Tok! MK Tolak Uji Materi Pasal Kewenangan Pemblokiran Internet
Berita utama | 27 Oktober 2021, 14:29 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan uji materi pasal kewenangan pemblokiran internet.
Keputusan itu disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pada Rabu (27/10/2021).
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Anwar Usman.
Dalam pertimbangannya, hakim Mahkamah Konstitusi menyampaikan pola teknologi informasi dan komunikasi memiliki karakteristik penyebaran informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang sangat cepat luas, massif, dan tidak mengenal ruang dan waktu.
“Apabila informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum tersebut telah terlebih dahulu diakses, sebelum dilakukan pemblokiran. Maka, dampak buruk yang ditimbulkan akan jauh lebih cepat dan massif yang dalam batas penalaran yang wajar dapat menimbulkan kegaduhan, keresahan, dan atau mengganggu ketertiban umum,” jelas hakim konstitusi.
“Untuk hal inilah diperlukan kecepatan dan keakuratan yang terukur oleh pemerintah untuk dapat segera mungkin melakukan pencegahan dengan pemutusan akses terhadap informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum. Sebab virtualitas internet memungkinkan konten terlarang yang bersifat destruktif dan massif yang memiliki muatan melanggar hukum.”
Baca Juga: 10 Negara dengan Internet Tercepat di Dunia, Indonesia Tak Masuk 100 Besar
Lebih lanjut, hakim konstitusi juga berpendapat bahwa peran pemerintah dalam membatasi lalu lintas dunia siber sangat diperlukan mengingat karakteristik dari internet yang mudah membawa dampak buruk bagi masyarakat.
“Oleh karena itu tidak mungkin bagi pemerintah untuk menerbitkan terlebih dalam KTUN secara tertulis sebagaimana diperintahkan oleh para pemohon dalam petitumnya, baru kemudian melakukan pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara melakukan pemutusan akses sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 2019,” jelas hakim konstitusi.
“Sebab proses penerbitan KTUN tertulis membutuhkan waktu yang tidak mungkin lebih cepat dari waktu sebaran muatan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan dilarang.”
Atas pertimbangan tersebut, hakim konstitusi menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai ketidakpastian hukum dan persamaan hak serta hak untuk berkomunikasi dan hak atas informasi dalam suatu negara hukum.
“Sehingga dengan demikian permohonan para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap hakim konstitusi.
Perihal pengujian materiil UU No 19 Tahun 2016, Hakim Anwar Usman menyampaikan ada pendapat yang berbeda disampaikan oleh hakim konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra.
Mengutip Kompas.id, sebelumnya Pemimpin Redaksi Suarapapua.com dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengajukan permohonan uji materiil Pasal 40 Ayat 2B UU No 19 Tahun 2016.
Baca Juga: Kemenkominfo: Migrasi Televisi Analog ke Digital akan Stabilkan Jaringan Internet di Daerah
Sebagai pemohon, dua pihak tersebut ingin menguji secara konstitusional pasal tersebut, terutama soal kewenangan pemerintah dalam memutus akses internet terhadap konten yang memiliki muatan melanggar hukum.
Lantaran menurutnya, kewenangan tersebut dianggap harus didahului dasar Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Selain itu, pembatasan akses konten internet juga merupakan bagian dari pembatasan hak atas informasi, berpendapat, dan berekspresi yang diatur di Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945. Karena itu, ketentuan pembatasannya, termasuk prosedurnya, harus diatur dalam UU.
Sebelum diajukannya uji materi pada September 2019, pemerintah memutus akses internet di Papua dan Papua Barat karena demonstrasi dan kerusuhan akibat dampak ujaran bernada suku, agama, ras, dan antargolongan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Dampak dari pemutusan akses internet itu, di antaranya para jurnalis tidak bisa mengirim dan menerbitkan berita. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi juga dilanggar.
Atas kejadian itu, koalisi masyarakat sipil mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan dikabulkan. Namun, dalam perkembangannya, putusan kemudian dibatalkan di tingkat banding.
Pembatasan internet kembali terulang di Papua tahun 2021 saat terjadi kerusuhan di Papua akibat penolakan revisi UU Otonomi Khusus Papua.
Terkait uji materi ini, ada sejumlah pihak yang diminta keterangan di antaranya Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar.
Baca Juga: Hari Ini Kuota Internet dari Pemerintah Cair Lagi: Begini Cara Ceknya
Melalui keterangan tertulisnya, Kamis (2/9/2021), Elsam berpandangan, internet saat ini telah menjadi sarana kunci dalam pemenuhan hak kebebasan berekspresi dan hak atas informasi.
Hal itu sesuai dengan pernyataan Frank La Rue, pelapor khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi pada 2011, bahwa internet adalah sarana utama bagi individu untuk menggunakan hak mereka atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Internet, sambung Elsam, menjadi alat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan berbagai hak asasi manusia (HAM), memberantas ketidakadilan, dan mempercepat pembangunan serta kemajuan manusia.
Warga negara tidak dapat menggunakan haknya untuk berpartisipasi aktif dalam pembuatan kebijakan publik, apabila tidak mendapat kebebasan untuk mendapatkan informasi, mengeluarkan pendapat, dan pandangannya secara bebas.
“Memastikan akses universal terhadap internet harus menjadi prioritas semua negara,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar
Oleh karena itu, meskipun pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan hak atas informasi dimungkinkan (derogable rights), pengaturan dan pelaksanaannya harus tunduk pada syarat dan prosedur yang ketat.
Pembatasan internet tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang tanpa alasan yang sah.
Hal itu justru akan berdampak pada terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan hak tersebut atau bahkan pelanggaran terhadap HAM lainnya.
“Prinsip-prinsip pembatasan inilah yang semestinya dirumuskan secara baik dan ketat dalam UU ITE untuk menghindari pembatasan akses konten internet yang sewenang-wenang,” imbuh Wahyudi Djafar
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV