> >

Ketika Daendels Tiba di Batavia dan Awal Keruntuhan Para Penguasa Jawa

Peristiwa | 6 Januari 2022, 08:35 WIB
Herman Willem Daendels (21 Oktober 1762 – 2 Mei 1818),  Gubernur Jenderal  Hindia Belanda ke-36 dengan latar belakang Gunung Pangrango (Sumber:istimewa)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Herman Willem Daendels (21 Oktober 1762 – 2 Mei 1818),  Gubernur Jenderal  Hindia Belanda ke-36 yang namanya melegenda dalam masa kelam kolonialisme di tanah air.

Setelah melalui perjalanan panjang dari Belanda, dia tiba di Batavia (Jakarta) pada 5 Januari 1808 menggantikan Gubernur-Jenderal Albertus Wiese.

Kedatangan Daendels merupakan awal dari keruntuhan tatanan Jawa dan dimulainya sebuah zaman baru pemerintahan kolonial di nusantara. Sejarawan Inggris dari Oxford University Peter Carey, menyebutkan kedatangan Daendels dengan sebutan "Orde Baru Daendels".

Dalam buku yang ditulisnya, Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), Carey menuliskan bahwa Daendels merupakan ahli hukum, seorang revolusioner dan serdadu profesional yang ditempa oleh Revolusi Prancis. 

Dia ditugaskan ke Jawa oleh Napoleon Bonaparte untuk mengamankan Jawa sebagai basis militer Prancis dari serangan Inggris. 

Baca Juga: Larangan Mudik Lebaran, Jalan Daendels Pantai Selatan DIY Bakal Ditutup

"Daendels membawa serta ke tempat tugasnya yang baru ini semua ketegasan dan sikap tak kenal ampun yang sudah menjadi cap pribadinya dalam karir militer dan politik," kata Carey.

Baru satu bulan di  Jawa, langkah pertama yang diambil adalah mendapatkan informasi yang terperinci mengenai kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah bagian selatan. Ia menyatakan ingin berhubungan langsung dengan para pejabat Belanda di wilayah-wilayah keraton tersebut.

Pada 28 Juli 1808 dia membuat maklumat baru yang isinya menghapus berbagai seremoni dan etiket keraton terhadap para residen Belanda. Misalnya, tidak ada lagi ketentuan para residen berhenti di jalan karena melihat raja melintas.

Para residen yang merupakan para pejabat Belanda itu diberi berbagai hak istimewa dan gelar "menteri" dan baju seragam baru. Mereka juga bisa duduk sejajar bersebelahan dengan para raja di keraton.      

Untuk mengontrol kekuasaanya, dia sering mengadakan perjalanan ke sejumlah wilayah kemudian mengumpulkan para residen dan bupati untuk memberi instruksi. Salah satunya menunjuk Dewan Administrasi Hutan untuk akses ke hutan kayu jati. Kayu jati diperlukan dalam banyak pembangunan kala itu.

Hadirnya Daendels dengan berbagai maklumat dan instruksi praktis membuat para raja di tanah Jawa tak berdaya dan tunduk padanya.

Dengan tunduknya para raja di Jawa membuat Daendels leluasa menjalankan berbagai proyeknya, seperti Jalan Raya Pos (De Groote Postweg), jalan sepanjang 1000 kilometer (621 mi) yang membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur.

Jalan ini awalnya diperuntukan bagi keperluan militer dan pos. Setelah itu jadi sarana mengangkut hasil rempah yang diambil dari berbagai perkebunan di Jawa.

Baca Juga: 194 Tahun Silam, Hamengku Buwono II Raja Jawa Keras Kepala Itu Meninggal

Kisah pembangunan jalan pos ini, merupakan salah satu pembuatan infrastruktur pertama di Jawa. Mengerahkan ribuan pakerja dan sebagian bertaruh nyawa. 

Kebijakan yang dijalankan Daendels ternyata menimbulkan rasa antipati para raja, bupati dan rakyat di Jawa. Selain kejam, Daendels juga ternyata diam-diam menjual tanah-tanah ke pihak swasta untuk memperkaya diri sendiri.

Daendels telah menanam benih kebencian pada kolonialisme. Salah satunya, mendorong lahirnya Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.

Daendels yang semula tampak visioner itu berubah jadi sosok yang otoriter tak kenal ampun.

Demi mencegah hal yang jauh lebih buruk,  Louis Napoleon sebagai raja Belanda pada tahun 1811 memanggil Daendels kembali ke Belanda.

Ia kemudian digantikan oleh Jan Willem Janssen, yang ditugaskan untuk memperbaiki keadaaan Nusantara.

Penulis : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU