> >

Kuasa Hukum Kecewa Polres Luwu Timur Terus Datangi Korban Kekerasan Seksual, Malah Buka Identitas

Peristiwa | 12 Oktober 2021, 20:55 WIB
Ilustrasi penghentian proses penyelidikan oleh polisi dalam kasus kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. (Sumber: (Project M/Muhammad Nauval Firdaus - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0))

“Kedatangan pihak tersebut lagi-lagi menyalahi prinsip perlindungan terhadap anak korban,”  papar Haedir.

Haedir menyatakan, Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur seharusnya memahami bahwa kedatangan mereka beserta publikasi dan peliputan oleh media telah menyalahi prinsip perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yakni hak atas kerahasiaan identitas.

Haedir menyebutkan sejumlah pasal yang mengatur mengenai perlindungan identitas anak. Misalnya Pasal 17 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan."

Larangan membuka identitas anak korban juga ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

“Identitas sebagaimana dimaksud meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak,” paparnya.

Baca Juga: Tim Khusus Polri Audit Kinerja Polres Luwu Timur Soal Kasus Dugaan Pemerkosaan Ayah Terhadap Anaknya

Tim advokasi mengingatkan bahwa mereka menolak penghentian penyelidikan kasus karena ada dugaan kuat kesalahan prosedur oleh Polres Luwu Timur dan P2TP2A. Karena itu tidak semestinya kedua pihak tersebut menemui pelapor atau korban.

Tim juga membantah keterangan P2TP2A Luwu Timur yang secara serampangan menilai hubungan para korban dan ayahnya sebagai terduga pelaku baik-baik saja hanya karena interaksi saat dipertemukan di kantor P2TP2A Luwu Timur, Oktober 2019.

Laporan P2TP2A menjadi salah satu dasar polisi menghentikan kasus ini. Padahal menurut tim kuasa hukum, kesimpulan tersebut berbahaya dan menyesatkan. Sebab menurut pemeriksaan psikolog di Makassar kepada para korban, tidak adanya trauma dalam pertemuan itu bukan berarti kekerasan seksual tidak pernah terjadi.

“Terlebih pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan orang terdekat korban, yang umumnya tidak melakukan perbuatannya dengan cara-cara kekerasan, melainkan bujuk rayu, tipu muslihat, atau manipulasi,” paparnya.

Di sisi lain, dalam dokumen hasil asesmen P2TP2A Luwu Timur sendiri justru terdapat keterangan para anak korban yang menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang dialami. Sama halnya dalam Visum et Psychiatricum (VeP) terhadap para anak korban, masing-masing menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh terlapor.

Penulis : Vidi Batlolone Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU