Mengenang Hari Wafat RA Kartini (III-Habis): Bukan Sekadar "Habis Gelap Terbitlah Terang"
Humaniora | 17 September 2023, 10:00 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Salah satu karya besar Raden Ajeng Kartini, yang wafat pada 17 September 1904, adalah sebuah korespondensi yang dibukukan dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang". Dalam surat menyurat dengan beberapa kerabat orang Belanda, tersirat hasrat dan cita-cita Kartini terhadap perempuan Indonesia yang kala itu masih dalam era kolonialisme.
Surat- surat yang dibuat Kartini paling banyak dikirim pada sahabatnya, Nyonya Rose Abendanon Mandri, istri dari J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Belanda. Dialah yang memiliki peranan penting dalam penerbitan buku-buku Kartini.
Kala itu, usia Kartini 23 tahun. Dia selalu bersemangat menceritakan apa yang dilihat, dirasa dan dipikirkannya. Dari soal kehidupan perempuan di Jawa, orang Tiongkok hingga masalah agama.
Setelah Kartini meninggal, surat menyurat ini kemudian dibukukan oleh J.H. Abendanon dengan judul "Door Duisternis Tot Licht" pada 1911. Baru pada tahun 1922, Penerbit Balai Pustaka menerbitkan terjemahannya ke dalam bahasa Melayu "Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran" oleh Bagindo Dahlan Abdullah, Zainudin Rasad, Sutan Muhammad Zain, dan Djamaloedin Rasad (mereka menyebut diri Empat Saudara).
Pada tahun 1938, Armyn Pane ikut menerjemahkan dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang dicetak ulang berkali-kali.
Baca Juga: Diduga Lakukan Pelecehan Seksual Terhadap Pasien, Perawat RSUD Kartini Jepara Dibebastugaskan
Rupanya, buku yang berisi surat menyurat itu bukan saja dikenal di tanah air, tapi juga di luar negeri. Pada 1920, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Agnes Louise Symmers diterbitkan oleh Duckworth & Co. di London (1920) dengan judul "Letters of A Javanese Princess: Raden Adjeng Kartini".
Tahun 1923 versi Belandanya dicetak ulang untuk keempat kalinya oleh N.V. Electric Drukkerij “Luctor et Emergo”, dengan judul yang sama: "Door Duisternis tot Licht: Gedachten over en voor het Javaansche Volk".
Di Timur Tengah, kumpulan surat menyurat ini juga diterjemahkan oleh penulis perempuan Suriah. Sementara salinannya dalam Bahasa Prancis ditemukan dalam surat kabar "L'Asie Fransaise".
Rupanya buku ini tidak sekadar kumpulan surat menyurat tapi juga memberi energi bagi kaum perempuan bukan saja di tanah air tapi juga di dunia.
Tamar Djaja dalam buku "Pusaka Indonesia, Riwayat Orang-Orang Besar Tanah Air" (Bulan Bintang, 1966) menuliskan, "Demikianlah besarnya perhatian dunia terhadap surat-surat Kartini itu, terutama sekali kaum perempuan. Surat-suratnya yang tersusun dan mempunyai cita-cita yang sangat tinggi untuk kemajuan bangsanya itulah yang menyebabkan nama Kartini mendengung ke seluruh dunia," tulis Tamar Djaja.
Baca Juga: Meski Pandemi, Para Kartini Tetap Bekerja dengan Taat Protokol Kesehatan
Sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam buku "Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional" (Gramedia, 1993) menuliskan peran penting buku ini, yang penuh dengan gugatan terhadap tata sosial yang tidak adil.
"Kesempatannya bersekolah dan bergaul dengan anak-anak Belanda membuka matanya serta membangkitkan kesadarannya akan dunia yang lain beserta nilai-nilai dan gaya hidupnya yang berbeda dengan apa yang dihayatinya. Timbullah kejutan kebudayaan baginya, adanya hasrat besar untuk belajar menuntut ilmu pengetahuan, pendeknya mencapai kemajuan," tulis Sartono.
Jelas, surat-menyurat itu bukan sekadar sebuah nama "Habis Gelap Terbitlah Terang."
Penulis : Iman Firdaus Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV