> >

Dari KPK ke Kejagung: Pakar Hukum Pidana Nilai Kasus Emirsyah Satar Ne Bis in Idem

Hukum | 17 Oktober 2023, 02:20 WIB
Mantan Direktur Utama PT. Garuda Indonesia Emirsyah Satar usai menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (30/12/2019). (Sumber: TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini giliran Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar sebagai tersangka korupsi Garuda yang disebut telah merugikan negara hingga Rp 8,8 triliun.

Baca Juga: Kejaksaan Agung Bongkar Peran Emirsyah Satar dan Soetikno Soedarjo dalam Korupsi Garuda Indonesia

Emirsyah Satar menjadi tersangka dan kini terdakwa korupsi terkait pengadaan dan sewa pesawat CRJ 1000 serta ATR 72-600. 

Sama seperti kasusnya di KPK, Emirsyah Satar juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung bersama mitra bisnisnya, Soetikno Soedarjo selaku Dirut PT Mugi Rekso Abadi (MRA).
 
Dua kasus korupsi yang menyeret eks Dirut PT Garuda Indonesia di KPK dan Kejagung tersebut kini menjadi sorotan lantaran perkara yang ditangani baik di KPK maupun Kejagung dinilai saling beririsan. 

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar menilai, dalam kasus tersebut berlaku Ne Bis In Idem, yakni kesamaan dalam objek perkara atau dengan kata lain terjadi pengulangan kasus.
 
"(Terkait kasus Emirsyah Satar) sebenarnya bisa disimpulkan begini, dari keseluruhan perbuatan itu oleh KPK disimpulkan bahwa berujung pada gratifikasi. Penerimaan yang dilakukan oleh seseorang berkaitan dengan jabatannya yang kemudian dikualifikasi sebagai bagian dari tindak pidana korupsi," katanya. 

"Yang harus dipertanyakan adalah mengapa KPK ketika dulu mengusut pertama tidak fokus pada perbuatan yang sekarang diadili atau diambil alih oleh kejaksaan," ungkap Abdul Ficar Hadjar di Jakarta.
 
Menurut Abdul Ficar, jika kasus tersebut dirunut kembali dari awal, maka perbuatan Emirsyah Satar menjadi penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan melawan hukum yang menguntungkan pribadi dan merugikan negara. Maka mau tidak mau menjadi pengulangan atas apa yang sudah dilakukan oleh KPK.
 
"Yang jadi pertanyaannya kan kenapa KPK dulu tidak menuntut dengan pasal 2 atau pasal 3 UU Korupsi, tapi lebih memilih pada pasal-pasal gratifikasi yang dilakukan oleh KPK. Nah yang menjadi pertanyaan besar sebenarnya itu," ujar Abdul Ficar.
 
Kemudian, Abdul Ficar melanjutkan, fokus persoalannya adalah apakah perbuatan yang pernah dikualifikasi dalam satu tuntutan tertentu itu bisa diadili lagi.  

"Karena itu kemudian kita harus melihat ketentuan yang mengatur mengenai Ne Bis In Idem itu. Ne Bis In Idem diatur dalam pasal 76 itu dinyatakan bahwa kecuali dalam hal putusan hakim yang mungkin masih diulangi, orang tidak boleh dituntut 2 kali karena perbuatan yang sama, perbuatan yang oleh hakim di Indonesia, terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap," jelasnya.

Artinya sudah ada putusan terhadap perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana itu sudah menjadi tetap dan sudah dijalankan dan dieksekusi," imbuh Abdul Ficar.

Baca Juga: Profil Emirsyah Satar, Ekonom Mantan Direktur Garuda yang Baru Ditetapkan Tersangka Korupsi

Oleh karena itu, menurutnya, jika ada elemen perbuatan yang sudah dilakukan dan telah ada putusan awalnya lalu dijadikan tindak pidana baru, hal ini bisa menjadi Ne Bis In Idem. Kecuali jika objeknya memang berbeda.
 
"Mungkin kalau dari satu rangkaian yang sama diceritakan oleh penasihat hukum (Emirsyah Satar) itu ada lima perbuatan pengadaan pesawat yang oleh KPK dijadikan dasar untuk menuntut gratifikasinya, penerimaannya, tetapi di dalam dakwaan Kejaksaan menurut informasi dari kuasa hukum tadi, yang dijadikan hanya 2 perbuatan pengadaan. Jadi dua dari lima yang pernah dituntut KPK. Karena itu kemudian saya jadi langsung menyimpulkan ini sebenarnya mengadili perbuatan yang pernah diadili," kata Abdul Ficar.
 
"Yang di dakwaan pertama itu didasarkan pada gratifikasi yang diterima dari 5 pengadaan pesawat, dan ternyata oleh Kejaksaan itu diambil dua, kemudian dijadikan dakwaan baru, yang pasalnya sebenarnya juga jadi berhimpitan," tuturnya.

"Karena itu saya cenderung (berpendapat) bahwa kasus ini tuh sebenarnya Ne Bis In Idem atau pengulangan dari yang pernah didakwakan atau dihukum. Bahkan hukumnya sudah punya kekuatan hukum tetap dan sudah dijalankan," lanjutnya.
 
Karena itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu pun menilai, peradilan kasus korupsi Garuda yang kedua oleh Kejaksaan Agung ini sebenarnya merupakan perbuatan yang sudah ada putusannya.
 
"Saya menyimpulkannya sebagai Ne Bis In Idem," tandasnya, menegaskan.
 
Ia pun mempertanyakan apa tujuan penyidik Kejaksaan dalam kasus ini, khususnya dalam konteks penegakan hukum pidana. Sebab, kata Abdul Ficar, penegakan hukum harus yang relevan untuk diajukan.

Baca Juga: Emirsyah Satar dan Soetikno Soedarjo Tersangka Korupsi Pengadaan Pesawat Garuda

Namun demikian, Emirsyah Satar telah mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum terkait kasus korupsi pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600.

Hal itu disampaikan Emirsyah Satar melalui kuasa hukumnya, Monang Sagala, di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (9/10/2023).

Emirsyah Satar disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 Juncto Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP.
 
Sebelumnya, di KPK kasus yang memidanakan Emirsyah selama 8 tahun penjara adalah terkait dengan suap-menyuap dan gratiffikasi pengadaan proyek pembelian Total Care Machine Program Trent Roll-Royce 700, Airbus A330-300/200, dan Airbus A320 untuk PT Citilink Indonesia, anak perusahaan GIAA, serta pesawat CRJ 1000, serta ATR 72-600.

Penulis : Deni-Muliya

Sumber : Kompas TV


TERBARU