Kompas TV kolom opini

Lelaki Tua dan Sandal Karet

Kompas.tv - 1 Mei 2022, 06:05 WIB
lelaki-tua-dan-sandal-karet
Kebun Raya Bogor. (Sumber: Kompas.com)

Oleh Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas

PERTAMA

Beberapa hari lalu, sahabat lama saya, Romo Haruna yang sekarang bertugas dan tinggal di Bogor, bercerita lewat WA: Sudah bertahun-tahun saya  biasa bepergian antar-kota dengan menggunakan angkot (angkutan kota). Saya merasa nyaman, walau kadang harus duduk berdesakan, pun pula panas.

Dengan naik angkot, saya juga bisa merasakan detak kehidupan masyarakat secara lebih riil, mendengarkan ungkapan perasaan hati mereka bagaimana menyikapi kesulitan hidup. Kadang lucu-lucu cerita mereka. Beragam cerita saya dengar: dari ibu-ibu yang pulang belanja dari anak-anak sekolah, hingga bapak-bapak kantoran.

Yang juga saya perhatikan, kadang ada sopir yang nakal: membawa penumpang melebihi kapasitas. Penumpang dipaksa berdesakan, dempet seperti pindang, terutama dulu di zaman sebelum pandemi. Ada kesan aji mumpung, mengangkut penumpang sebanyak mungkin tidak memedulikan bahaya. Tapi, banyak pula yang tertib.

Yang wajar, kapasitas angkot adalah 11 penumpang, belum termasuk yang duduk di samping sopir. Tapi, yang wajar itu sangat jarang terjadi, kecuali di masa pandemi, ketika diberlakukan aturan baru berkait dengan kapasitas penumpang.

Kedua

Kemarin saya  ke Tangerang Selatan dari Bogor tempat saya tinggal, dengan  angkot. Jarak antara Bogor dan Tangerang Selatan sekitar 65 km.

Ketika  masuk angkot, saya melihat seorang bapak sepuh, duduk di pojok. Bapak yang saya taksir usianya lebih dari 70 tahun itu, berbaju merah muda yang sudah dijahit sana-sini karena bekas sobek. Bercelana panjang cokelat, yang juga sudah dijahit di beberapa bagian karena sobek. Ia mengenakan topi kombinasi biru-putih.

Wajahnya lesu menyimpan perjalanan hidupnya. Matanya tak bersinar penuh harapan, tetapi saya menangkap ada semangat hidup walau jejak perjalanan hidupnya mungkin panjang dan berat. Entah seperti apa. Saya tidak tahu. Gurat-gurat perjuangan hidupnya seperti bisa dibaca di wajahnya yang sudah dimakan usia itu. Tapi bahwa pada suatu masa bapak itu adalah lelaki kuat perkasa, terlihat dari ototnya yang masih menonjol di lengan tangannya. “Bapak jualan sandal,?” tanya saya membongkar keheningan di tengah suara mesin mobil dan motor.

“Iya. Ini sandal karet ban,” jawabnya singkat sambil mengangkat kepalanya melihat saya.

“Ini bikinan sendiri, Pak?”

“Tidak. Saya ngambil di Leuwiliang, kampung saya. Di sana ada yang membuat,” jelasnya agak panjang. Leuwiliang adalah wilayah barat Kabupaten Bogor; dari pusat kota Bogor, kira-kira berjarak 35 km.

“Berapa sepasang, Pak?” tanya saya ingin tahu.

“Tiga puluh rebu,” jawabnya.

“Saya beli sepasang, Pak,” kata saya. Dan, saya lihat matanya mendadak berbinar, binar bahagia yang sebelumnya hilang entah di mana, begitu mendengar saya mau membeli sepasang. Wajahnya yang sebelumnya seperti tertutup kelambu, kini terlihat jelas. Ada ungkapan syukur di wajah tua itu.

Saya ambil sepasang dari tas yang dipakai untuk membawa sendal itu. Ada sekitar 10 pasang. Saya coba. Pas. Enak. Dan, segera saya serahkan uang Rp 50 ribu. Begitu menerima uang itu, wajahnya kembali suram. “Aduh, maaf, Pak….saya tidak punya kembalian,” katanya lirih.

Saya buru-buru mengatakan, “Tidak perlu kembalian, Pak. Semua untuk bapak.” Lelaki tua penjual sandal karet itu pun, tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih, bukan hanya pada saya tetapi juga pada Tuhan. Bersyukur bukan hanya kebajikan terbesar, tetapi juga sumber dari semua yang lain. Lelaki tua itu menghayatinya. Bukankah, setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapak segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran. Dan, itu pantas disyukuri.

Angkot berhenti. Naik seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi. Berjilbab. Sejak duduk dalam angkot, perempuan itu terus memandang lelaki tua penjual sandal itu. Dipandanginya lekat-lekat. Lalu, tiba-tiba perempuan itu memberikan empat buah masker ke lelaki tua penjual sandal. Karena ia tidak bermasker.



Sumber : triaskun.id


BERITA LAINNYA



Close Ads x