> >

Jejak dan Harapan Garuda Muda (II): Nasionalisme si Kulit Bundar di Awal Kemerdekaan

Humaniora | 27 April 2024, 05:30 WIB
Tampilan halaman tiga koran berbahasa Belanda, Java-bode, edisi 3 Mei 1955, tentang aktivitas Pelatih Timnas Indonesia periode 1950-an Tony Pogacnik yang memberikan pelatihan sepak bola di Bali. (Sumber: Arsip Java Bode via Kompas.id)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Sejak sebelum kemerdekaan, sepak bola sudah menjadi olah raga yang digemari rakyat Indonesia. Tercatat pada Piala Dunia 1938, atau tujuh tahun sebelum proklamasi kemerdekaan dibacakan, Indonesia yang kala itu masih bernama Hindia Belanda sudah ikut berlaga.

Yang menarik, para pemain kala itu sudah menunjukkan keberagaman. Kapten tim dipimpin oleh Achmad Nawir, pemain bertahan asal klub Soerabajasche Voetbal Bond, yang ditunjuk oleh pelatih Johannes Christoffel van Mastenbroek. Ahmad Nawir sebenarnya berprofesi sebagai dokter. Bahkan ketika turut bermain di lapangan, dia mengenakan kaca mata. Hal yang terlihat janggal kala itu.

Fakta lain, setidaknya tiga pemain keturunan Tiongkok bermarga Tan. Mereka adalah Tan "Bing" Mo Heng, kiper yang tergabung dalam klub HCTNH Malang, serta dua penyerang bernama Tan Hong Djien (Tiong Hoa Soerabaja) dan Tan See Han (HBS Soerabaja).

Baca Juga: 7 Rekor yang Dibuat Timnas Indonesia di Piala Asia U23, Tim Pertama yang Bobol Korea Selatan 13 Kali

Ketika di awal Kemerdekaan, Menteri Olahraga Wikana menyampaikan pidato yang isinya gerakan olahraga tidak bisa dipisahkan dari gerakan kebangsaan, dan adalah kewajiban bagi masyarakat untuk memperhatikan gerakan olahraga sebagai suatu bagian kebulatan tekad perjuangan. Di saat Indonesia telah menjadi sebuah negara,
tujuan perjuangan bangsa adalah menegakkan negara Republik Indonesia menjadi negara yang besar. 

Olahraga menjadi perhatian dan urusan negara sebagai representasi dari pihak negara. "Keolahragaan yang menjadi tujuan para penggemar dan atletnya dilihat dari sudut kenegaraan adalah jalan untuk menegakkan negara," katanya.

Menurut Wikana, hasil olahraga tidak bisa dilihat dari hasil pertandingan saja; olahraga adalah pembangunan oplange termijn atau jangka panjang bagi perjalanan bangsa dan negara. Olahraga harus dikembangkan secara merata dan menjadi kebiasaan.

Memasuki periode awal kemerdekaan, sepak bola mendapat perhatian serius dari pemerintah saat itu. Presiden Soekarno memandang bahwa olahragawan adalah wakil-wakil bangsa dan negara dalam ajang pertandingan dan perlombaan. Presiden Soekarno selanjutnya menjadikan sepak bola sebagai salah satu media membentuk karakter bangsa dalam proses national building serta “menggelar” Indonesia dalam kancah internasional.

Baca Juga: Shin Tae-yong Sebut Timnas U23 Indonesia Bisa Capai Final Piala Asia U23 2024

Dikutip dari situs Museum Kepresidenan, bentuk perhatian serius Presiden Soekarno terhadap sepak bola Indonesia terlihat dari pembangunan infrastruktur olahraga serta capaian prestasi tim sepak bola Indonesia pada saat pemerintahaannya.

Kiprah tim sepak bola Indonesia dalam kancah internasional dimulai pada perhelatan Asian Games I di New Delhi, India tahun 1950. Pada kompetisi tersebut, tim sepak bola Indonesia mengirim 18 pemain yang dipimpin oleh pelatih asal Singapura, Choo Seng Quee.

Dukungan Soekarno terhadap perkembangan sepak bola Indonesia selanjutnya dipertegas dengan adanya perhelatan Soekarno Cup pada tanggal 25 April 1963. Perhelatan Soekarno Cup diikuti oleh enam negara, yakni Indonesia, China, Mesir, Kuba, Vietnam Utara, dan Pakistan.

Dalam ajang tersebut, Timnas Indonesia berhasil merebut juara 3 dengan mengalahkan Timnas Vietnam Utara dengan skor 3-1. Sedangkan juara 1 Soekarno Cup adalah Mesir yang berhasil menekuk China dengan skor 2-0.

Dalam hal infrastruktur, Presiden Soekarno membangun stadion utama Gelora Bung Karno untuk menunjang kegiatan olahraga di Indonesia. Stadion utama Gelora Bung Karno mulai dibangun pada tanggal 8 Februari 1960 sebagai kelengkapan sarana dan prasarana dalam rangka Asian Games 1962.

Dalam pemancangan tiang pertama, turut hadir Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Kruschev. Hal tersebut bukanlah hal yang mengejutkan, mengingat kedekatan Presiden Soekarno dengan negara-negara blok timur kala itu. Stadion utama Gelora Bung Karno selanjutnya diresmikan pada tanggal 21 Juli 1962.

 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU