> >

Transparansi Internasional: Tidak Ada Alasan Tunda Pembahasan RUU Perampasan Aset

Hukum | 17 Mei 2023, 08:14 WIB
Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola saat wawancara eksklusif di program Ni Luh KOMPAS TV, Senin (15/5/2023). (Sumber: KOMPAS TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Tidak ada alasan bagi DPR untuk menunda kembali pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana atau RUU Perampasan Aset.

Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola menjelaskan setiap tahun Indonesia hampir kehilangan Rp40 ribu triliun akibat praktik korupsi dan tidak sampai 10 persen dari uang negara yang dikorpsi kembali.

Hal ini membuat Indonesia rugi dua kali. Sudah di korupsi, uangnya juga tidak balik ke kas negara. 

Menurut Alvin kerugian dua kali ini lantaran instrumen hukum yang ada tidak cukup mumpuni untuk merespons kebuntuan hukum dalam pengembalian aset hasil tindak pidana. 

Baca Juga: DPR Takut Bahas RUU Perampasan Aset? | NI LUH

Di sisi lain pendekatan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang mengatur soal pelacakan aset. Persoalannya UU tersebut hanya bisa menjangkau penghentian transaksi sementara dalam proses pengembalian aset. 

"Saya kira kita hampir tidak punya alasan untuk menunda pembahasan dari RUU Perampasan Aset ini," ujarnya saat wawancara eksklusif di program Ni Luh KOMPAS TV, Senin (15/5/2023).

Lebih lanjut Alvin berharap dalam pembahasan draf RUU Perampasan Aset di DPR dapat memuat lima hal penting.

Pertama soal memperluas jalan hukum, artinya tidak hanya sebatas harus ada pembuktian di pidana asal.

Sehingga tidak jika tidak ada pidana asal, penelusuran aset yang tidak sesuai profil dapat dilakukan. 

Baca Juga: PDIP: RUU Perampasan Aset Jangan Dipakai untuk Menyerang Lawan Politik

"Harapannya RUU ini harus memuat itu, soal pelacakan non-pidana. Sementara ini di draf RUU tahun 2015 ada," ujar Alvin. 

Kedua soal kewenangan negara untuk perampasan.

Menurutnya saat ini UU Tipikor maupun UU TPPU terbatas mengenai kewenangan negara soal penghentian transaksi, untuk soal perampasan tidak cukup termuat. 

Ketiga, soal perluasan subjek. Alvin menjelaskan selama ini kasus TPPU hanya tatanan pejabat publik saja yang bisa ditelusuri. Diharapkan ke depan di RUU ini bisa menjangkau pihak swasta. 

"Ke depan di RUU ini harus juga perluasan enggak hanya pejabat publik tapi mungkin aktor di level swasta yang selama ini "memanfaatkan" kebolongan instrumen perampasan aset," ujar Alvin. 

Baca Juga: Ini Sejumlah Pasal Krusial dalam Draf RUU Perampasan Aset Koruptor yang Tak Kunjung Dibahas DPR

Keempat soal relasi antar penegak hukum. Alvin menilai dalam draf RUU Perampasan Aset belum tergambar jelas mengenai relasi antar penegak hukum.

Harapannya dalam pembahasan di DPR bisa diperjelas terkait hal tersebut, sebab dalam draf RUU Perampasan Aset kewenangan super besar ada di Kejaksaan Agung. 

"Di draf RUU Kejaksaan dimandatkan untuk mengelola aset perampasan tindak pidana. Ketika semua perampasan aset dijalankan setelah ada putusan pengadilan kita tidak mau ketika proses menunggu putusan tadi itu ada cawe-cawe," ujar Alvin. 

Kelima soal pengelolaan aset. Alvin menilai yang menjadi tantangan dari pengelolaan aset adalah menjaga nilainya tetap stabil.

Baca Juga: Mahfud MD: Satgas TPPU Mulai Usut Transaksi Janggal Rp349 Triliun

Menurutnya dalam UU Kejaksaan baru soal pendirian badan perampasan aset harus didukung, sebab di sana tidak hanya menangani perampasannya tetapi juga menjaga nilai aset. 

"RUU Perampasan Aset ini sebagai pelengkap atau sarana mengoptimalkan instrumen yang sudah ada. Biasanya negara yang punya UU yang super komprehensif seperti perampasan aset nilai indeks persepsi korupsinya juga baik," ujar Alvin. 

 

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU