyidatul Insiyah juga mengkritisi soal ketentuan pidana bagi gelandangan.

Bagi Setara Institute, pidana denda bagi yang bergelandangan di jalan seolah menunjukkan pemerintah gagal memahami esensi perlindungan HAM yang termaktub dalam konstitusi.

“Gelandangan sebagai individu yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah bahwa masih jauhnya tingkat kesejahteraan warga negaranya,” kata Sayyidatul Insiyah.

“Alih-alih hadir untuk memelihara gelandangan, pemerintah justru menjatuhkan pidana denda. Lagi-lagi, pemerintah abai terhadap amanah konstitusi bahwa negara harus hadir untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar sebagaimana terejawantahkan dalam Pasal 34 (1) UUD NRI 1945,” lanjutnya.

Sayyidatul Insiyah juga mencermati beberapa pasal dalam draft RKUHP yang menunjukan bentuk intervensi yang terlalu eksesif terhadap ranah privat setiap individu.

Misalnya, kata Sayyidatul, terkait pasal perzinaan dan kumpul kebo.

“Betapapun zina dan kumpul kebo merupakan tindakan yang amoral, namun tidak semua perbuatan yang dianggap tercela dalam konteks agama secara otomatis dikategorikan sebagai perbuatan pidana,” ujarnya.

Baca Juga: Hati-Hati, Dalam RKUHP Iseng Lakukan Prank Bisa Terancam Denda Rp10 Juta

“Selama perbuatan tersebut dilakukan secara konsensual dan tidak ada unsur paksaan atau kekerasan, maka tidak seharusnya pemerintah masuk terlalu dalam hingga menjatuhi sanksi pidana,” lanjutnya.

Menutur Sayyidatul, hukum pidana seharusnya diterapkan sebagai ultimum remidium (upaya terakhir) dalam membenahi persoalan sosial manakala institusi sosial tidak lagi berfungsi.

“Perbuatan tercela yang seharusnya pemerintah hadir untuk melakukan intervensi adalah ketika perbuatan tersebut telah dilakukan dengan unsur paksaan dan menyebabkan kekerasan dalam hubungan seksual sehingga menimbulkan korban, misalnya terkait perkosaan, sehingga negara harus hadir untuk menjamin keadilan bagi setiap warga negaranya,” jelasnya.

Atas keberatan yang dijabarkan, Sayyidatul Insiyah mengatakan, Setara Institute menentang keras terhadap pasal-pasal RKHUP yang justru mencederai hak-hak konstitusional warga negara.

“Mendesak agar DPR bersama Pemerintah meninjau ulang dan membatalkan pasal-pasal dalam RKUHP yang berdampak pada kriminalisasi warga negara,” tegasnya.

“Mendorong DPR bersama Pemerintah untuk kembali mematuhi amanah putusan MK dengan cara membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan pemerintah dalam substansi RKUHP,” tutup Sayyidatul.

Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Eddward-S-Kennedy

Sumber : Kompas TV


TERBARU