> >

Investigasi The New York Times Soal Perbudakan Bupati Langkat: Hukuman Ringan, Banyak Pelaku Lolos

Sumatra | 20 Juni 2023, 21:30 WIB
Tim gabungan dari Polda Sumut mendatangi kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non-aktif Terbit Rencana Perangin-angin. (Sumber: Dok. Polda Sumut via KOMPAS.com)

KABUPATEN LANGKAT, KOMPAS.TV - Media Amerika Serikat (AS), The New York Times menyorot perbudakan brutal di kebun kelapa sawit milik Bupati Non-aktif Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin. Peristiwa ini kembali disorot karena ringannya hukuman yang dijatuhkan dan banyaknya terduga pelaku yang lolos dari jerat hukum.

Terbit sendiri telah divonis bersalah atas kasus korupsi. Ia awalnya dijatuhi hukuman 9 tahun penjara, tetapi kemudian disunat menjadi 7,5 tahun.

Akan tetapi, Terbit tak kunjung diadili sehubungan kasus perbudakan 656 orang di lingkungan pabriknya. Putra Terbit, Dewa Perangin-Angin juga disebut dibebaskan secara diam-diam usai divonis 19 bulan penjara pada November 2022 lalu.

Menurut keterangan korban dan saksi mata, Dewa turut menyiksa orang hingga mati di kerangkeng bupati Langkat. Ia disebut sudah bebas dan menghadiri sebuah acara pernikahan pada tahun ini.

Perbudakan Brutal ‘Raja Kecil’

Perbudakan di pabrik dan kebun Bupati Nonaktif Langkat ditutupi modus rehabilitasi narkoba. Kepolisian Daerah Sumatra Utara menyebut terdapat 656 orang, termasuk remaja, dikerangkeng di tanah Terbit Perangin-Angin sedekade belakangan.

Mereka umumnya ditahan selama 18 bulan, disuruh kerja tanpa dibayar di pabrik atau kebun sawit bersama pekerja resmi. 

Banyak korban di kerangkeng bupati Langkat disiksa, dicambuk, dibakar, hingga mengalami kekerasan seksual. Komnas HAM menyebut enam tahanan tewas, tiga di antaranya disiksa hingga mati.

Baca Juga: KPK Sita Uang Rp8,6 Miliar Terkait Kasus Gratifikasi Bupati Langkat Nonaktif Terbit Rencana

Selain diperbudak di kebun sawit, tahanan juga diperintah membersihkan rumah mewah Terbit Perangin-Angin, mencuci mobil, dan memberi pakan ke 200 sapi miliki bupati tersebut.

Ardi, salah satu dari empat korban Bupati Non-aktif Langkat yang mendapat perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), mengaku ditahan saat berusia 15 tahun. Ia mengaku diperintah membersihkan rumah mewah bupati.

“Bupati tidak mau mengeluarkan uang untuk merekrut pekerja, jadi dia memperbudak kami dengan dalih rehabilitasi (narkoba),” kata Ardi kepada The New York Times.

“Namun, mereka tidak pernah memberi kami perawatan. Pada dasarnya ini adalah penipuan,” lanjut pemuda yang kini berusia 18 tahun tersebut.

Terlalu Berkuasa untuk Diusik

The New York Times turut menyorot rekam jejak penegakan hak asasi manusia di Indonesia dan kekuasaan pejabat daerah mulai gubernur, wali kota, dan bupati yang kerap dijuluki “raja kecil”.

Sebelumnya, kerangkeng Bupati Nonaktif Langkat disebut telah menjadi rahasia umum bagi masyarakat setempat, kepolisian, dan pejabat daerah. Namun, tidak ada yang berani mengusik karena Terbit Perangin-Angin dipandang sebagai sosok berkuasa di Langkat.

Sejumlah personel polisi dan tentara bahkan dilaporkan membantu penjaga kerangkeng menyiksa para korban.

“Tidak ada yang bisa menghentikannya. Polisi di daerah itu di bawah komandonya. Tidak ada yang cukup berani melawannya,” kata tenaga ahli LPSK, Rianto Wicaksono.

Baca Juga: Penyuap Bupati Langkat Dijebloskan ke Penjara, Sempat Minta Keringanan dengan Dalih Usia Senja

Sangap Surbakti, pengacara yang sebelumnya menjadi kuasa hukum Terbit Perangin-Angin, menyebut keberadaan kerangkeng Bupati Nonaktif Langkat diketahui oleh pejabat-pejabat provinsi, polres, dan pejabat Badan Narkotika Nasional (BNN) setempat. 

Sangap juga menyebut kliennya tahu mengenai kerangkeng. Namun, Terbit disebut tak tahu perbudakan dan penyiksaan yang terjadi di sana.

“Dia hanya kurang beruntung karena kerangkeng itu terletak di dekat rumahnya. Dia tahu tentang kerangkeng itu, tetapi dia tidak tahu apa yang terjadi di sana,” kata Sangap.

“Pak Perangin-Angin hanya fokus ke bisnis. Dia bahkan tidak tahu bahwa waktu itu orang-orang ini dipindahkan ke pabrik,” lanjutnya.

Kepala jaksa penuntut dalam kasus Terbit Peranging-Angin, Mei Abeto Harahap menyebut polisi tidak menemukan cukup bukti untuk menjerat bupati nonaktif itu dengan dakwaan perdagangan manusia. Kurangnya bukti juga membuat sejumlah terduga pelaku lain lolos.

“Kami tahu itu terjadi, tetapi polisi tidak memasukkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kasus ini,” kata Mei.

Sementara itu, juru bicara Polda Sumatra Utara, Hadi Wahyudi menyebut polisi telah menyelidiki kasus perdagangan orang ini dengan saksama.

Ia menyebut polisi telah bekerja keras menemukan saksi-saksi potensial terkait tindak kejahatan yang terjadi sejak bertahun-tahun lalu ini.

Penyiksaan Brutal di Kerangkeng Bupati Langkat

Bambang, salah satu korban perbudakan, menyebut para tahanan tidak diperlakukan secara manusiawi. Ia diserahkan ke Bupati Nonaktif Langkat untuk direhabilitasi, tetapi justru dikurung dan disuruh kerja tanpa dibayar di kebun sawit dan pabrik.

Puluhan korban lain pun mengaku bahwa mereka sama sekali tidak menjalani rehabilitasi, tetapi diperbudak.

“Ini bukan rehab. Ini penjara. Mereka memperlakukan kami seperti binatang. Kami putus asa di sana,” kata Bambang.

Bambang mengaku dikirim orang tuanya pada awal 2021 untuk rehabilitasi kecanduan sabu-sabu. Setibanya di tempat Bupati Nonaktif Langkat, Bambang mengaku dicambuk dengan selang kompresor.

Bambang kemudian dilepaskan dari kerangkeng oleh penjaga, diperintahkan untuk mengawasi tahanan lain. Sedikit keleluasaan ini membuat Bambang berkesempatan menyaksikan penyiksaan dan pembunuhan.

Baca Juga: Mahfud MD Sebut Ada 1.476 Korban TPPO dalam Kurun 5-17 Juni 2023

Pria berusia 31 tahun itu pun menjadi saksi penyiksaan Sarianto Ginting hingga mati. Sarianto dibawa ke tempat Bupati Nonaktif Langkat pada pertengahan 2021 lalu.

Putra bupati, Dewa Perangin-Angin menginterogasi dan menyiksa Sarianto. Dewa menggebukinya dengan kayu dan mencambuknya dengan selang kompresor.

Dalam kondisi luka-luka, Dewa kemudian menyuruh Sarianto mandi di kolam. Penjaga menceburkannya. Namun, setelah dua kali diceburkan, Sarianto tidak muncul ke permukaan.

Bambang mengaku turut mengevakuasi jenazah Sarianto. Ia mengaku menolak tawaran mobil dan uang ratusan juta rupiah untuk tidak memberi kesaksian merugikan terhadap keluarga Perangin-Angin.

Kerangkeng di tanah Bupati Nonaktif Langkat sendiri ditemukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Januari 2022 lalu ketika mengusut dugaan korupsi yang menyeret Terbit Perangin-Angin. Petugas kemudian menemukan 65 orang dikurung dalam dua kerangkeng.

Dewa Perangin-Angin bersama seorang pria lain kemudian divonis 19 bulan penjara atas penyiksaan tahanan hingga mati. Kini, Dewa disebut sudah bebas.

“Dia senang melihat orang lain disiksa. Ketika dia menyiksa orang, itu di luar batas,” kata korban lain, Sueb tentang Dewa Perangin-Angin.

Dua kerangkeng itu dibangun para tahanan pada 2016, menggantikan kerangkeng yang dibuat sebelumnya. Kerangkeng ini dibuat di sudut kebun sawit. Setiap kerangkeng dilengkapi kakus tak layak dan dapat menampung sekitar 30 orang.

Tahanan yang nekat kabur disebut mengalami perlakuan brutal. Roni, seorang korban yang pernah mencoba kabur, menceritakan penyiksaan yang dialaminya.

Pria berusia 25 tahun itu menyebut, setelah ditangkap kembali, rambut kemaluannya dibakar. Penjaga juga menyundut kepala penisnya dengan rokok.

Penjaga lalu memerintahkan Roni dan tahanan lain yang mencoba kabur untuk saling menyodomi Semua penyiksaan ini direkam penjaga.

Hukuman Ringan, Banyak Pelaku Bebas Berkeliaran

Korban kerangkeng Bupati Nonaktif Langkat telah menyampaikan 60 nama pelaku yang terlibat perbudakan keapda pihak terkait. Namun, hanya 13 yang diproses sejauh ini.

Para korban yang memberi kesaksian mengaku frustrasi dengan kelunakan yang ditunjukkan polisi dan pengadilan. Tidak ada pihak tertuduh yang dijerat lebih dari satu pasal.

Baca Juga: Imbas Tragedi Kanjuruhan, New York Times Sorot Polisi Indonesia: Kurang Terlatih, Seolah Kebal Hukum

Lima tentara yang turut menyiksa tahanan pun hanya dihukum setahun atau kurang. Sedangkan lima polisi yang terlibat, termasuk ipar Terbit Perangin-Angin, didemosi tetapi tidak dipidana.

Roni mengaku telah memberi tahu polisi nama-nama penjaga yang menyiksanya. Namun, tidak ada yang ditangkap. Belakangan, ia melihat salah satu penjaga berkeliaran di desanya.

Keempat korban yang diberi perlindungan LPSK dan diwawancara The New York Times mengaku telah bersaksi terhadap beberapa tersangka yang diadili. Mereka mengaku takut atas keselamatan sendiri ketika melihat orang-orang yang menyiksa mereka masih berkeliaran.

“Tidak mengejutkan jika proses hukum akan lunak kepada semua pelaku. Itu karena bupati kaya dan punya jaringan kuat,” kata Direktur Kontra Sumatra Utara Rahmat Muhammad.

Kontras sendiri mendesak polisi untuk berbuat lebih banyak sehubungan kasus perbudakan di tempat Terbit Rencana Perangin-Angin.

LPSK memperkirakan bahwa politikus Partai Golkar itu memperoleh keuntungan hingga Rp177,5 miliar dari praktik perbudakan modern. Namun, sejauh ini, Terbit tak kunjung diadili mengenai kasus perdagangan manusia.

Per 6 Juni 2023, LPSK menyebut Polda Sumatra Utara telah menyita aset pabrik kelapa sawit milik tokoh Pemuda Pancasila itu sebagai jaminan restitusi korban perbudakan.

“Agar kami bisa berikan layanan sebaik-baiknya kepada korban dan terutama menjamin agar restitusi yang dituntut oleh para terlindung LPSK ini dapat dibayarkan," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo dikutip Antara.

Hingga berita ini diturunkan, Terbit maupun Dewa Perangin-Angin tidak menanggapi permintaan wawancara atau daftar pertanyaan yang dikirimkan The New York Times melalui kuasa hukum.

Baca Juga: Panglima TNI Minta Korban Kerangkeng Manusia Bupati Langkat Tak Takut Bicara, Ini Alasannya


 

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Eddward-S-Kennedy

Sumber : The New York Times


TERBARU