> >

Ryamizard Ryacudu Berpeluang Diperiksa Kejagung Terkait Kasus Pengadaan Satelit Kemhan

Hukum | 14 Januari 2022, 21:19 WIB

 

Menteri Pertahanan periode 2014-2019 Ryamizard Ryacudu (Sumber: Dok. Kemhan)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Mantan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berpeluang menjadi pihak yang ikut diperiksa Kejaksaan Agung terkait kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit Kementerian Pertahanan (Kemhan).

Diketahui proyek satelit militer itu dibuat tahun 2015. Saat itu, Ryamizard Ryacudu menjabat sebagai menteri pertahanan.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Ardiansyah menjelaskan sejauh ini pihaknya belum mengagendakan pemeriksaan Ryamizard.

Namun seiring perkembangan penyidikan, mantan KSAD era Presiden Megawati Soekarnoputri itu nantinya akan ikut diperiksa sebagai saksi.

Baca Juga: Kejagung Umumkan Kerugian Negara dari Dugaan Korupsi Satelit Kemhan Sedikitnya Rp786 M

Menurut Febrie, dalam proses penyidikan, pihaknya akan meminta keterangan berdasarkan bukti yang sudah didapatkan.

Kejagung, sambung Febrie, juga tidak melihat kapasitas, jabatan dan posisi pihak-pihak yang akan diperiksa untuk mengungkap kasus dugaan korupsi pengadaan satelit Kemhan. 

"Kami tidak melihat posisinya tapi bagi orang-orang yang perlu dimintai keterangan dalam penyidikan dan itu korelasimya untuk pembuktian maka akan kami lakukan pemeriksaan," ujar Febrie di gedung Kejagung, Jumat (14/1/2022). Dikutip dari Kompas.com.

Dugaan pelanggaran hukum dalam pengadaan satelit slot orbit Kemhan ini pertama kali diungkapkan Menkopolhukam Mahfud MD. 

Baca Juga: Panglima TNI Sebut Ada Anggota TNI Terlibat Proyek Satelit Kemhan yang Rugikan Negara Hampir Rp1 T

Mahfud menjelaskan proyek pengelolaan satelit Kemhan telah membuat negara menelan kerugian ratusan miliar.

Kerugian itu karena adanya penyalahgunaan dalam pengelolaan Satelit Garuda-1 yang telah keluar orbit dari slot orbit 123 derajat bujur timur (BT) pada 2015 sehingga terjadi kekosongan pengelolaan satelit oleh Indonesia.

Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit.

Mahfud menjelaskan permasalahan ini berawal ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memenuhi permintaan Kemenhan untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).

Baca Juga: Panglima TNI soal Personel Terindikasi Korupsi Proyek Satelit: Kami Siap Dukung Keputusan Pemerintah

Kemenhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis milik Avanti Communication Limited pada 6 Desember 2015.

Kontrak itu dilakukan kendati penggunaan slot orbit 123 derajat BT dari Kemkominfo baru diterbitkan pada 29 Januari 2016. 

Namun pihak Kemenhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT kepada Kemkominfo.

Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemenhan ternyata belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.

Baca Juga: Mahfud MD Beberkan Proyek Satelit Kemhan yang Rugikan Negara Hampir Rp1 Triliun

Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016, yang anggarannya pada 2015 juga belum tersedia.

Sedangkan di Tahun 2016, anggaran telah tersedia tetapi dilakukan self blocking oleh Kemenhan.

Dengan adanya permasalahan ini, selanjutnya Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.

Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara harus mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis.

Baca Juga: Iran Luncurkan Roket Pembawa Satelit Berbahan Bakar Padat ke Luar Angkasa

"Biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp515 miliar," ujar Mahfud dalam konferensi pers virtual, Kamis (13/1/2022).

Selain itu, Navayo juga mengajukan tagihan sebesar USD16 juta kepada Kemenhan.

Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura pada 22 Mei 2021, Kemenhan harus membayar USD20.901.209 atau setara Rp314 miliar kepada Navayo.

"Selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemhan juga berpotensi ditagih pembayaran oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat, sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi," ujar Mahfud.
 

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas.com


TERBARU