> >

Mantan Kabareskrim Sebut Akurasi Lie Detector Diragukan

Hukum | 6 September 2022, 22:35 WIB
Mantan Kabareskrim menyebut Pemeriksaan tersangka atau saksi menggunakan alat pendeteksi kebohongan atau lie detector biasa digunakan oleh penyidik, tapi akurasi alat ini diragukan. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Pemeriksaan tersangka atau saksi menggunakan alat pendeteksi kebohongan atau lie detector biasa digunakan oleh penyidik, tapi akurasi alat ini diragukan.

Penjelasan itu disampaikan oleh mantan Kabareskrim Polri, Komjen (Purn) Ito Sumardi, dalam dialog Kompas Malam, Kompas TV, Selasa (6/9/2022).

“Ini hal yang biasa dilakukan oleh penyidik, karena pihak penyidik ingin mendapatkan hasil yang lebih optimal dari pemeriksaan saksi maupun tersangka,” jelas dia.

“Karena penyidik menduga ada hal yang disembunyikan.”

Tapi, lanjut Ito,  kadang-kadang penyidik tidak terlalu mengandalkan alat ini karena akuasinya diragukan.

Ia menyebut akurasi dari alat itu sangat tergantung pada kondisi terperiksa, termasuk jika seseorang dalam kondisi nervous atau grogi, lelah, atau sakit, maka akan sangat memengaruhi hasilnya.

“Demikian pula ada orang-orang yang sudah terbiasa, biasanya residivis, dia mampu menghandel pertanyaan yang menjebak,” kata Ito.

Baca Juga: Pemeriksaan Lie Detector Ferdy Sambo Diundur, Putri Candrawathi dan ART Susi Ditanya Apa Saja?

“Sehingga hasilnya menampilkan pola yang tidak menunjukkan bahwa orang tersebut berbohong.”

Penggunaan lie detector, tutur Ito, biasanya dilakukan oleh penyidik sebagai suatu upaya agar hasil pemeriksaan saksi-saksi ini bisa diuji kebenarannya.

“Tetapi ini tidak menjamin, bahwa yang dilakukan oleh lie detector itu tidak 100 persen benar, akurasinya 60 sampai 70 persen.”

Ia menegaskan, akurasi yang tidak tepat bukan hanya dapat terjadi pada residivis saja, tetapi pada orang lain yang memang pembawaannya sangat tenang.

“Sangat gugup juga bukan berarti dia bohong, tapi dia nervous, stres, lelah, itu bisa memengaruhi bahwa seolah-olah dia bohong. Padahal yang disampaikan adalah benar.”

“Sehingga di negara-negara maju juga lie detector ini juga tidak terlalu dijadikan alat untuk mengecek apakah orang itu menyampaikan keterangan secara benar atau tidak?” lanjutnya.

Dalam dialog itu, Ito juga menjelaskan, jika mengacu pada Pasal 184 ayat 1 KUHAP, alat bukti yang sah dalam perkara adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Sedangkan hasil dari pemeriksaan menggunakan alat pendeteksi kebohongan biasanya tidak bisa dijadikan alat bukti.

“Hasil dari lie detector biasanya tidak diakui sebagai alat bukti,” kata dia.

“Kecuali apabila hasil lie detector itu dibacakan oleh ahlinya, seorang psikolog di depan pengadilan, ini bisa dijadikan alat bukti.”

Ito menyebut, orang berhak untuk menolak pemeriksaan menggunakan alat pendeteksi kebohongan. Sebab itu diatur dalam undang-undang.

Baca Juga: Mantan Hakim Agung dan Eks Kabareskrim Sebut Tersangka Boleh Tolak Penggunaan Lie Detector

Namun, penggunaan lie detector juga ada dasar hukumnya, yakni Sprin Kapolri.

“Jadi, saya kira penggunaannya juga ada dasar hukumnya. Digunakan di pengadilan juga bisa menjadi alat bukti kalau hasil analisanya dibacakan oleh ahlinya.”

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV


TERBARU