> >

Kisah Para Dokter Forensik: Temui Keluarga Korban, Dipukuli, hingga Autopsi Saudara Sendiri

Peristiwa | 28 Juli 2022, 06:30 WIB

Ilustrasi proses ekshumasi dan autopsi jenazah RF (17), seorang napi anak yang tewas diduga karena dipukuli sesama tahanan, Rabu (20/7/2022) pagi. (Sumber:KOMPAS.COM/TRI PURNA JAYA)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Dokter ahli forensik dibutuhkan setiap kali mengungkap kasus kematian yang berimplikasi hukum. Namun dalam prakteknya, para dokter mengalami berbagai peristiwa yang pasti tidak terlupakan dalam karier mereka. 

Seperti dalam kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J, yang mayatnya diautopsi ulang, Rabu (27/7/2022) di Jambi.   

Sebelum autopsi dilakukan, tim dokter mengakui sempat bertemu dengan pihak keluarga sehari sebelumnya.

Ketua Tim Dokter Forensik Ade Firmansyah Sugiharto mengatakan, pertemuan tersebut sengaja dilakukan guna menjalin hubungan kepercayaan dengan pihak keluarga.

"Kemarin (Selasa 26 Juli 2022, red), pukul 6-9 malam kami lakukan pertemuan dengan keluarga dan penasihat hukumnya," ujarnya kepada wartawan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sungai Bahar, Rabu (27/7).

Baca Juga: Ketua Tim Dokter Forensik Sebut Proses Autopsi Ulang Brigadir J Tak Seperti Biasanya, Ini Alasannya

Menurut Ade, rasa percaya dari pihak keluarga Brigadir J sangatlah penting dalam proses autopsi ulang. Termasuk mengomunikasikan hal-hal terkait teknis medis kedokteran forensik dan autopsi.

"Serta apa yang bisa diharapkan dan hal-hal apa yang menjadi penyulit," ungkap Ade, yang juga Ketua Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia.

Terbukti, berkat komunikasi yang baik, proses autopsi ulang berjalan lancar.

Namun, ada pula pengalaman yang tidak mengenakkan yang diterima oleh dokter forensik. Misalnya, yang pernah disampaikan oleh ahli forensik dokter Budi Sampurna, yang pernah melakukan forensik terhadap Wayan Mirna Salihin dalam kasus kopi sianida, pada 2016 silam.

"Beberapa kali dokter dipukul di RSCM. Bahkan ada yang mengerikan sekali, keluarga korban ada yang menggunakan senjata tajam," katanya dikutip dari Kompas.com, 31 Agustus 2016.

Menurut Budi, memang tidak selalu mudah melakukan autopsi di Indonesia.

Pengalaman tak jauh berbeda dialami oleh dokter Yuli Budiningsih, yang berpraktek di RS PMI Bogor, Jawa Barat.

Seperti dikutip dari Buku "Antara Mayat, Tragedi, dan Perkara" yang ditulis oleh Agustaman dan Salim Shahab (2022), Yuli pernah diminta mengautopsi korban yang diduga meninggal karena jadi korban pengeroyokan dalam sebuah aksi tawuran dua kelompok. 

"Keadaan rumah sakit ramai, rekan-rekan korban datang ingin melihat mendiang untuk terakhir kalinya. Sebagian di antaranya marah," ujar Yuli. 

Rombongan teman dan keluarga korban dipersilakan masuk untuk melihat. Yuli bertanya kepada yang datang, adakah yang melihat korban saat tawuran terjadi. Ternyata tidak ada. Maka, dilakukan pemeriksan luka luar, dan yang tampak hanya lecet di bahu, hidung dan garis bekas kerokan. 

Setelah pemeriksaan luar, lalu dilakukan pemeriksaan dalam. Juga tidak ditemukan kelainan memar di bawah  kulit, resapan darah, maupun patah tulang. Tetapi pada pemeriksaan makrokospik, tampak ada kelainan jantung. Jantung tampak besar dan gambaran sesuai infark (atau kondisi kerusakan jaringan, red) lama dan infark baru. 

Namun besoknya, sudah beredar berita bahwa korban mati dikeroyok. Yuli sedikit tercengang, sebab hasil pemeriksaan menyimpulkan, korban tewas akibat penyakit jantung.

Saat itu, sedikit terjadi ketegangan. Hingga, ada yang minta hasil visum et repertum, namun Yuli tidak memberikannya. Situasi menegang dan ada intimidasi, ada rasa khawatir dan takut. Menurut Yuli, ini konsekuensi. 

Yuli pun menelepon kedua orang tuanya untuk minta doa dan dukungan untuk tetap jujur dan menyatakan kebenaran.

Kisah berbeda disampaikan oleh dokter Lipur Riyantiningtyas Budi Setyowati. Ia tengah praktik di Rumah Sakit PMI Jogjakarta kala terjadi erupsi Gunung Merapi pada 2010. 

Meski bukan yang pertama dalam melakukan autopsi mayat korban letusan gunung, tetapi baginya, ini yang terberat.

Saat melakukan pemeriksaan, air matanya menetes. Sebab, sejumlah orang dekat yang sudah dianggap sebagai ayah dan anaknya, jadi korban. 

"Sangat berat, harus memisahkan antara rasa dan pikiran, karena sebagian besar korban adalah orang yang saya kenal baik," tuturnya. 

Menurut Lipur, saat berhadapan dengan mayat, mindset atau pola pikir harus diubah: yang dihadapi bukan mayat, tetapi objek.

"Kenapa jenazah ini bisa mati? Apa yang menyebabkannya?" kata sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogya lulusan 2015 ini.

Baca Juga: Autopsi Ulang Jenazah Brigadir Yoshua, Ahli Forensik: Luka Proyektil Itu Berbeda dengan Luka Sayatan

Dia mengenang saat kali pertama menjadi mahasiswa kedokteran dan dapat ilmu forensik. Ia menyebut sempat tidak suka gudeg, padahal gudeg adalah makanan kesukannya. Ternyata, sebabnya karena warna gudeg disebutnya mirip otot manusia yang membusuk.

 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU