> >

Pasang Surut Kerajinan Perak Kotagede Yogyakarta sejak Zaman Belanda hingga Kini

Jawa tengah dan diy | 6 Juni 2024, 15:50 WIB
Seorang perajin perak di kawasan Kotagede, Yogyakarta, sedang membakar bahan perak untuk dijadikan perhiasan, Rabu (5/6/2024). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

“Pada tahun 1998 saat pasar Indonesia hancur kami justru sedang besar-besarnya karena pasar kami ekspor, kami nggak terpengaruh. Tapi ketika tahun 2008  yang krisis itu ada internasional, kami kena,” ucapnya.

Perajin perak di Kotagede sedang bekerja, Rabu (5/6/2024). Kerajinan perak di Kotagede Yogyakarta, mengalami pasang surut sejak zaman Belanda hingga saat ini. (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Kondisi itu semakin diperparah dengan munculnya pandemi Covid-19 pada tahun 2019 lalu. Beruntung saat itu ia masih memiliki pelanggan tetap dari Eropa.

Saat ini jumlah perajin perak yang terdaftar sebagai anggota Koperasi Perak Kotagede ada sekitar 70 orang. Namun, pada rapat anggota yang dilaksanakan pekan lalu, hanya sekitar 20 perajin saja yang hadir.

“Ketika 20 orang itu mengisi kuesioner, yang masih riil di rumahnya ada perajin tinggal empat atau tiga. Sangat menyedihkan.”

Kenaikan harga emas dan perak berpengaruh pada tren pesanan perhiasan yang dipesan oleh pelanggan. Kini, pesanan kerajinan perak di Kotagede didominasi oleh cincin kawin atau wedding ring.

Masalahnya, kata Priyo, saat berbicara tentang kerajinan perak Kotagede bukan sekadar berbicara tentang bisnis, tetapi juga seni ukir.

“Sekarang kita mau bicara bisnis atau budaya? Kalau sekadar bisnis maka mungkin bisnis wedding ring bisa membantu perajin perak Kotagede eksis.”

“Tapi teknik perak Kotagede sudah tinggal kenangan. Anak cucu kita harus ke museum untuk melihat karya-karya indah nenek moyang,” kata pria yang juga merupakan Ketua Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede ini

Kerajinan perak hasil produksi para pendahulu menurut dia adalah karya seni yang dibuat oleh orang-orang yang betul-betul master dalam mengukir. Jika saat ini kita baru mau kembali mengajarkan seni ukir pada geneasi muda, maka hasilnya baru akan terlhat puluhan tahun ke depan.

Sejumlah peralatan yang digunakan oleh perajin perak di kawasan Kotagede, Yogyakarta, Rabu (5/6/2024). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Pasang Surut Kerajinan Perak

Kerajinan perak di Kotagede diyakini mulai ada sejak zaman Panembahan Senopati. Namun, yang tercatat dan dapat benar-benar dibuktikan adalah sejak zamah Hamengku Buwono (HB) VIII.

Menurut Priyo, memang beluma ada bukti autentik tentang adanya kerajinan perak Kotagede di zaman Panembahan Senopati. Ada dugaan bahwa pada zaman itu kerajinan perak memang sudah ada, namun hasil kerajinan itu kembali dilebur untuk dibuat kerajinan lain dengan gaya lebih baru.

“Ada yang mengatakan bahwa perak Kotagede memang berasal dari zaman (Panembahan) Senopati, tapi perak itu kan kalau sudah jemu dan mau dijual bisa dilebur lagi dan dibikin style baru.”

“Katanya zaman Panembahan Senopati, Sultan Agung itu persediaan bahan perak sedikit, jadi ketika mereka membuat sesuatu yang baru, mereka lebur dan bikin lagi, jadi kita tidak bisa melacak,” ujarnya.

Sejauh dirinya menjadi pemerhati Perak Kotagede, Priyo hanya pernah melihat dan memegang langsung karya kerajinan perak yang berasal dari era HB VIII. Tapi hasil produksinya biasa saja.

Masa keemasan kerajinan perak Kotagede disebutnya justru terjadi pada masa Mary Agnes van Gesseler Verschuir, istri dari PRW van Gesseler Versuir, istri Gubernur Belanda yang berkuasa di Yogyakarta pada sekitar tahun 1920 an.

Priyo Salim, seorang perajin peak di Kotagede, Yogyakarta, menunjukkan salah satu kerajinan perak berupa bonbon atau wadah permen, Rabu (5/6/2024). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Priyo kemudian menunjukkan sebuah buku karya Pienke WH Kal berjudul Yogya Silver: Renewal of a Javanese Handicraft, yang diperolehnya dari kurator museum di Amsterdam.

Menurut buku yang menceritakan perkembangan kerajinan perak Kotagede tersebut, kerajinan perak Kotagede tak lepas dari peran Mary.

“Dia melihat di Kotagede ada orang yang membuat karya (perak) untuk keraton, dan orang Belanda sendiri memang selalu menggunakan alat minum perak. Dia pun memberi order orang Kotagede untuk membuat karya seperti itu, tapi dengan menambah ukiran,” ujarnya.

Mary bahkan mengundang para perajin perak dari Kotagede untuk mengikuti pelatihan desain dan teknik baru. Ia juga memotret relief pada Candi Prambanan untuk dijadikan ukiran kerajinan perak.

“Memotret relief prambanan, kemudian didesain uang oleh abdi dalem Pakualaman kemudian diterapkan dalam ukiran perak Kotagede. Saat itulah perak Kotagede mngalami masa keemasan,” kata Priyo sambil menunjukkan gambar-gambar pada bukunya.

Priyo bahkan sempat mengadakan penelitian mengenai kesejahteraan para perajin perak Kotagede di masa Mary Agnes van Gesseler. Ia menanyakan gaji perajin perak di masa itu.

“Saya pernah mengadakan penelitian, pada tahun di mana Mary Agnes van Gesseler ini punya peran yang bagus di Kotagede itu perajin perak Kotagede bisa mendapat gaji Rp2,5 per hari,” tuturnya tanpa merinci metode penelitiannya.

Seorang perajin perak di kawasan Kotagede, ogyakarta, menunjukkan proses pembuatan kerajinan, Rabu (5/6/2024). (Sumber: Kompas.TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Pada masa itu, uang sebesar Rp2,5 dapat digunakan untuk membeli beras sebanyak 30 kilogram, atau kira-kira nominal saat ini sekitar Rp500 ribu.

“Itu dapat sekitar 30 kilogam. Kalau sekarang mungkin sekitar Rp500 ribu per hari.”

“Saya pengusaha perak yang sejak lulus UGM tahun 1987 sampai sekarang tidak pernah saya bisa menggaji karyawan sampai Rp300 ribu per hari. Artinya, saya hanya ingin mengatakan bahwa kesejahteraan mereka dahsyat sekali,” ungkapnya.

Masa keemasan perajin perak Kotagede hancur total saat Jepang menduduki Indonesia. Namun kembali bergeliat saat era pemerintahan Presiden 1 RI, Soekarno dan berlanjut di masa pemerintahan Presiden Soeharto.

“Ketika Jepang pergi, Soekarno memberikan bantuan perak putu atau perak bahan baku yang harganya lebih murah daripada harga di luar,” ucapnya.

“Kemudian zaman Presiden Soeharto perak Kotagede dijadikan souveir kenegaraan ketika Soeharto ke luar negeri atau saat ada tamu luar negeri datang ke Indonesia. Pasca-Soeharto, pemerintah Indonesia tidak ada perhatian sama sekali terhadap perak Kotagede.”

Ia memrediksi pangsa pasar kerajinan perak Kotagede masih ada, hanya saja dibutuhkan dukungan riil dari pemerintah untuk membangkitkan kembali.

“Seperti yang saya ceritakan tadi, zaman Soekarno membantu bahan baku, zaman Soeharto membantu pemasaran, tapi pemerintah kita saat ini tidak ada perhatian.”

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU