> >

Heboh Video Nakes dan Mahasiswi Keperawatan Disebut sebagai Perilaku Tidak Etis Bermedia Sosial

Viral | 3 Juni 2022, 16:33 WIB
Viral video tenaga kesehatan (nakes) yang uyel-uyel bayi baru lahir. Ia juga terlihat menempelkan wajahnya yang bermasker ke wajah bayi. (Sumber: Tiktok)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Belakangan ini video tentang tenaga kesehatan (nakes) dan mahasiswa keperawatan yang sedang praktik di rumah sakit (RS) menjadi viral karena menuai banyak kecaman warganet (netizen).

Bukan tanpa alasan, video yang memperlihatkan sejumlah nakes sedang mencubit dan "menguyel-uyel" pipi bayi yang baru lahir di RSIA Santa Anna, Bandar Lampung itu menjadi bulan-bulanan warganet karena dinilai melanggar kode etik profesi.

Selain itu, seorang mahasiswi yang sedang praktik di RSUD Wonosari juga menjadi perbincangan warganet setelah mengunggah video berisi cerita pengalamannya memasang kateter untuk pasien laki-laki.

Pakar komunikasi dan literasi digital Universitas Gadjah Mada, Zainuddin Muda Z. Monggilo menjelaskan, dalam kajian komunikasi, yakni literasi digital, fenomena ini merupakan persoalan etika dalam bermedia digital, khususnya bermedia sosial.

"Sederhananya, perilaku yang tidak etis dan bijak dalam bermedia sosial. Atau dalam istilah yang lebih populer di kalangan anak muda biasanya disebut dengan perilaku minus akhlak atau kurang bermoral atau semacamnya," jelas Zainuddin melalui keterangan tertulis yang disampaikan kepada KOMPAS TV, Jumat (3/6/2022).

Baca Juga: Viral Nakes Bikin Konten Uyel-uyel Bayi Baru Lahir, Ini Klarifikasi dari Pihak RS

Menurut Zainuddin, kecanduan media sosial hingga menciptakan perilaku bermedia sosial yang melampaui batas privasi dan etis ini bisa saja disebabkan oleh beberapa hal yang sifatnya internal (dari pengguna) maupun eksternal (di luar pengguna).

Namun, menurutnya, penyebab utama unggahan video-video tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan seseorang terkait batas privasi dan etika.

"Akan tetapi, penyebab mendasar yang biasanya menjadi pemicu adalah kurangnya pengetahuan dan wawasan terkait batas privasi dan etis yang dimaksud," kata dosen Ilmu Komunikasi UGM yang akrab disapa Zam itu.

Selain itu, kata Zam, kurangnya pengetahuan terkait batas privasi dan etika diikuti dengan ketidakmampuan untuk mengelola dan mengevaluasi apa yang perlu, penting, dan bermanfaat untuk dibagikan melalui media sosial. 

"Etika berkaitan dengan apa yang baik dan apa yang buruk dalam kaitannya dengan moral atau akhlak," jelas Zam.

Baca Juga: Fakta Mahasiswi Curhat Pasang Kateter Pasien Pria, Minta Maaf hingga Ditarik dari Tempat Praktik

Sedangkan, kata Zam, etika komunikasi menegaskan tentang hal yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan dalam berkomunikasi karena pertimbangan moral.

"Etika bermedia sosial sesungguhnya tak memiliki perbedaan yang signifikan dengan etika kita dalam berkomunikasi di kehidupan nyata," terang Zam.

Artinya, imbuh dia, etika bermedia sosial dan etika dalam komunikasi sehari-hari sama-sama bertujuan untuk membentuk niat, sikap, dan perilaku yang etis untuk kebaikan bersama.

"Ini untuk kondisi yang ideal. Sayangnya, idealitas ini tidak selalu sejalan dengan realitas," kata dosen yang memiliki minat riset di bidang komunikasi digital ini.

Menurutnya, etika atau etika komunikasi tidak selalu bisa dirumuskan dalam bentuk peraturan atau regulasi formal.

"Sehingga ia biasanya berwujud dalam kode etik, misalnya kode etik profesi, misalnya kode etik dokter, kode etik dosen, dan seterusnya," tutur Zam.

Sementara itu, tambah Zam, etika juga bisa muncul dalam bentuk kesepakatan atau konsensus yang disepakati bersama.

Baca Juga: Heboh Unggahan Curhat Mahasiswi Pasang Kateter Pasien Pria, Ini Tanggapan RSUD Wonosari

"Misalnya etika dalam berkomunikasi secara daring, bermedia sosial, dan semacamnya," imbuhnya.

Oleh karena itu, Zam menyarankan agar edukasi dan literasi terkait etika bermedia sosial serta hal-hal yang berkaitan dengan itu dipraktikkan bersama oleh seluruh lapisan masyarakat.

"Tanpa terkecuali," tegas salah satu pegiat literasi digital di Jaringan Pegiat Literasi Digital ini.

"Seluruh lapisan masyarakat juga harus mau mengambil peran aktif untuk menjadi aktivator dan evaluator dalam implementasinya," imbuhnya.

Sementara itu, dilansir dari Kompas.com, Indeks Literasi Digital Indonesia 2021 secara nasional mendapatkan skor 3,49 atau berada di level "sedang".

Berdasarkan indeks yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika itu, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi wilayah dengan skor literasi digital tertinggi, yakni 3,71.

Ibu Kota Indonesia, DKI Jakarta, justru tidak masuk dalam sepuluh besar daerah dengan skor literasi digital tertinggi, dengan mengantongi skor 3,51.

Sedangkan daerah dengan skor literasi digital terandah ialah Maluku Utara dengan nilai indeks 3,18.

 

Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU