> >

Aliansi Perempuan Indonesia Sebut Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Makin Sulit

Politik | 5 Maret 2024, 15:11 WIB
Aksi sejumlah perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia, Selasa (5/3/2024) siang. (Sumber: Tangkapan layar YouTube)

JAKARTA, KOMPAS.TV –  Hasil hitung cepat pemilihan umum (pemilu) yang menyatakan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo-Gibran unggul sementara, menandakan penyelesaian pelanggaran HAM berat akan semakin sulit ke depan.

Hal itu disampaikan oleh peserta aksi yang dilakukan oleh sejumlah perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia, di depan Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jl. Diponegoro, Jakarta,  Selasa (5/3/2024) siang.

Dalam orasinya, peserta aksi menyatakan bahwa sejumlah perempuan korban pelanggaran HAM berat mendapatkan sedikit sekali harapan di awal masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Nawacita yang menjadi program pasangan Jokfowi dan Jusuf Kalla menulis kedua belas tragedi pelanggaran HAM berat,” kata seorang peserta aksi membacakan pernyataan sikap.

Baca Juga: Legislator PKS Soroti Program Makan Siang Gratis: Jangan Sampai Utak-Atik Dana BOS

“Namun tak lama setelah dilantik, harapan itu purna, kala Jokowi melantik Wiranto menjadi Menkopolhukam,” tambah anggota aksi demo lainnya.

Para perempuan korban pelanggaran HAM disebut pernah bertemu langsung dengan Presiden Jokowi pada 31 Mei 2018 dan menyerahkan draft penyelidikan, namun mereka hanya kembali menerima janji.

Selanjutnya, pada tanggal 23 Oktober 2019 Prabowo dilantik menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia dalam Kabnet Indonesia Maju.

 

“Ini menandakan bahwa Presiden Jokowi tidak memiliki komitmen untuk menyelesaikan HAM berat di Indonesia,” kata orator lain.

“Di sisi lain hasil hitung cepat pemilu yang menyatakan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo-Gibran unggul sementara, menandakan penyelesaian pelanggaran HAM berat akan semakin sulit ke depan.”

Dengan sejumlah kenyataan yang terjadi saat ini, mereka menyebut perjuangan korban untuk meraih keadilan akan semakin mengalami jalan terjal yang panjang.

Dengan kondisi kemerosotan demokrasi seperti di atas, kata penserta aksi, Aliansi Perempuan Indoneisa menuntut dan menyerukan sejumlah hal sebagai berikut:

1. Tegakkan demokrasi dan supremasi hukum

2. Wujudkan kebijakan yang mendukung penghapusan kekerasan dan melindungi perempuan, yaitu dengan Sahkan RUU PRT, RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Antidiskriminai, dan Ranperda Bantuan Hukum DKI Jakarta dan wujudkan aturan pelaksana yang mendukung implementasi UU TPKS.

“Ratifikasi konvensi internasional ILO nomor 190 tahun 2019 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.Cabut atau membatalkan regulasi antidemokrasi yang merugikan perempuan, kelompok minoritas lainnya, baik di tingkat daerah maupun nasional, seperti UU Cipta Kerja, Revisi UU ITE.”

Susun pengaturan perlindungan pembela HAM dan lingkungan agarterhindar dari praktik kekerasan, serangan, maupun kriminalisasi.

Keluarkan larangan pada setiap kebijakan yang mengarah pada diskriminasi berbasis gender dan orientasi seksual.

Akomodir kebutuhan maternitas perempuan pekerja, sediakan akses yang ramah pada disabilitas di lingkungan kerja.

Berikan jaminan kesehatan yang memadai bagi perempuan pekerja. Bangun tata kelola pangan yang berkelanjutan dan menurunkan haga sembako.

3. Tuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu dan berbagai pelanggaran HAM saat ini secara berkeadilan dan berpusat pada pemenuhan serta pemulihan hak-hak korban.

Baca Juga: AHY Ungkap Alasan Dirinya Optimis Proyek IKN Tidak Akan Mangkrak

Mereka juga menjadwalkan untuk melaksanakan aksi menyambut Internationa Womens Day atau Hari Perempuan Internasional.

“Kami akan melakukan aksi pada tanggal 8 Maret 2024 untuk menggugah kesadaran publik dan juga Dewan Perwakilan Rakyat atas bahaya dari regresi demokrasi yang sedang terjadi.”

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU