> >

Kisah Perampokan Perhiasan di Museum Nasional, Pelakunya Mantan Pejuang Kemerdekaan

Humaniora | 15 Juni 2024, 06:00 WIB
Kusni Kasdut ketika dalam penjara. (Sumber: Grid.id)

JAKARTA, KOMPAS.TV -  Pagi itu, Jumat, 30 Mei 1963, cuaca cukup cerah. Kusni dan tiga kawannya masuk ke Museum Nasional Jakarta dengan menyamar sebagai polisi. 

“Selamat pagi, Pak,” sapa penjaga loket dengan nada hormat kepada "para polisi" yang menampilkan wajah dingin.

Sebenarnya penjaga loket sedikit heran. Tumben, polisi-polisi ini pagi-pagi sekali sudah tertarik berkunjung ke museum.

Namun ia tidak tertarik untuk menyelidik lebih jauh. Ah, biarlah, batinnya. 

Baca Juga: Perampokan Jam Tangan Mewah di PIK: Polisi Akan Periksa Pegawai Toko dan Sekuriti

Di lantai 2, sahabat Kusni, Budi dan Sumali, segera menguasai situasi dengan mengajak bicara seorang petugas jaga.  

Sementara Kusni dan Herman langsung menyelinap masuk ke ruangan yang jadi sasaran, yakni Ruang Pusaka. 

Ternyata, ruang itu dijaga. Kepalang tanggung, Kusni mencabut pistol dan menodongkannya.

Dengan cepat Kusni segera mendekati lemari pajangan emas dan berlian. Dengan obeng yang paling besar, daun pintu lemari pajangan itu dicongkel.

Tak sulit. Cukup ditekan kanan kiri beberapa kali, lemari sudah terbuka.

Saat itulah kedua petugas jaga baru menyadari, mereka berhadapan dengan perampok.

Setelah berhasil, Kusni dan kawan-kawannya kabur. Sesuai rencana yang telah disepakati, empat orang itu segera meninggalkan jip yang mereka gunakan di pinggir jalan.

Selanjutnya, pelarian mereka menggunakan dua becak, masing-masing memuat dua orang.

Baca Juga: Perampokan Jam Tangan Mewah di PIK 2: Pelaku Pura-Pura Jadi Pembeli dan Kurung Karyawan di Toilet

Di tengah jalan, Kusni membuka hasil rampokannya yang dibungkus kaos kaki bekas.

Badannya bergetar dan mulutnya tertutup begitu melihat perhiasan yang terbuat dari emas dan berlian di tangannya.

Sebelum merampok Museum Nasional, Kusni dan kawan-kawan pernah merampok dan membunuh Ali Badjened, saudagar kaya keturunan Arab yang tinggal di Jakarta.

Dalam aksi penodongan di depan Pasar Boplo, pistol Kusni meletus menembus jantung korbannya. Koran-koran heboh memberitakan aksi tersebut.

Pelakunya Mantan Pejuang Kemerdekaan 

Pelaku dari dua perampokan yang bikin Jakarta gempar itu tak lain adalah Kusni Kasdut.

Dikutip dari Intisari, lelaki kelahiran Blitar pada 1929 itu, sebenarnya tidak berlatar belakang perampok. Dia tercatat punya andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945. 

Setelah mendapatkan didikan militer Jepang, Kusni bergabung dengan Brigade Teratai, laskar rakyat bentukan Jenderal Moestopo, yang juga dikenal sebagai Pasukan Setan.

Disebut begitu lantaran pasukan ini merekrut berbagai elemen rakyat kala itu, terutama mereka yang berasal dari dunia hitam.

Jadilah Kusni bergaul dengan copet, bandit, perampok, pelacur, dan lain-lain.

Jenderal Moestopo sengaja mengorganisir para kriminal itu dan menggunakan mereka sebagai pasukan tempur rahasia yang ternyata sangat efektif.

Tugas mereka antara lain menyusup ke wilayah musuh atau mengumpulkan berbagai barang berharga untuk kepentingan perjuangan.

Namun ketika kemerdekaan sudah dicapai, Kusni seperti anak ayam kehilangan induk. Dia tak punya tempat bernaung.

Sesudah adanya Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda pada 1950, reorganisasi dalam tubuh angkatan bersenjata Republik Indonesia (saat itu bernama Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat/APRIS) dilakukan.

APRIS melakukan demobilisasi atau penyeleksian tentara yang dapat bergabung di dalam strukturnya.

Namun, kenyataan pahit harus diterima Kusni Kasdut. Ternyata dia ditolak dalam seleksi.

Semenjak itu, dia berkelana hingga ke ibu kota dan memulai perjalanannya sebagai bandit.

Setelah berbagai aksi kejinya, Kusni ditangkap dalam pelariannya di Semarang, Jawa Tengah, setelah sebelumnya berhasil kabur dari jeruji besi. 

Di penjara, Kusni Kasdut dibaptis dan mendapat nama Ignasius. Jelang eksekusi, Kusni sempat membuat lukisan gereja dari batang pohon pisang.

Sayang, pertobatan Kusni tak membuatnya memperoleh keringanan hukuman. Ia dieksekusi pada 16 Februari 1980.

Penulis : Iman Firdaus Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU