> >

Mengenai Hasil Tes Poligraf, Pakar Sebut Hakim Harus Penuhi Legal Justice dalam Memutus Perkara

Hukum | 18 Desember 2022, 13:30 WIB
Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun menyebut dalam memutuskan suatu perkara, hakim tidak bisa hanya mengikuti kemauan banyak orang saja, tetapi harus memenuhi ketentuan legal justice. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Dalam memutuskan suatu perkara, hakim tidak bisa hanya mengikuti kemauan banyak orang, tetapi harus memenuhi ketentuan legal justice.

Penjelasan itu disampaikan oleh pakar hukum pidana yang juga merupakan mantan Hakim Agung, Gayus Lumbuun, dalam dialog Kompas Siang di Kompas TV, Minggu (18/12/2022).

“Tidak bisa kita mengikuti kemauan banyak orang saja, tapi ada keadilan hukum di samping keadilan masyarakat,” jelasnya.

“Ada social justice tapi juga ada legal justice.”

Salah satu ketentuan legal justice yang harus dipenuhi menurut undang-undang adalah adanya alat bukti dari lima alat bukti yang sah.

“Nah, legal justice harus dipenuhi ketentuannya menurut undang-undang, harus adanya lima alat bukti yang sah, di antaranya tidak mengenal itu alat bukti yang bernama foto copy, elektronik yang lain, termasuk poligraf.”

Baca Juga: Gayus Lumbuun: Hasil Tes Poligraf Bukan Alat Bukti yang Sah, Kecuali Ada Keterangan Ahli

Jika hasil tes poligraf yang notabene tidak termasuk dalam satu dari lima alat bukti yang sah, akan dimasukkan sebagai bukti, maka harus menggunakan keterangan saksi ahli.

“Harus ada ahli yang bertanggung jawab, dan ahli ini pun juga tidak satu.”

“Khawatir bahwa ahli juga masih unya pandangan-pandangan dan berperan saksi, padahal ahli bukan saksi, bukan orang yang tahu sendiri dan tidak perlu dia mengalami sendiri,” kata Gayus.

Dengan keahliannya, ungkap dia, saksi ahli ini bisa menjelaskan dan meyakinkan hakim tentang poligraf misalnya.

“Kalau itu yang terjadi, maka dia bisa sah menjadi alat bukti yang sah.”

Gayus menambahkan, untuk meyakinkan dan memutuskankan suatu perkara, ada tiga hal yang berkaitan, yang disebut dengan petunjuk hakim.

Pertama adalah saksi, kedua adalah surat, ketigaa adalah ahli.

“Dari ketiga inilah hakim bisa mendapatkan petunjuk, bahwa hakim telah membuat keyakinan atas dasar-dasar itu.”

Padahal dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat, ada beberapa saksi yang merupakan saksi mahkota.

 

Namun, lanjut Gayus, para saksi ini mempunyai kepentingan masing-masing atas diri mereka sendiri.

“Ini kan saksi banyak ini kan saksi mahkota, mereka masing-maasing berkepentingan atas dirinya, jadi ada satu hal yang menjadi tujuan mereka. Ini sulit sekali.”

“Di mana saksi ini ada juga sebagai saksi mahkota, saksi yang juga terdakwa. Tentu mereka berkait-kaitan untuk melepaskan dirinya, kalau perlu melempar ke orang lain. Ini perlu diwaspadai,” lanjutnya.

Gayus kemudian memberikan contoh kasus pembunuhan Marsinah, pejuang buruh kala itu. Dalam sidang di Mahkamah Agung, hakim membebaskan sembilan terdakwa karena keterangan saksi mahkota meragukan.

Baca Juga: Ngeri! Hasil Tes Poligraf Putri Candrawathi Minus 25

“Sampai di tingkat Mahkamah Agung, oleh seorang hakim yang memang kredibel, terpercaya, bernama Andi Andoyo, beliau ini memutuskan membebaskan semua terdakwa, sembilan orang.”

“Saksi mahkota ini meragukan, dengan konsep atau asas, lebih bak hakim melepaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang belum tentu bersalah,” urainya.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU